Selasa, 29 Desember 2015

Menjaga Kearifan Lokal di 2016



(Sumber Ilustrasi: Wisesatravel.com)
Menjaga Kearifan Lokal di 2016

Oleh: Taufik Rahman
(Pemuda Asal Kecamatan Belawang)
Belawang, 28 Desember 2016

Hari minggu kemaren saya untuk pertama kalinya setelah satu minggu terakhir kembali membaca koran karena ada beberapa kesibukan dan aktivitas yang menuntut saya pulang kampung dan meninggalkan rutinitas saya sebagai mahasiswa di Banjarmasin.


Selain membaca tentang kekhawatiran Bre Redana terhadap ancaman dunia virtual dan wartawan multitask yang dituntut menyajikan berita secara cepat terhadap perkembangan dunia surat kabar dan wartawan konvensional yang selalu mewawancara si narasumber, yang dalam proses wawancaranya dengan menggunakan notes,  bolpoint dsb, yang dalam hal ini menurutnya bukan semata penampungan omongan orang melainkan sebuah konfrontasi kesadaran berupa nilai moral, etik dan kemanusiaan. Saya juga tertarik terhadap tulisan Jean Couteau yang berjudul “Traumatis”, saya pikir inilah tulisan paling mengesankan saya selama satu minggu terakhir ini.


Dalam tulisannya, Jean Coeteau memperbandingkan seorang turis asing sebutlah bule yang berkunjung ke Indonesia dan sebaliknya seorang Indonesia yang berkunjung ke mancanegara taruhlah Prancis.

Traumatis

Berikut tulisan Jean yang menurut saya penting untuk kita renungkan bersama:

 Orang bule yang baru menginjak bumi Pertiwi akan selalu dan seketika merasa “enak”. Lihat saja daftar kesenangan potensial itu. cuaca? Tak perlu memakai mantel. Hujan? Jarang Hujan sepanjang hari. Kepanasan? Ke mal atau toko pasti ada AC. Duit? Aman-aman saja: tak mungkin dibiarkan tinggal di bawah kolong jembatan. Lalu bagaimana manusianya.. Waah!"

"Bagus". Entah kenapa, orang-orang senyum melulu, bahkan tak jarang sambil membungkuk-bungkuk. Baru si bule minta minum, langsung "ditawarin" bir. Lalu mau belanja? Semua serba murah-biarpun "dimahalin sedikit" dulu. Tetapi ini baru awal. Kalau mulai bergaul, biarpun bule itu bodoh tak ketulungan, pasti dianggap cerdas; baru dia mengucapkan satu-dua patah kata dalam "Bahasa", sudah dikatakan lancar.

Semua kagum. Oh, ya, saya lupa. Si bule boleh marah: yang dimarahi selalu diam-dianggap wajar orang bule marah.... Yang maha penting, kalau dia "naksir" cewek, kemungkinan besar gol, biarpun dia sendiri gembrot atau kudisan. Dianggap pangeran. Enak kan, bagi bule itu? Melihat itu semua, siapa yang tidak mau jadi bule di negeri dongeng Indonesia? Biarpun dituduh imperialis, dianggap tidak kenal moral dan ditipu, bule itu tidak perlu peduli. Bahkan dia pun bisa belajar untuk tersenyum.

Lalu, bagaimana kalau Anda, sebagai orang Indonesia, menginjakkan kaki di bumi para "hidung panjang", katakanlah Perancis. Lain sekali! Awalnya berat. Harus siap menggigil karena dingin. Kalau tidak ada teman Indonesia untuk membantu, pasti susah. Siapa yang bisa diajak ngomong? Orang-orang bergegas-gegas "lagaknya persis robot". Kalau tidak ada "robot" itu, biasanya tidak ada siapa pun: jalan-jalan kosong. Lalu, bila sempat bertemu orang, pasti Anda akan tersenyum, kan? Seperti orang Indonesia pada umumnya. Tapi justru keliru: 50 persen kemungkinan bahwa si bule yang Anda sapa dengan senyum, akan bermuka mesem atau bergaya sombong.

Tak jelas sebabnya, tapi memang begitulah orang bule! Pokoknya jangan tersenyum, apalagi dengan menatap mata. Bisa-bisa diganggu, dipikir menantang berkelahi, atau kalau perempuan, dikira mengajak mesum. Membingungkan. Tetapi camkanlah di otak: harus cuek, bahkan rada arogan, baru "dipandang". Dan jangan dikira bahasa Inggris akan membantu! Apalagi bila sebatas "cas-cus" saja: bisa-bisa Anda dikira imigran gelap.

Lalu, bila berani naik angkutan umum, dan terutama bila tetap berani tersenyum, bisa jadi kecopetan dompetnya oleh sesama "imigran". Apakah lebih aman kalau belanja? Ya! Tetapi, jangan kaget bila dianggap kere dan tak dihiraukan oleh pramuniaga. Frustrasi!


Bersyukur Jadi Indonesia


Dan akhir tulisannya, Couteau menuliskan –Sialan: yang dikira jelek selalu juga ada baiknya dan kebalikannya (pen- yang kita kira baik ada juga keburukannya.)


Membaca tulisan Jean Couteau diatas seharusnya menjadi bahan perenungan kita sebagai bangsa dan manusia. Kita terkadang selalu fokus kepada perkembangan di Eropa –bukan ilmu dan pengetahuannya. Melainkan gayanya, fashionnya, busananya, tidak acuhnya dan lain-lain yang semua itu hanyalah atribut dari sebuah kemajuan, kita mengenal Barat dari apa yang dipakainya bukan dari apa yang dipikirkannya? Dan bagaimana pola fikirnya? di kepalanya yang yang merupakan substansi sebenarnya dari kemajuan mereka.


Kita terlalu sibuk mengkritik negeri sendiri lantaran oligarki politik yang tak kunjung reda walaupun sudah reformasi, sementara itu kita terkesan latah dan lupa bagaimana nikmatnya menjadi orang dan tinggal di Indonesia yang merupakan tempat yang bersahaja. Keramahan kita sebagai bangsa yang selalu tersenyum kepada sesama, menjalin hubungan akrab dengan tetangga dan anak-anak yang berlarian disepanjang jalan dengan bebasnya.


Kita mungkin juga lupa menyukuri betapa di Indonesia kita bisa membaca yasin, tahlilan dengan mengumpulkan orang banyak atau berkumpul sambil menikmati kopi berdiskusi ria semalaman suntuk dan tidak ada yang merasa terganggu atau aparat yang menangkap kita lantaran dianggap membawa agama keranah publik atau mengganggu ketertiban umum. Menganggumkan.


Tetapi, dalam tulisan Couetau ada beberapa hal yang semestinya menjadi perbaikan orang Indonesia, apa itu? sikap kita terhadap orang asing dalam tulisan Coueteau terlihat sangat ramah tetapi terkesan menghamba dilain sisi. Apa yang semestinya dirubah dari pola pandang ini? Pola pandang yang terlalu mengagungkan bule yang datang ke tanah air itulah menurut penulis harus diubah. Mengapa? Memang sebagai tuan rumah sudah selayaknya berlaku baik terhadap tamu, tetapi berlaku seolah derajat kemanusiaan mereka lebih tinggi dari kita itulah yang salah. Ketidak mampuan seseorang dalam memandang kesamaan derajat manusia hanya akan menciptakan kelas sosial. Saat kelas sosial sudah terbentuk, maka siap-siaplah menuai neofeodalism.


Alhasil, tulisan Couteau yang sebenarnya hanya membandingkan kebudayaan menyambut orang asing diatas menuntut kita untuk memperbaiki paradigma serta kualitas diri sehingga tidak lagi ketinggalan baik itu dari segi bahasa ataupun yang lainnya.


Modernitas dan Westernisasi


Memang, sudah tidak bisa lagi dipungkiri bahwa Barat dewasa ini telah menjadi semacam kiblat dari apa yang kita namakan kemajuan, benarkah? Dalam konstelasi ilmu, metode, peradaban, ekonomi hingga politik harus kita akui bahwa Barat secara komunal adalah arah semua manusia dalam berkaca. Tetapi kemajuan dalam berbagai bidang itu tidak menggambarkan semua bidang, taruhlah moral, agama dan etika orang Barat. Bagaimana di Prancis yang katanya merupakan negara paling menjunjung kebebasan ternyata tidak memperbolehkan atribut keagamaan dsb dipakai dihadapan umum atau free sex yang merajalela. Semua yang dilakukan oleh Barat tidak mesti kita sebut modern, modern adalah kemajuan bukan ketidakberaturan, modern adalah toleransi bukan pencampur adukan, modern adalah menikah bukan perzinaan, modern adalah kesaling bergantungan bukan ketergantungan.


Selain itu modernisasi dapat terwujud apabila masyarakatnya memiliki individu yang mempunyai sikap modern. Menurut Alex Inkeles seperti dikutip oleh Faisal Ismail  terdapat 9 ciri manusia modern. ciri-ciri itu sebagai berikut:
1. memiliki sikap hidup untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka untuk perubahan.
2. Memiliki keberanian untuk menyatakan pendapat dan demokratis
3. Menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi ke masa depan
4. Memiliki perencanaan dan pengorganisasian.
5. Percaya diri.
6. Perhitungan.
7. Menghargai harkat hidup manusia lain.
8. Percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
9. Menjunjung tinggi suatu sikap dimana imbalan yang diterima seseorang haruslah sesuai dengan prestasinya dalam masyarakat.


Maka oleh karena itulah modernisasi bukanlah westernisasi. Untuk menjadi modern kita tidak mesti harus menjadi Barat yang tidak seutuhnya modern. Saat ini kita memang tidak maju dalam beberapa hal, tetapi pada hal toleransi, keberagamaan, budaya dan adat istiadat kita jauh lebih modern dari orang barat. Kearifan lokal kita sebagai bangsa inilah yang semestinya kita jaga dan syukuri dengan tentunya membuang pikiran kolot ala feodalisme. Serta terus berusaha menggapai kemajuan dan kemodernan dibidang-bidang lain dengan terus berusaha ditahun akan datang. Selamat tahun baru 2016.
Taufik Rahman, Dimalam Penuh Nyamuk.

Minggu, 27 Desember 2015

Refleksi dari Bati-Bati




Refleksi dari Bati-Bati

Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga 2013, IAIN Antasari Banjarmasin)

Beberapa hari lalu saya pergi mengunjungi salah satu kebun karet investasi asing di Bati-Bati, saya sangat terkejut. Kenapa? karena pabrikan ban besar dunia yang merknya selalu menjadi iklan pada perhelatan MotoGP memperoleh karet –salah satunya dari daerah ini dan ironisnya dunia atau bahkan orang Indonesia sendiri tidak mengetahui hal ini. 


Tapi keterkejutan saya diatas bukanlah hal istimewa dibandingkan ketika saya berkunjung kerumah kerabat jauh rekan saya. Disana kami disambut oleh seorang nenek dan paman.
Setelah bersalaman kami dipersilakan masuk dan disuguhi teh, hingga kini cerita-cerita dan penalaran yang disuguhkan oleh kedua orang tuan rumah tersebut terus menjadi perenungan saya selama beberapa hari terakhir.


Yang pertama adalah nenek, saat berbincang beliau menceritakan bahwa dimasa mudanya dahulu beliau hidup dizaman Pemerintahan Jepang, dengan sangat jelas beliau mengingat detail kejadian saat tentara Jepang datang dan orang-orang menyanyikan lagu menyambut mereka. Saya pribadi semakin terkesan saat beliau menyanyikan lagu itu dengan lancar. Tidak ketinggalan juga beliau menceritakan keadaan rakyat yang sengsara ditengah suasana keterjajahan, memakan singkong yang tidak dimasak dan dedaunan hanya untuk bertahan hidup. Tapi suasana keterjajahan itu membuat orang-orang mempunyai rasa persaudaraan yang kuat satu sama lain. “Musuhnya cuma satu, Jepang.” Kata beliau.
Cerita beliau membuat saya semakin penasaran akan sejarah yang langsung dituturkan oleh pelaku sejarah itu sendiri, bukan oleh pemenang chaos politik ataupun buku sejarah yang dingin dan terpisah dari kenyataan.


Rasa penasaran tentang kondisi sosial kerakyatan saat peristiwa pemberontakan PKI pun akhirnya saya lontarkan, “Kalau zaman PKI, seperti apa mbah?” tanya saya ketika itu.
Setelah sempat diam beberapa saat, beliau menceritakan tentang adanya pembantaian besar-besaran. Saya kembali menanyakan siapa yang membantai siapa? Uniknya beliau tidak menjawab pertanyaan ini dan akhirnya malah mengatakan peristiwa ini lebih dahulu daripada penjajahan Jepang, tentu saja ini tidak benar. 


Akhirnya saya berhenti menanyai beliau tentang peristiwa tersebut, walaupun menurut saya pribadi saya terlalu cepat menyimpulkan, saya beranggapan saking sangat tidak jelas dan mencekamnya peristiwa G30S dan sesudahnya sampai membuat kesan dan gagasan nenek tersebut menjadi jungkir balik, chaos politik mengakibatkan fakta menjadi barang langka.


Kedua, setelah nenek pergi kebelakang untuk menyiapkan makan sore giliran paman yang mulai bertutur. Paman yang satu ini tidak menuturkan cerita sejarah melainkan kondisi pemerintahan bangsa. Pada penuturannya menanggapi berita-berita tentang kasus-kasus korupsi para pejabat dan skandal pencatutan nama presiden yang melibatkan PT.Freeport dengan cukup serius beliau mengamini kenapa banyak bermunculan gerakan separatis di timur Indonesia, hal itu tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh perilaku pemerintah kita yang menganak tirikan daerah mereka disatu sisi dan menjual kekayaan daerah itu kepada asing pada sisi lainnya. beliau juga mengkritik sikap para penguasa yang dalam kebiasaannya hanya ingin untung sendiri dan ingin persenannya saja, tanpa memperdulikan pengembangan SDM-SDM.
“Banyak yang pintar dan cerdas, tapi kemauan pemerintah kita yang tidak ada untuk memberikan biaya dan pembinaan.” Ungkapnya.


Selain itu beliau juga mengungkapkan pandangannya tentang korupsi yang ramai dilakukan oleh berbagai lembaga dinegara ini, mulai dari eksekutif, yudikatif hingga legislatif.
Dalam pandangannya bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi bisa diberantas, lembaga anti rasuah hanya untuk mengurangi tindakan korupsi bukan untuk membuat orang tidak lagi korupsi. Hal ini yang membuat saya tertegun, kemudian beliau memberikan contoh sederhana anak yang diberi uang jajan oleh orang tuanya 5000 untuk dua hari, ternyata belum sampai satu hari uang itu sudah habis. Kebiasaan-kebiasaan kecil seperti itulah yang kata beliau bibit dari korupsi dinegeri ini.


Akhirnya, saya pulang ke Banjarmasin dengan otak yang terus berpikir, hingga akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan percakapan dengan dua orang yang luar biasa tersebut.

Pertama saya menyadari bahwa transisi pemerintahan yang disebabkan oleh kondisi yang kacau menyebabkan kesan dan kondisi psikologis yang tidak baik untuk rakyat. Ditambah lagi sejarah yang kacau membuat seorang rakyat tidak tahu harus berada untuk posisi apa iya akan bercerita apakah untuk menguak kebenaran atau diam agar tidak diusik oleh siapapun yang berkepentingan menutup mulutnya.

Selanjutnya adalah cerita tentang musuh bersama yang dimiliki bangsa Indonesia saat zaman Jepang. Benar apa yang dikatakan oleh Bung Karno bahwa perjuangan kita jauh akan lebih berat karena akan melawan bangsa kita sendiri, jika saya boleh menambahkan saat ini lawan kita juga orang asing.

Hal ini mengingatkan saya kembali akan novel yang ditulis oleh Multatuli dalam novelnya Max Haveelar, dalam novel itu Multatuli menyinggung secara tersirat bahwa penderitaan orang Hindia Belanda bukan serta merta karena pemerintahan Belanda melainkan jug dikarenakan sikap para pengusa lokal yang berkelakuan sangat konsumtif dan suka pamer namun ingin mendapatkan kemewahan itu dengan meramaps dan menjarah barang atau tenaga rakyatnya sendiri, saya pikir hal ini masih sangat relevan dengan cerita paman tentang betapa kondisi mental yang korup dari pejabat bangsa ini tidak akan bisa diatasi lagi.


Ironis memang, namun semua itu adalah kenyataan. Bagaimana menyikapinya? Bahwa etika, kejujuran, tanggung jawab dan moral itu adalah karakter. Karakter tidak dimasukan dari luar, iya adalah sesuatu yang berasal dari dalam diri setiap orang. Hanya dengan kesadaran akan keharusan berlaku jujur, bertanggung jawab dan bermoral lah setiap orang akan menjadi manusia. Harus saya katakan tidak seperti kuda yang dilahirkan, untuk menjadi manusia seorang harus dibentuk. Bagaimana menmbentuknya? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing dan melakukan pembiasaan-pembiasaan akan kejujuran dan bertanggung jawab yang kita mulai dari hal kecil dan diri kita sendiri.


Menyikapi tentang KKN yang menjadi-jadi, saya pernah menghadiri seminar yang pematerinya adalah Mahfud MD, dalam seminar itu beliau menyampaiakan bahwa hanya dengan pemutihan lah politik oligarkis dan saling sandera dinegeri akan berhenti menghasilkan para koruptor. Bagaimana tidak, saling sandera dan ancam buka kartu menyebabkan suap, korupsi menjadi efek domino.

Rasanya hal ini bisa saya terima sebagai salah satu solusi konkrit memberantas korupsi, asalkan setelah pemutihan dosa dilakukan pejabat yang terindikasi korupsi saja harus langsung diberhentikan, dimiskinkan atau bahkan dihukum mati. Kenapa? Karena korupsi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sekarang, kita sebagai pengamat hanya bisa menganjurkan bahwa lawan kita adalah penguasa korup yang dalam prakteknya terkadang menjadi pembantu asing atau rela menjadi budak mereka dengan mengorup kekayaan bangsanya sendiri.

Akhirnya, korupsi bukanlah masalah kaya atau tidaknya seseorang, melainkan merasa cukup atau tidaknya ia akan sesuatu.

Rabu, 23 Desember 2015

Menyoal Budaya Lisan, Membangun Karakter.

Menyoal Budaya Lisan, Membangun Karakter. 
(Tulisan ini sebelumnya telah dimuat dan dipublis diharian Kalimantan Post edisi 9 Des 15)


Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin)



Dalam sebuah gagasannya Bung Karno Pernah mengemukakan sebuah visi Indonesia dimasa depan yakni National and Character Building. Konsep tersebut menitik beratkan kepada penyiapan mental manusia Indonesia (mental investment). Pembangunan mental ini bertujuan melahirkan manusia Indonesia baru, yang mental politiknya berdaulat, mental ekonominya berdikari, dan mental kebudayaannya berkepribadian bangsa Indonesia.


Manusia baru ini harus anti-imperialisme dan anti-kapitalisme. Dengan demikian, jiwa manusia baru ini bisa sejalan dengan pembangunan sosialisme Indonesia alias masyarakat adil dan makmur.
Bung Karno sering berseru-seru “nation and character building”. Katanya, keahlian atau pengetahuan teknik, jikalau tak dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mungkin mencapai tujuannya. Ilmu pun harus dilandasi oleh sebuah jiwa. Ilmu harus didedikasikan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.


Dalam konteks pembangunan mental dan karakter manusia-manusia Indonesia itu maka ada tiga institusi yang berperan dan menjadi ujung tombak yakni, kelurga, masyarakat dan pendidikan. Ketiga institusi ini saling tertaut satu sama lain dalam ikatan budaya kebudayaan.


Budaya sebuah Agama?

Disadari ataupun tidak, budaya merupakan unsure fundamen dalam suatu masyarakat. Budaya hidup didalam keluarga, memengaruhi pola, fikir dan tindak tanduk masyarakat. Hnay dari budaya yang baiklah sebuah peradaban  yang baik dibangun. Sebaliknya, budaya yang buruk akan membentuk budaya yang tidak baik. Budaya adalah semacam cipta, rasa, pola, paradigm yang dilakukakn suatu masyarakat secara berulang ulang dan berlangsung dalam waktu yang lama. Ia berperan dalam membentuk karakter kemanusiaan. Sama seperti peradaban –karakter yang baik hanya dibentuk oleh kebudayaan yang baik.


Dalam beberapa sisi, budaya hamper sama seperti agama yakni: memegang hamper seluruh sendi perilaku masyarakat. Namun, jika agama diklaim oleh para pemeliknya secara sengaja diturunkan olehTuhan untuk mengatur bagaimana cara manusia hidup, menurut penulis budaya dalam hal ini merupakan sebuah tindakan sengaja atau tidak sengaja yang secara perlahan mengendap dan membentuk karakter. Walupun sama-sama mempengaruhi pola fikir dan perbuatan manusia, agama dan budaya merupakan dua hal yang jauh berbeda. Jika agama mempunyai batasan dan kemutlakan dalam doktrinnya. Maka budaya bisa saja menembus batasajaran itu, dia bisa lebih luas dari agama. Tapi budaya tidak memiliki tingkat kemutlakan dia bisa saja dihapus, diubah, diperbaiki atau bahkan dihancurkan.


Budaya Lisan: Pembentuk Karakter Bangsa

Salah satu budaya yang paling besar peran dan pengaruhnay untuk kondisi mental dan kejiwaan bangsa Indonesia adalah: budaya lisan. Buday lisan adalah budaya bertutur atau bercerita dari satu generasi kegenerasi selanjutnya dengan cerita-cerita yang beragam. Buday lisan seringkali dituturkan dari orang tua kepada anaknya. Penulis yakin hamper setiap generasi baru akan mendapat cerita dari budaya semacam ini. Tutur cerita yang diberikan ini biasanya mengandung nilai moral didalamnya untuk diteladani oleh seorang anak. Anak secara tidak sadar juga menyimpan kesan-kesan dari cerita itu kedalam pikiran bawah sadarnya. Kenapa? Kerana, pertama cerita biasanya diceritakan secar berulang-ulang. Kedua, anak memiliki daya gambar dan imajinasi yang masih sangat bagus.
Alhasil, sedikit banyak suatu generasi yang mendapat cerita dari budaya lisan itu akan terpengaruh. Entah itu dari pikiran , tindakan dan ucapannya baik sadar ataupun tidak.

Moral Bangsa

Kini, setelah 70 Thaun merdeka, bangsa Indonesia sekan-akan masih terbelenggu dalam dunia kolonialisme. Bangsa yang mengklaim sebagai bangsa pemilik kebudayaan paling kaya sejagat ini hingga saat ini belum juga mampu untuk membangun peradaban sebesar kebudayaan yang diakuinya. Hal ini menjukan ada yang salah dengan kebudayaan kita. Bagaiman tidak


Jangankan membangun peradaban yang besar, membentuk mental dan watak manusianya saja budaya kita tidak sanggup. Indikasinya adalah korupsi yang menjangkiti hamper seluruh institusi pemerintahan dinegeri ini mengindikasikan bahwa mental dan watak bangsa kita secara komunal masih terbelakang. Maka wajar bila Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia mengemukakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa munafik.


Oleh karena hal-hal itulah, penulis merasa bahwa budaya kita khususnya buday lisan bukanlah budaya yang baik untuk membentuk cita-cita awal yakni Nation and Character Building.
Menurut penulis salah satu penyebab dasar maslah oral dan krisis nilai yang dialami bangsa Indonesia saat ini salah satunya bermula dari cerita-cerita ataupun dongeng yang didapat oleh seseorang melalui budaya lisan sewaktu kecil.
Bagaimana bisa?


Masalah Nilai yang Ambigu

Secara psikologis cerita yang diulang-ulangkan untuk diperdengarkan oelh seseorang akan masuk kalam bawah sadar, lalu secara tidak laangsung akan mempengaruhi tindakan dan pola fikir.
Selanjutnya, saya akan mengajak pembaca untuk merefleksikan dongeng ataupun cerita rakyat yang disuguhkan kepada kita sewaktu kecil.


Menurut survey kecil-kecilana yang saya buat dengan bertanya kepada beberapa teman dongeng-dongen yang menghiasi masa kecil seseorang berkisar antara cerita tentang kancil, kura-kura, buaya, monyet dan binatang lain. Ceriat-cerita itu jika ditanaykan kepada setiap orang dewasa saat ini pasti semua mereka mengetahui alur dan akhir dari donegn-donegng tersebut. Cerita itu telah hidup dan mengilhami semua pikiran orang yang diceritakan akan sebuah kecerdasan, kepintaran dan strategi.
Pun dengan cerita rakyat yang sering disuguhkan, hamper selurh orang dewasa mengetahui cerita malin kundang, sangkuriang, dll. Sekali lagi, cerita-cerita tersebut diklaim oleh bangsa Indonesia sebagai sumber moral dan nilai yang berasal dari budaya yang luhur.


Namu, menurut hemat penulis cerita-cerita ataupun dongen dongeng itu telah berhasil membentuk karakter dan watak manusia Indonesia –bukan karakter yang luhur yang penulis maksud tetapi sebaliknya karakter culas, licik, korup dan ambigu.


Refleksi Anti Kemapanan

Dalam pada ini, penulis akan merefleksikan beberapa cerita rakyat, dongen maupun fable yang menurut penulis pengaruhnya sangat  besar terhadap perkembangan mental bangsa Indonesia dewasa ini.


Dongeng kancil, semua orang yang menuturkan dongeng itu tentu akan membanggakan kecerdasan kancil dalam memperoleh mentimun dikebun pak petani tau saat kancil menipu para buaya lapar yang hendak memakannya dan berhasil menyeberang sungai. Pun dengan orang akan mengangumi bagaimana para siput mengalahkan kancil dalam perlombaan lari.


Disinilah letak paradoks nilai yang disguhkan oleh fable-fabel kita. Posisi kancil sebagai tokoh utama cerita yang mengandalakan kecerdasannya untuk megalahkan lawan-lawannya demi keuntungan pribadi lalu mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan tepat janji telah mempengaruhi pola pikir dan tindakan manusia Indoensia. Alhasil, terciptakan manusia-manusia yang mengabaikan nilai-nilai kejujuran demi keuntungan pribadi. Manusia yang menggunakan kecerdasanya untuk mengelabui orang-orang, lalu terciptlah manusia bermental korup.


Juga saat kancil mencuri mentimun, alih laih kancil yang disalahkan. Justru petanilah yang dianggap salah oleh cerita dan sekali lagi kancil menjadi pencuri yang dilindungi.


Timun Mas, jika kita renungkan secara mendalamdongeng ini menyguhkan sebuah nilai yang mengajarkan ingkar janji. Bagaimana seharusnya dua orang tua memberikan timun mas yang sudah besar kepada raksasa dalam tataran idealism malah justeru melarikannya. Pun dengan penyelesaian masalah diakhir cerita, timun mas lari dari masalh. Tidak ada solusi yang ditawarkans elain lari dari masalah dan menaburkan hal-hal ajaib untuk bisa mengalahkan raksasa.


Juga tentang Malin Kundang yang rela berbohong untuk menyelamatkan nama baiknya, ataupun kelicikan yang dilakukan oleh Roro Jongrang dan Dayang Sumbi.
Jika bangsa sebesar bangsa ini dibangun melalui cerita-cerita yang didalamnya mengaqngdung paradox nilai seperti itu maka jangan heran bila kita oleh Mochtar Lubis adalah manusia munafik.
Saat budaya lisan telah membangun karakter mental yang sedemikian rapuh dan runyam maka jangan salahlan generasi-generasi korup, tidak jujur, lari dari tanggung jawab hadir setiap saat dinegeri ini. 


Titik penting ini akan sangat bertolak belakang jika kita bandingkan dengan cerita dari bangsa Jepang yang salah satunya mengajarkan hara-kiri bagi setiap samurai yang gagal melaksanakan tugas. Bagaimana tidak, budaya cerita lisan dari jepang tentang samurai itu telah menyuguhkan budaya malu yang akhirnya mengilhami setiap orang jepang yang gagal dalam tugasnya untuk bertanggung jawab sepenuhnya.

Revolusi Kebudayaan

Menjadi bagian-bagianpenutup tulisan ini, maka jika bangsa Indonesia hendak bangkit secara komunal dalam keasadaran berbudaya yang tinggi, maka bangsa ini harus segera melakukan revolusi budaya, khususnya budaya lisan.


Para guru semestinya tidak lagi mencertakan cerita-cerita yang mengandung nilai yang paradox seperti itu. Pun dengan orang tua.


Dan dalam konteks ini sudah seharusnyalah para budayawan dan sastrawan duduk bersama mebahas masalah ini secara serius.


Akhirnya, bukankan semua kemajuan Eropa masa kini dimulai dari Rennaisance yang semua itu dimulai dari sebuah gelombang kebudayaan terbarukan.