Selasa, 02 Juni 2015

MAHASISWA; YUDAS, NARKISSOS DAN SEBUAH IRONI



EDITORIAL BULETIN ANALISA I

MAHASISWA; YUDAS, NARKISSOS DAN SEBUAH IRONI
 Oleh: Taufik Rahman


Dari awal zaman pergerakan hingga saat ini, pemuda adalah tonggak dan penentu sejarah. Setelah zaman terus berganti, dewasa ini pemuda-pemuda sejarah itu ditampilkan hanya dalam satu wajah, yaitu mahasiswa sebagai Agen of Change, Social Control, dan Iron Stock.
Menyelami peran berat yang diembannya jika ditilik dari sudut pandang realita, maka mahasiswa saat ini, disadari atau tidak, di seakan-akan menampilkan wajah yang berlawanan dari apa yang diidam-idamkan oleh tiga fungsi itu.
Wajah pertama sebagai Yudas, di kalangan orang Kristen, nama Yudas Iskariot sudah tidak asing lagi. Di Perjanjian Baru dia dianggap sebagai pengkhianat karena telah menyerahkan Yesus Kristus kepada imam-imam kepala Yahudi dengan harga 30 keping perak. Yudas merupakan lambang sebuah pengkhianatan terhadap kepercayaan, menjual guru untuk kepentingan dan kepuasan sendiri. Sekarang hal ini nampak sinkron dengan kondisi sebagian mahasiswa yang tidak benar-benar dalam menuntut ilmu di perkuliahan,
Pun dengan mahasiswa yang aktif di sebuah organisasi yang hanya mengabdi kepada kekuasaan yang lebih besar sehingga melupakan aspirasi-aspirasi ataupun kepentingan dari mahasiswa non orgaisasi yang seharusnya kepentingan mereka dibela. Hanya mengejar ambisi dan jaabatan untuk kepuasan pribadi,kelompok, dan golongan tanpa memikirkan nasib mahasiswa jelata
 mahasiswa tipe ini secara tidak langsung telah mengkhianati rakyat dalam konteks saat kita menyadari bahwa semua fasilitas kampus merupakan hasil dari uang rakyat. Padahal dari mahasiswalah rakyat mencoba menaruh harapan untuk memperbaiki dan membangun bangsa ini. Ketika mahasiswa telah terjebak dalam kondisi yang tidak menghargai dan berjuang mencari ilmu atau berorganisasi untuk kepentingan pribadi dan golongan saat itu mereka telah menjadi Yudas-Yudas baru yang telah menjual kepercayaan rakyat kepada kesenangan dan kepuasan pribadi.
Kedua, sebagai Narkissos (Narcissus), dalam mitologi Yunani dia digambarkan sebagai pria  yang tampan lagi rupawan. Dia dikisahkan dicintai banyak orang salah satunya Echo, seorang peri cantik jelita yang tidak bisa bicara selain mengulang kalimat terkhir yang didengarnya. Tapi Narkissos tidak memedulikan Echo, dia menolak cinta dan menghinanya.
Karena penghinaan yang dilakukannya Narkissos dikutuk oleh Dewi Aphrodite mencintai bayangannya sendiri. Sampai suatu ketika ingin minum diair di danau dia melihat sesesok bayangan yang sangat mempesona dan indah, dia tidak sadar itu adalah bayangan dari dirinya sendiri. Karena tergila-gila dengan bayangan di air itu, Narkissos menjadi lupa diri, iya tidak makan berhari-hari sampai akhirnya mati dan jatuh tenggelam kedanau.
Penggambaran Narkissos ini sangat relevan jika kita sandingkan dengan kondisi mahasiswa yang hanya kuliah lalu pulang. Tidak terlibat dalam gelombang didikan organisasi dan merasa “tampan” (baca: intelek) tanpa harus ikut berorganisasi untuk membela kepentingan rakyat dan mahasiswa umum.
Atau mahasiswa-mahasiswa yang menjadi anggota organisasi lalu merasa organisasi yang diikutinya adalah organisasi paling hebat, tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya selain mereka. Merasa organisasi selain mereka adalah kelas rendahan (proletar) yang harus menghormati kedudukan mereka sebagai kelas atas (borjouis). Lalu menutup pandangan, ide, gagasan, konsep, ataupun manifesto dari kelompok lain.
Mahasiswa jenis Narkissos ini memiliki tingkat ke“aku”an yang sangat tinggi. Bahayanya adalah mereka akan mati dengan ketidaktahuan akan dunia yang sebenarnya walaupun aktif dalam organisasi.
Ironis memang, tetapi itu adalah kenyataan yang harus kita terima lalu diperbaiki.
Dari semua penggambaran diatas yang paling kita hindari adalah saat sosok Yudas dan Narkissos hidup dalam diri seorang mahasiswa. Memang tidak semua mahasiswa dewasa ini telah menjadi Yudas, Narkissos, ataupu  keduanya. Tetapi, penting bagi kita sebagai mahasiswa untuk menyadari diri agar tidak menjadi salah satunya, juga pihak dosen sebagai pengajar dituntut supaya memberikan perhatian lebih kepada perkembangan karakter dan kepribadian mahasiswanya dalam berkuliah.
Akhirnya, ini merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi seluruh sivitas akademika. Pengertian mendalam terhadap masalah ini akan menjadi titik tolak dari mahasiswa, dosen, dekanat, atau bahkan rektorat untuk bisa menentukan arah perkuliahan yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar