EDITORIAL BULETIN ANALISA I
MAHASISWA; YUDAS, NARKISSOS DAN
SEBUAH IRONI
Oleh: Taufik Rahman
Dari awal zaman pergerakan hingga saat ini, pemuda
adalah tonggak dan penentu sejarah. Setelah zaman terus berganti, dewasa ini
pemuda-pemuda sejarah itu ditampilkan hanya dalam satu wajah, yaitu mahasiswa
sebagai Agen of Change, Social Control,
dan Iron Stock.
Menyelami peran berat yang diembannya jika ditilik
dari sudut pandang realita, maka mahasiswa saat ini, disadari atau tidak, di
seakan-akan menampilkan wajah yang berlawanan dari apa yang diidam-idamkan oleh
tiga fungsi itu.
Wajah pertama sebagai Yudas, di kalangan orang
Kristen, nama Yudas Iskariot sudah tidak asing lagi. Di Perjanjian Baru dia
dianggap sebagai pengkhianat karena telah menyerahkan Yesus Kristus kepada
imam-imam kepala Yahudi dengan harga 30 keping perak. Yudas merupakan lambang
sebuah pengkhianatan terhadap kepercayaan, menjual guru untuk kepentingan dan
kepuasan sendiri. Sekarang hal ini nampak sinkron dengan kondisi sebagian
mahasiswa yang tidak benar-benar dalam menuntut ilmu di perkuliahan,
Pun dengan mahasiswa yang aktif di sebuah organisasi
yang hanya mengabdi kepada kekuasaan yang lebih besar sehingga melupakan
aspirasi-aspirasi ataupun kepentingan dari mahasiswa non orgaisasi yang
seharusnya kepentingan mereka dibela. Hanya mengejar ambisi dan jaabatan untuk
kepuasan pribadi,kelompok, dan golongan tanpa memikirkan nasib mahasiswa jelata
mahasiswa
tipe ini secara tidak langsung telah mengkhianati rakyat dalam konteks saat
kita menyadari bahwa semua fasilitas kampus merupakan hasil dari uang rakyat.
Padahal dari mahasiswalah rakyat mencoba menaruh harapan untuk memperbaiki dan
membangun bangsa ini. Ketika mahasiswa telah terjebak dalam kondisi yang tidak
menghargai dan berjuang mencari ilmu atau berorganisasi untuk kepentingan
pribadi dan golongan saat itu mereka telah menjadi Yudas-Yudas baru yang telah
menjual kepercayaan rakyat kepada kesenangan dan kepuasan pribadi.
Kedua, sebagai Narkissos (Narcissus), dalam mitologi Yunani dia digambarkan sebagai pria yang tampan lagi rupawan. Dia dikisahkan
dicintai banyak orang salah satunya Echo, seorang peri cantik jelita yang tidak
bisa bicara selain mengulang kalimat terkhir yang didengarnya. Tapi Narkissos
tidak memedulikan Echo, dia menolak cinta dan menghinanya.
Karena penghinaan yang dilakukannya Narkissos
dikutuk oleh Dewi Aphrodite mencintai bayangannya sendiri. Sampai suatu ketika
ingin minum diair di danau dia melihat sesesok bayangan yang sangat mempesona
dan indah, dia tidak sadar itu adalah bayangan dari dirinya sendiri. Karena
tergila-gila dengan bayangan di air itu, Narkissos menjadi lupa diri, iya tidak
makan berhari-hari sampai akhirnya mati dan jatuh tenggelam kedanau.
Penggambaran Narkissos ini sangat relevan jika kita
sandingkan dengan kondisi mahasiswa yang hanya kuliah lalu pulang. Tidak
terlibat dalam gelombang didikan organisasi dan merasa “tampan” (baca: intelek)
tanpa harus ikut berorganisasi untuk membela kepentingan rakyat dan mahasiswa
umum.
Atau mahasiswa-mahasiswa yang menjadi anggota
organisasi lalu merasa organisasi yang diikutinya adalah organisasi paling
hebat, tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya selain mereka. Merasa
organisasi selain mereka adalah kelas rendahan (proletar) yang harus
menghormati kedudukan mereka sebagai kelas atas (borjouis). Lalu menutup
pandangan, ide, gagasan, konsep, ataupun manifesto dari kelompok lain.
Mahasiswa jenis Narkissos ini memiliki tingkat
ke“aku”an yang sangat tinggi. Bahayanya adalah mereka akan mati dengan
ketidaktahuan akan dunia yang sebenarnya walaupun aktif dalam organisasi.
Ironis memang, tetapi itu adalah kenyataan yang
harus kita terima lalu diperbaiki.
Dari semua penggambaran diatas yang paling kita
hindari adalah saat sosok Yudas dan Narkissos hidup dalam diri seorang
mahasiswa. Memang tidak semua mahasiswa dewasa ini telah menjadi Yudas,
Narkissos, ataupu keduanya. Tetapi,
penting bagi kita sebagai mahasiswa untuk menyadari diri agar tidak menjadi
salah satunya, juga pihak dosen sebagai pengajar dituntut supaya memberikan
perhatian lebih kepada perkembangan karakter dan kepribadian mahasiswanya dalam
berkuliah.
Akhirnya, ini merupakan sebuah tantangan yang harus
dihadapi seluruh sivitas akademika. Pengertian mendalam terhadap masalah ini
akan menjadi titik tolak dari mahasiswa, dosen, dekanat, atau bahkan rektorat
untuk bisa menentukan arah perkuliahan yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar