Jumat, 10 Oktober 2014

Pendidikan di Tengah Serangan Stasiun Televisi



Pendidikan di Tengah Serangan Stasiun Televisi
Oleh :
Taufik Rahman
Mahasiswa S1 Hukum Keluarga IAIN Antasari Banjarmasin
Banjarmasin, 30 September 2014
            Berangkat dari menjamurnya stasiun televisi lokal yang muncul menjamur di era reformasi yang memengaruhi pola pikir dan tingkah laku masyarakat bahkan hingga lebih dari pengaruh pendidikan formal yang di berikan di bangku sekolahan, maka dalam kesempatan kali ini penulis merasa ada hal yang begitu urgen ketika kita berhadapan dengan televisi sebagai media yang memberikan pendidikan, hiburan, dan informasi kepada masyarakat itu sendiri. Dimana pada realitasnya televisi sebagai media yang dituntut untuk memberikan pendidikan menurut pengamatan penulis telah sedikit keluar dari jalur dan pesan yang telah di amanatkan undang-undang tentang fungsi dan tujuan pendidikan, sebagaimana tertuang pada pasal 3 UU No. 30/2003 yang berbunyi :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
            Pada dasarnya, untuk membentuk manusia Indonesia sebagaimana di maksud oleh undang-undang di atas diperlukanlah sebuah sinkronisasi antara pendidikan yang dilakukan peserta didik di luar bangku sekolah dengan apa yang telah mereka dapat dari para pendidik di sokolahan secara formal. Untuk menyinkronkan hal tersebut maka ada tiga instrumen yang paling dituntut untuk berperan aktif mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan yaitu ; Institusi keluarga, institusi masyarakat, dan institusi media. Instrumen-instrumen ini seharusnya saling memberikan kontrol dan pengawasan satu sama lain, maksudnya ialah ketika terjadi penyimpangan fungsi dan tujuan yang dilakukan oleh orang tua, hendaknya masyarakat dan media memberikan  pengarahan ataupun pengertian akan tujuan yang hendak kita capai dalam mendidik seorang peserta didik. Begitupun sebaliknya.
            Berbicara tentang fungsi dan tujuan pendidikan yang di emaban oleh media, dalam konteks ini televisi. Penulis dalam hal ini merasa ada kekeliruan pada penyajian acara-acara pada stasiun-stasiun televisi (kecuali : TVRI). Kekeliruan yang nyata ini terlihat dari pergeseran opini yang dahulunya televisi mengangkat apa yang dirasakan oeh masyarakat menjadi sebuah opini dan kritik terhadap pemerintah dalam tayangannya, tetapi sekarang televisi menjadi sebuah alat doktrin paling ampuh di abad 21 sesuai dengan kemauan subjek yang menjalankannya di belakang layar, bagaimana tidak. Setiap hari masyarakat dituntut untuk menerima opini yang disampaikan oleh televisi sebagai suatu kebenaran, masyarakat digiring dalam suatu wilayah yang di kehendaki oleh stasiun televisi sehingga perlahan-lahan akan muncul sebuah opini publik (public opinion) sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh media tersebut.
            Seharusnya media hanya memberikan berita dan informasi kepada masyarakat, tetapi untuk ranah penafsiran dan pendapat yang ingin dituju biarlah masyarakat menjadii tuan untuk kepalanya sendiri yang kalau kita analogikan media hanya menjadi pemandu untuk rute perjalanan bukannya memaksa si penjelajah untuk menempuh suatu jalur sesuai keinginan dari pemandu.
            Terlepas dari pergeseran fungsi media televisi itu sendiri, penulis merasa media televisi dewasa ini telah sejajar perananya dengan seorang guru di sekolah-sekolah dan dosen-dosen di perguruan tinggi. Tetapi kesejajaran posisi itu hanya sebatas pada tingkatannya memengaruhi persepsi dan paradigma. Tetapi, Untuk memberikan arah dan pelajaran yang mendidik bagi peserta didik acara stasiun televisi masih jauh panggang dari api. Acara-acara televisi yang suguhkan oleh operator dan pemiliknya dewasa ini seperti memberikan contoh (baca : pendidikan) yang tidak karuan kepada pemirsanya. Selama 24 jam tayang, acara-acara di televisi kita lebih banyak menyuguhkan muatan yang berbau hiburan, remaja bermasalah, kriminal, gosip, mistis, dan acara-acara yang sangat jauh dari identitas bangsa indonesia sebagai bangsa yang sopan dan normatif. Dan hal seperti ini, bagi penulis kalau terus dibiarkan maka lambat laun akan menciptakan sebuah gelombang budaya, dan ketika gelombang budaya yang kurang baik telah menerpa kebanyakan dari peserta didik dan masyarakat maka dimasa depan kita akan melihat penyebarannya seperti efek domino (domino effect)
            Beberapa saat yang lalu, penulis mencoba bertanya kepada sejumlah kawan agar mereka bisa memberikan lima contoh acara yang mendidik di stasiun televisi swasta. Hasilnya sangat mudah ditebak, hanya beberapa orang ktik saja yang mampu menyuguhkan jawaban sesuai target, sisanya sangat kebingungan dan tidak mampu menyebutkan hanya lima acara. Dari contoh kecil diatas membuktikan bahwa ada yang salah dari acara yang kita dapat dari televisi. Memang, tidak semua acara televisi negatif kita nikmati, tetapi persoalannya adalah seberapa jauh acara itu memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakatnya atau malah menciptakan budaya yang berlabel modern tetapi isinya ter-westernisasi yang sangat jauh dari pancasila dan UUD 1945 apalagi nilai-nilai agama.
            Memang, saat ini program atau acara-acara yang di suguhkan oleh stasiun televisi menurut penulis hanya diterima mentah-mentah oleh masyarakat dan kurang mendapat kritikan.
            Dari pagi hari, kebanyakan acara televisi setelah acara siraman rohani keagamaan langsung disambung dengan acara gosip yang dalam hal ini menurut penulis sama saja dengan habis bersih-bersih rumah lalu di kotori lagi.
            Kemudian ada juga program sinetron yang disuguhkan oleh acara-acara tersebut bercerita tentang kehidupan para remaja SMA dan mistisme yang tidak rasional, ketika plot cerita yang disuguhkan tersebut dipoles dengan pemain-pemain yang berparas menawan dan bernilai jual sinetron tersebut langsung saja menjadi trend di kalangan remaja dan memberikan pengaruh terhadap pola pikir dan tingkah laku dari mereka. Tidak berhenti sampai disitu, yang membuat miris penulis ialah ketika para pemain di dalam adegannya sering menampilkan cara berpakaian yang sangat jauh dari norma kesopanan untuk ukuran pelajar se usia itu. Kemudian juga, konsep yang di usung oleh pembuat film yang mencoba menampilkan konsep mistis dan jauh dari budaya rasional apalagi ilmiah, tentu saja merupakan sebuah cerminan kemunduran bagi paradigma berpikir negara yang hendak mencapai kemajuan, karena salah satu budaya dari negara maju ialah berpikir rasional.
            Tidak berhenti sampai disitu, kebanyakan acara tv yang di isi oleh penyanyi-penyanyi. Kebanyakan penyanyi yang tampil di acara tersebut tampil dalam balutan busana dan pakaian yang “sensual”. Dari sudut pandang manapun cara berpakaian seperti itu rasanya kurang pantas menjadi konsumsi publik apalagi anak-anak. Sekarang, acara-acara seperti inipun tidak lagi memandang kapan jadwal tayangnya, mulai dari pagi hari hingga malam hari. Dari dua permasalahan yang di dapatkan pada acara hiburan ini, kita mendapat tiga dampak negatif sekaligus. Pertama ialah secara langsung ataupun tidak, kampanye sensualitas malah semacam di promosikan oleh media televisi itu lewat penampilan-penampilan penyanyi yang ditampilkan. Kedua, penayangannya di pagi dan malam hari bisa di tonton oleh semua umur sehingga tidak bisa lagi di filter waktu kapan seorang anak bisa menonton tayangan televisi. Ketiga, jadwal tayang di pagi hari memberikan kesan terselubung akan “malas” yang menjadi budaya. Pagi hari seharusnya di jadikan waktu paling tepat untuk mulai bekerja dan aktivitas malah di barengi dengan acara-acara hiburan dan hedonisme. Sehingga pendidikan demikian yang diberikan oleh acara televisi tersebut akan memberikan pengaruh terhadap penurunan tingkat produktifitas masyarakat yang terdoktrin akan budaya hiburan yang dimulai sejak awal hari.
            Apalagi ketika wajah pertelevisian di tanah air kita hadapkan dengan kontestasi Pemilu Presiden 9 Juli lalu (9 Juli 2014), sangat nampak terlihat sekali adanya beberapa stasiun televisi yang dalam penyiaran dan pemberian informasinya tidak berimbang dan tidak kridebel. Keberpihakan yang jelas terlihat kepada salah satu calon pasangan presiden membuat masyarakat dibuat kebingungan akan kebenaran informasi yang diberikan secara subjektif. Ini kalau kita amati dari segi ke independensi an televisi tersebut menunjukan adanya ketidak bebasan atau penghambaan acara televisi kepada kepentingan orang yang menginginkannya. Dengan demikian, jika ketimpangan berita seperti ini tetap dan terus dibiarkan maka iklim demokratis yang sekarang telah berjalan lancar dinegeri ini akan terancam goyah dengan pemberitaan yang tidak berimbang dan digunakan hanya untuk kepentingan legitimasi kekuasaan belaka.
Melihat realitas yang sekarang kita hadapi, menunjukan adanya ketidakjelasan dan pergeseran nilai yang menghinggapi acara-acara televisi di Indonesia. Seakan-akan tanyangan acara dan berita yang di suguhkan hanya untuk keuntungan semata, asal acara tersebut di sukai, rating tinggi, maka urusan moral, nilai, pendidikan dan kebudayaan menjadi terabaikan. Ketidak pedulian terhadap prinsip-prinsip tersebut menunjukan bahwa seakan-akan media televisi yang ada di Indonesia tidak ingin mendukung perkembangan dan kemajuan masyarakat Indonesia secara umum. Bahkan Faisal Ismail berpendpat dalam bukunya paradigma Kebudayaan Islam bahwa program-program tadi kian hari kian tidak berpihak pada pengemabangan karakter budaya bangsa dan rambu-rambu normatif agama. Sehingga fungsi pendidikan yang semestinya di emban oleh media pun tereleminasi dan luput dari perhatian.
Kalau kita simak pendapat beliau, maka ada betulnya juga. Mengingat kalau kita hitung dengan jari, hanya ada beberapa acara televisi yang mendidik, selebihnya hanya acara hiburan semata. Hal ini mengindikasikan bahwa ada yang perlu di benahi dari acara pertelevisian Kita.
Bagaimana langkah konkrit yang strategis dalam menghadapi permasalahan ini .? Dalam sistem hirarki kemasyarakatan, penulis menempatkan mahasiswa sebagai ujung tombak dari masyarakat itu sendiri. Mahasiswa sebagai agen of sosial control di tuntut tidak hanya memerhatikan persoalan yang bergolak diranah politik nasional, tetapi dalam usahanya memperjuangkan hak-hak rakyat maka mahasiswa dituntut harus lebih kritis terhadap acara-acara yang di tayangkan di televisi. Kepedulian tersebut bisa saja kita wujudkan dengan cara melaporkan acara yang dinilai merugikan masyarakat secara mental kepada KPI, menulis jurnal ataupun karya tulis ilmiah tentang bahaya budaya yang ditampilkan oleh televisi, atau kita dapat berdiskusi tentang pengaruh negatif yang di timbulkan oleh media, bukankah kebenaran itu harus di sampaikan walau hanya satu ayat. Dalam peran lainnya mahasiswa juga harus pandai mempropagandakan kepada keluarga dan masyarakat tentang dampak negatif yang harus difilter dan dijauhi ketika menyaksikan acara-acara televisi.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan di awal tulisan ini, sebagai salah satu  instrumen pendukung dari terwujudnya fungsi dan tujuan pendidikan, institusi keluarga juga seharusnya memberikan kontrol terhadap anak-anaknya yang pada konteks ini menjadi peserta didik agar memberikan batasan dan aturan yang jelas dalam mengonsumsi acara-acara yang jauh dari mendidik. Aturan-aturan yang bersifat memaksa kepada anggotanya, sehingga dengan begitu institusi keluarga dapat memberikan pengawasan terhadap acara-acara yang di tonton oleh para remaja.
Seperti ungkapan lama segenggam kekuasaan jauh lebih efektif daripada sekeranjang kebenaran. Sudah semestinya bagi pemerintah mengawasi secara ketat unsur-unsur muatan acara televisi, bukankah pasal 3 UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran menyatakan secara jelas bahwa Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Ketika terjadi penyimpangan terhadap fungsi pendidikan yang di emban oleh acara televisi maka sudah semestinya untuk memberikan sanksi tegas.
Selain itu, sebetulnya media hanyalah alat yang digunakan oleh pemiliknya. Jadi muatan yang ditampilkan dalam suatu program acara hanyalah hasil dari proses berpikir si pemilik dalam menjalankan kepentingannya. Kepentingan disini bisa berarti kepentingan bisnis yang semata-mata berorientasi hanya kepada uang, atau legitimasi sifat yang apabila di ulang terus menerus dalam suatu pola tertentu tentu akan menghasilkan sebuah budaya sesuai dengan kehendak si pemilik media. Selain itu legitimasi kekuasaan juga bisa saja menjadi sasaran, sehingga pemberitaan yang di ulang terus menerus dengan memberikan sedikit pengaruh opini di dalamnya lama kelamaan akan membangun apa yang disebut dengan opini publik. Jadi seharusnya si pemilik stasiun televisi tidak hanya menampilkan sebuah acara hanya terpaku pada aspek materil, tetapi hendaknya harus juga mempertimbangkan aspek bagaimana suatu acara membangun nilai dan moral yang sesuai dengan kepentingan bangsa.
Maka dari itu semua, sudah selaknya lah kita sebagai khalayak ramai peduli terhadap pendidikan yang bagaimana diberikan oleh acara-acara televisi kepada masyarakat. Kepedulian ini jugalah yang harus dimengerti secara mendalam baik itu mahasiswa, keluarga, maupun masyarakat, sehingga dalam implementasinya kita tidak lagi di jejali dengan acara-acara yang jauh dari tujuan dan fungsi pendidikan nasional kita.