Pendidikan di Tengah Serangan Stasiun Televisi
Oleh :
Taufik Rahman
Mahasiswa S1 Hukum Keluarga
IAIN Antasari Banjarmasin
Banjarmasin, 30 September
2014
Berangkat dari menjamurnya stasiun televisi lokal yang
muncul menjamur di era reformasi yang memengaruhi pola pikir dan tingkah laku
masyarakat bahkan hingga lebih dari pengaruh pendidikan formal yang di berikan
di bangku sekolahan, maka dalam kesempatan kali ini penulis merasa ada hal yang
begitu urgen ketika kita berhadapan dengan televisi sebagai media yang
memberikan pendidikan, hiburan, dan informasi kepada masyarakat itu sendiri.
Dimana pada realitasnya televisi sebagai media yang dituntut untuk memberikan
pendidikan menurut pengamatan penulis telah sedikit keluar dari jalur dan pesan
yang telah di amanatkan undang-undang tentang fungsi dan tujuan pendidikan,
sebagaimana tertuang pada pasal 3 UU No. 30/2003 yang berbunyi :
“Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”
Pada dasarnya, untuk membentuk
manusia Indonesia sebagaimana di maksud oleh undang-undang di atas
diperlukanlah sebuah sinkronisasi antara pendidikan yang dilakukan peserta
didik di luar bangku sekolah dengan apa yang telah mereka dapat dari para
pendidik di sokolahan secara formal. Untuk menyinkronkan hal tersebut maka ada
tiga instrumen yang paling dituntut untuk berperan aktif mewujudkan fungsi dan
tujuan pendidikan yaitu ; Institusi keluarga, institusi masyarakat, dan
institusi media. Instrumen-instrumen ini seharusnya saling memberikan kontrol
dan pengawasan satu sama lain, maksudnya ialah ketika terjadi penyimpangan
fungsi dan tujuan yang dilakukan oleh orang tua, hendaknya masyarakat dan media
memberikan pengarahan ataupun pengertian
akan tujuan yang hendak kita capai dalam mendidik seorang peserta didik.
Begitupun sebaliknya.
Berbicara tentang fungsi dan tujuan
pendidikan yang di emaban oleh media, dalam konteks ini televisi. Penulis dalam
hal ini merasa ada kekeliruan pada penyajian acara-acara pada stasiun-stasiun
televisi (kecuali : TVRI). Kekeliruan yang nyata ini terlihat dari pergeseran
opini yang dahulunya televisi mengangkat apa yang dirasakan oeh masyarakat
menjadi sebuah opini dan kritik terhadap pemerintah dalam tayangannya, tetapi
sekarang televisi menjadi sebuah alat doktrin paling ampuh di abad 21 sesuai
dengan kemauan subjek yang menjalankannya di belakang layar, bagaimana tidak. Setiap
hari masyarakat dituntut untuk menerima opini yang disampaikan oleh televisi
sebagai suatu kebenaran, masyarakat digiring dalam suatu wilayah yang di
kehendaki oleh stasiun televisi sehingga perlahan-lahan akan muncul sebuah
opini publik (public opinion) sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh media
tersebut.
Seharusnya media hanya memberikan
berita dan informasi kepada masyarakat, tetapi untuk ranah penafsiran dan
pendapat yang ingin dituju biarlah masyarakat menjadii tuan untuk kepalanya
sendiri yang kalau kita analogikan media hanya menjadi pemandu untuk rute
perjalanan bukannya memaksa si penjelajah untuk menempuh suatu jalur sesuai
keinginan dari pemandu.
Terlepas dari pergeseran fungsi
media televisi itu sendiri, penulis merasa media televisi dewasa ini telah
sejajar perananya dengan seorang guru di sekolah-sekolah dan dosen-dosen di
perguruan tinggi. Tetapi kesejajaran posisi itu hanya sebatas pada tingkatannya
memengaruhi persepsi dan paradigma. Tetapi, Untuk memberikan arah dan pelajaran
yang mendidik bagi peserta didik acara stasiun televisi masih jauh panggang
dari api. Acara-acara televisi yang suguhkan oleh operator dan pemiliknya
dewasa ini seperti memberikan contoh (baca : pendidikan) yang tidak karuan
kepada pemirsanya. Selama 24 jam tayang, acara-acara di televisi kita lebih
banyak menyuguhkan muatan yang berbau hiburan, remaja bermasalah, kriminal,
gosip, mistis, dan acara-acara yang sangat jauh dari identitas bangsa indonesia
sebagai bangsa yang sopan dan normatif. Dan hal seperti ini, bagi penulis kalau
terus dibiarkan maka lambat laun akan menciptakan sebuah gelombang budaya, dan
ketika gelombang budaya yang kurang baik telah menerpa kebanyakan dari peserta
didik dan masyarakat maka dimasa depan kita akan melihat penyebarannya seperti
efek domino (domino effect)
Beberapa saat yang lalu, penulis
mencoba bertanya kepada sejumlah kawan agar mereka bisa memberikan lima contoh
acara yang mendidik di stasiun televisi swasta. Hasilnya sangat mudah ditebak,
hanya beberapa orang ktik saja yang mampu menyuguhkan jawaban sesuai target,
sisanya sangat kebingungan dan tidak mampu menyebutkan hanya lima acara. Dari
contoh kecil diatas membuktikan bahwa ada yang salah dari acara yang kita dapat
dari televisi. Memang, tidak semua acara televisi negatif kita nikmati, tetapi
persoalannya adalah seberapa jauh acara itu memberikan pendidikan yang baik
kepada masyarakatnya atau malah menciptakan budaya yang berlabel modern tetapi
isinya ter-westernisasi yang sangat jauh dari pancasila dan UUD 1945 apalagi
nilai-nilai agama.
Memang, saat ini program atau
acara-acara yang di suguhkan oleh stasiun televisi menurut penulis hanya
diterima mentah-mentah oleh masyarakat dan kurang mendapat kritikan.
Dari pagi hari, kebanyakan acara
televisi setelah acara siraman rohani keagamaan langsung disambung dengan acara
gosip yang dalam hal ini menurut penulis sama saja dengan habis bersih-bersih
rumah lalu di kotori lagi.
Kemudian ada juga program sinetron
yang disuguhkan oleh acara-acara tersebut bercerita tentang kehidupan para
remaja SMA dan mistisme yang tidak rasional, ketika plot cerita yang disuguhkan
tersebut dipoles dengan pemain-pemain yang berparas menawan dan bernilai jual
sinetron tersebut langsung saja menjadi trend di kalangan remaja dan memberikan
pengaruh terhadap pola pikir dan tingkah laku dari mereka. Tidak berhenti
sampai disitu, yang membuat miris penulis ialah ketika para pemain di dalam
adegannya sering menampilkan cara berpakaian yang sangat jauh dari norma
kesopanan untuk ukuran pelajar se usia itu. Kemudian juga, konsep yang di usung
oleh pembuat film yang mencoba menampilkan konsep mistis dan jauh dari budaya
rasional apalagi ilmiah, tentu saja merupakan sebuah cerminan kemunduran bagi
paradigma berpikir negara yang hendak mencapai kemajuan, karena salah satu
budaya dari negara maju ialah berpikir rasional.
Tidak berhenti sampai disitu,
kebanyakan acara tv yang di isi oleh penyanyi-penyanyi. Kebanyakan penyanyi
yang tampil di acara tersebut tampil dalam balutan busana dan pakaian yang
“sensual”. Dari sudut pandang manapun cara berpakaian seperti itu rasanya
kurang pantas menjadi konsumsi publik apalagi anak-anak. Sekarang, acara-acara
seperti inipun tidak lagi memandang kapan jadwal tayangnya, mulai dari pagi
hari hingga malam hari. Dari dua permasalahan yang di dapatkan pada acara
hiburan ini, kita mendapat tiga dampak negatif sekaligus. Pertama ialah secara
langsung ataupun tidak, kampanye sensualitas malah semacam di promosikan oleh
media televisi itu lewat penampilan-penampilan penyanyi yang ditampilkan.
Kedua, penayangannya di pagi dan malam hari bisa di tonton oleh semua umur
sehingga tidak bisa lagi di filter waktu kapan seorang anak bisa menonton
tayangan televisi. Ketiga, jadwal tayang di pagi hari memberikan kesan terselubung
akan “malas” yang menjadi budaya. Pagi hari seharusnya di jadikan waktu paling
tepat untuk mulai bekerja dan aktivitas malah di barengi dengan acara-acara
hiburan dan hedonisme. Sehingga pendidikan demikian yang diberikan oleh acara
televisi tersebut akan memberikan pengaruh terhadap penurunan tingkat
produktifitas masyarakat yang terdoktrin akan budaya hiburan yang dimulai sejak
awal hari.
Apalagi ketika wajah pertelevisian
di tanah air kita hadapkan dengan kontestasi Pemilu Presiden 9 Juli lalu (9
Juli 2014), sangat nampak terlihat sekali adanya beberapa stasiun televisi yang
dalam penyiaran dan pemberian informasinya tidak berimbang dan tidak kridebel.
Keberpihakan yang jelas terlihat kepada salah satu calon pasangan presiden
membuat masyarakat dibuat kebingungan akan kebenaran informasi yang diberikan
secara subjektif. Ini kalau kita amati dari segi ke independensi an televisi
tersebut menunjukan adanya ketidak bebasan atau penghambaan acara televisi
kepada kepentingan orang yang menginginkannya. Dengan demikian, jika
ketimpangan berita seperti ini tetap dan terus dibiarkan maka iklim demokratis
yang sekarang telah berjalan lancar dinegeri ini akan terancam goyah dengan
pemberitaan yang tidak berimbang dan digunakan hanya untuk kepentingan legitimasi
kekuasaan belaka.
Melihat
realitas yang sekarang kita hadapi, menunjukan adanya ketidakjelasan dan
pergeseran nilai yang menghinggapi acara-acara televisi di Indonesia.
Seakan-akan tanyangan acara dan berita yang di suguhkan hanya untuk keuntungan
semata, asal acara tersebut di sukai, rating tinggi, maka urusan moral, nilai,
pendidikan dan kebudayaan menjadi terabaikan. Ketidak pedulian terhadap
prinsip-prinsip tersebut menunjukan bahwa seakan-akan media televisi yang ada
di Indonesia tidak ingin mendukung perkembangan dan kemajuan masyarakat
Indonesia secara umum. Bahkan Faisal Ismail berpendpat dalam bukunya paradigma
Kebudayaan Islam bahwa program-program tadi kian hari kian tidak berpihak pada
pengemabangan karakter budaya bangsa dan rambu-rambu normatif agama. Sehingga
fungsi pendidikan yang semestinya di emban oleh media pun tereleminasi dan
luput dari perhatian.
Kalau kita
simak pendapat beliau, maka ada betulnya juga. Mengingat kalau kita hitung
dengan jari, hanya ada beberapa acara televisi yang mendidik, selebihnya hanya
acara hiburan semata. Hal ini mengindikasikan bahwa ada yang perlu di benahi
dari acara pertelevisian Kita.
Bagaimana
langkah konkrit yang strategis dalam menghadapi permasalahan ini .? Dalam
sistem hirarki kemasyarakatan, penulis menempatkan mahasiswa sebagai ujung
tombak dari masyarakat itu sendiri. Mahasiswa sebagai agen of sosial control di
tuntut tidak hanya memerhatikan persoalan yang bergolak diranah politik
nasional, tetapi dalam usahanya memperjuangkan hak-hak rakyat maka mahasiswa
dituntut harus lebih kritis terhadap acara-acara yang di tayangkan di televisi.
Kepedulian tersebut bisa saja kita wujudkan dengan cara melaporkan acara yang dinilai
merugikan masyarakat secara mental kepada KPI, menulis jurnal ataupun karya
tulis ilmiah tentang bahaya budaya yang ditampilkan oleh televisi, atau kita
dapat berdiskusi tentang pengaruh negatif yang di timbulkan oleh media,
bukankah kebenaran itu harus di sampaikan walau hanya satu ayat. Dalam peran
lainnya mahasiswa juga harus pandai mempropagandakan kepada keluarga dan
masyarakat tentang dampak negatif yang harus difilter dan dijauhi ketika
menyaksikan acara-acara televisi.
Sebagaimana
yang telah penulis kemukakan di awal tulisan ini, sebagai salah satu instrumen pendukung dari terwujudnya fungsi
dan tujuan pendidikan, institusi keluarga juga seharusnya memberikan kontrol
terhadap anak-anaknya yang pada konteks ini menjadi peserta didik agar
memberikan batasan dan aturan yang jelas dalam mengonsumsi acara-acara yang
jauh dari mendidik. Aturan-aturan yang bersifat memaksa kepada anggotanya,
sehingga dengan begitu institusi keluarga dapat memberikan pengawasan terhadap
acara-acara yang di tonton oleh para remaja.
Seperti ungkapan
lama segenggam kekuasaan jauh lebih efektif daripada sekeranjang kebenaran.
Sudah semestinya bagi pemerintah mengawasi secara ketat unsur-unsur muatan
acara televisi, bukankah pasal 3 UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran
menyatakan secara jelas bahwa Penyiaran
diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya
watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan
bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang
mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran
Indonesia.
Ketika terjadi penyimpangan terhadap fungsi pendidikan yang di emban oleh acara
televisi maka sudah semestinya untuk memberikan sanksi tegas.
Selain itu, sebetulnya media
hanyalah alat yang digunakan oleh pemiliknya. Jadi muatan yang ditampilkan
dalam suatu program acara hanyalah hasil dari proses berpikir si pemilik dalam
menjalankan kepentingannya. Kepentingan disini bisa berarti kepentingan bisnis
yang semata-mata berorientasi hanya kepada uang, atau legitimasi sifat yang
apabila di ulang terus menerus dalam suatu pola tertentu tentu akan
menghasilkan sebuah budaya sesuai dengan kehendak si pemilik media. Selain itu
legitimasi kekuasaan juga bisa saja menjadi sasaran, sehingga pemberitaan yang
di ulang terus menerus dengan memberikan sedikit pengaruh opini di dalamnya
lama kelamaan akan membangun apa yang disebut dengan opini publik. Jadi
seharusnya si pemilik stasiun televisi tidak hanya menampilkan sebuah acara
hanya terpaku pada aspek materil, tetapi hendaknya harus juga mempertimbangkan
aspek bagaimana suatu acara membangun nilai dan moral yang sesuai dengan
kepentingan bangsa.
Maka dari itu semua, sudah
selaknya lah kita sebagai khalayak ramai peduli terhadap pendidikan yang
bagaimana diberikan oleh acara-acara televisi kepada masyarakat. Kepedulian ini
jugalah yang harus dimengerti secara mendalam baik itu mahasiswa, keluarga,
maupun masyarakat, sehingga dalam implementasinya kita tidak lagi di jejali
dengan acara-acara yang jauh dari tujuan dan fungsi pendidikan nasional kita.