Rabu, 14 Januari 2015

Divede Et Empera : Halusinasi Quo Vadis Ideologi


Divede Et Empera : Halusinasi Quo Vadis Ideologi

Oleh : Taufik Rahman
Fak/Jur : Syariah dan Ekonomi Islam/ Hukum Keluarga


            Dalam kehidupan rakyat indonesia sebagai bangsa yang besar, maka sudah menjadi kodrat bagi bangsa ini untuk hidup dalam pluralisme, multikulturisme, dan harmoni dalam ke bhinekaan yang satu. Maka dari pada itu, sudah semestinyalah bagi kita sebagai rakyat Indonesia untuk tetap dan selalu menjaga identitas keberagaman dan persatuan itu sebagai pondasi dari sebuah pekerjaan untuk membangun bangsa besar yang tangguh.
            Namun, pada kenyataannya untuk menjaga dan memelihara hal-hal tersebut pada implementasinya tidaklah mudah dan penuh dengan tantangan. Yang celakanya, tantangan tersebut menyeret nilai-nilai SARA yang salah di tafsirkan oleh sebagian oknum sehingga seakan-akan ajaran agama lah yang menghendaki hal demikian dan membuat pergesekan antar umat beragama dan suku di Indonesia semakin tegang dan meruncing.
            Sebut saja ISIS (Islamic State of Irak and Syuriah), paham negara islam yang di usung oleh kelompok dan gerakan ini, yang membawa islam sebagai dasar pergerakan meraka perlahan namun pasti telah menyebarkan konsep Negara Islam dengan berlandaskan Khilafah di Indonesia.
            Lalu, apa yang salah dari gerakan ini ?. Dengan mencoba menawarkan sebuah konsep Khilafah, yaitu negara-negara hidup di bawah sistem satu atap (one roof system) kekuasaan. Maka, hal tersebut di sadari atau tidak, secara langsung atau tidak, telah membahayakan pancasila sebagai ideologi plural yang merupakan harga mati bagi Bangsa Indonesia.
            Di lain pihak, dengan adanya ISIS yang terus di ekspos oleh media yang pemberitaannya terus memojokan ISIS sebagai kelompok radikal tak kenal belas kasih, menolak demokrasi, melanggar HAM, dan teroris. Maka secara langsung atau pun tidak langsung hal tersebut akan membentuk opini publik akan buruknya sebuah ajaran agama, terutama Islam.
            Dengan terbentuknya public opinion yang keliru akan pemahaman mendasar tentang Islam dan Pancasila, maka perjalanan kita akan sampai di sebuah persimpangan (quo vadis) ideologi, yang menurut sebagian orang merupakan dua hal yang tidak dapat disatukan, dan salah satunya harus tersingkirkan. Pemahaman yang keliru inilah yang kita sebut sebagai halusinasi yang memecah belah. Memecah belah persatuan umat yang berbangsa dan bernegara.
            Lalu, bagaimana cara kita sebagai warga negara dan umat beragama yang baik memecahkan problematika pelik dan mengancam kesatuan dan persatuan baik kita sebagai bangsa Indonesia maupun umat beragama?.
            Untuk menyelesaikan masalah diatas, kita dituntut untuk memahami dan mengerti apa itu Islam dan Pancasila.
            Kalau kita bicara soal Islam, maka kita sangat mengenal dengan istilah “rahmatan lil alamin” artinya ialah agama yang menjadi rahmat untuk sekalian alam, agama yang ajarannya selalu menekan kan kepada kasih dan sayang kepada sesama manusia, baik itu muslim maupun nonmuslim. Bahkan, ketika Islam baru muncul dan Nabi Muhammad membangun Madinah, beliau membuat sebuah konstitusi yang menjamin kebebasan dan menghargai pluralitas umat beragama. Menjalankan musyawarah yang merupakan cermin dari nilai demokrasi dan sekarang menjadi sistem ketatanegaraan di Indonesia.
            Kemudian juga, Al-qur’an menawarkan prinsip syura, yaitu bahwa Nabi menaati syura kaum muslimin pada waktu Perang Uhud jelas menunjukan bahwa bibit demokrasi terdapat pada sunnah Nabi sebagai realisasi Al-quran ditas. Kemudian pada pertemuan di Balai Bani Sa’idah setelah wafatnya Nabi dan mengangkat Abu Bakar menjadi pemimpin yang juga menggunakan sistem syura.
            Karena konsep syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-quran, maka sistem politik demokrasi nampaknya lebih dekat kepada cita-cita qurani. Meskipun ia tidak semestinya identik dengan praktek demokrasi barat. Tetapi, nilai yang di usung oleh ajaran Islam dan nilai demokrasi memiliki semacam kesamaan.
            Lalu, kalau kita bicara tentang Pancasila, maka pancasila merupan sebuah ideologi yang sebetulnya telah ada jauh sebelum negara ini merdeka, sebuah ideologi yang merupakan cerminan karakter dari identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang plural. Namun penyusunan nilai-nilai itu baru di tuangkan pada tahun 1945 dengan di buatnya Piagam Jakarta. Dan bukankah generasi muslim angkatan 45 seperti Ki Haji Agus Salim, telah memberikan contoh yang nyata tentang betapa luhurnya nilai-nilai yang di miliki oleh islam dengan lapang dada menerima penggantian sila pertama dari Pancasila yang sebelumnya berbunyi “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
            Artinya, setelah kita telaah dua paparan diatas, maka sebetulnya persimpangan ideologi itu hanya halusinasi yang berpotensi membuat bangsa kita menjadi terpecah belah.
            Antara Islam dan Pancasila tidak pernah ada persimpangan ataupun arah yang berlawanan satu sama lain, tetapi di dalam keduanya terdapat sistem nilai yang inklusif (merangkul semua pihak) dan menghargai betapa pentingnya toleransi dalam pluralisme.
            Masalah yang ada sekarang adalah adanya oknum-oknum yang memahami Islam dan Pancasila serta nasionalisme secara parsial dan sempit sehingga mengatakan pemahan dan penafsiran merekalah yang dianggap paling benar dan hal ini jelas mengancam kesatuan kita sebagai bangsa Indonesia dan umat beragama.Maka dari itu, kita sebagai pemuda dan warga negara yang baik harus memiliki sikap nasionalisme dan bela negara dengan cara, menghormati setiap perbedaan yang ada, menjunjung nilai-nilai universal plural yang dimiliki Pancasila di atas segalanya, karena sebetulnya nilai-nilai yang di tawarkan oleh The Founding Father kita dalam Pancasila merupakan penjelmaan dari nilai agama.
            Dan yang kita tekankan adalah apabila hal tersebut telah mengusik Pancasila dan mengancam persatuan kita sebagai bangsa maka hal itu lah yang kita sebagai pemuda tangkal dan lawan dengan memasang dada di garda depan sebagai agen kontrol sosial (agen of social control).Tetapi pertanyaannya adalah, apakah nasionalisme saja cukup ?
Tidak, kita sebagai pemuda harus di dukung oleh kemampuan yang tangguh, dengan cara kita harus memahami dan mengerti secara mendalam tentang ideologi Pancasila dan ajaran agama, mendalami setiap pengetahuan, baik itu teoritis dan praktis. Karena hanya dengan akumulasi dari Pancasila dan ajaran agama yang berjalan secara berdampingan serta di sokong oleh kemajuan pengetahuan sebuah negara akan menjadi besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar