(Sumber Ilustrasi: Wisesatravel.com)
Menjaga Kearifan Lokal di 2016
Oleh: Taufik Rahman
(Pemuda Asal Kecamatan Belawang)
Belawang, 28 Desember 2016
Hari minggu kemaren
saya untuk pertama kalinya setelah satu minggu terakhir kembali membaca koran
karena ada beberapa kesibukan dan aktivitas yang menuntut saya pulang kampung
dan meninggalkan rutinitas saya sebagai mahasiswa di Banjarmasin.
Selain membaca tentang
kekhawatiran Bre Redana terhadap ancaman dunia virtual dan wartawan multitask yang dituntut menyajikan
berita secara cepat terhadap perkembangan dunia surat kabar dan wartawan
konvensional yang selalu mewawancara si narasumber, yang dalam proses
wawancaranya dengan menggunakan notes,
bolpoint dsb, yang dalam hal ini menurutnya bukan semata penampungan
omongan orang melainkan sebuah konfrontasi kesadaran berupa nilai moral, etik
dan kemanusiaan. Saya juga tertarik terhadap tulisan Jean Couteau yang berjudul
“Traumatis”, saya pikir inilah tulisan paling mengesankan saya selama satu
minggu terakhir ini.
Dalam tulisannya, Jean
Coeteau memperbandingkan seorang turis asing sebutlah bule yang berkunjung ke
Indonesia dan sebaliknya seorang Indonesia yang berkunjung ke mancanegara
taruhlah Prancis.
Traumatis
Berikut tulisan Jean
yang menurut saya penting untuk kita renungkan bersama:
Orang bule yang baru menginjak bumi Pertiwi
akan selalu dan seketika merasa “enak”. Lihat saja daftar kesenangan potensial
itu. cuaca? Tak perlu memakai mantel. Hujan? Jarang Hujan sepanjang hari.
Kepanasan? Ke mal atau toko pasti ada AC. Duit? Aman-aman saja: tak mungkin
dibiarkan tinggal di bawah kolong jembatan. Lalu bagaimana manusianya..
Waah!"
"Bagus".
Entah kenapa, orang-orang senyum melulu, bahkan tak jarang sambil
membungkuk-bungkuk. Baru si bule minta minum, langsung "ditawarin"
bir. Lalu mau belanja? Semua serba murah-biarpun "dimahalin sedikit"
dulu. Tetapi ini baru awal. Kalau mulai bergaul, biarpun bule itu bodoh tak
ketulungan, pasti dianggap cerdas; baru dia mengucapkan satu-dua patah kata
dalam "Bahasa", sudah dikatakan lancar.
Semua kagum. Oh, ya,
saya lupa. Si bule boleh marah: yang dimarahi selalu diam-dianggap wajar orang
bule marah.... Yang maha penting, kalau dia "naksir" cewek,
kemungkinan besar gol, biarpun dia sendiri gembrot atau kudisan. Dianggap
pangeran. Enak kan, bagi bule itu? Melihat itu semua, siapa yang tidak mau jadi
bule di negeri dongeng Indonesia? Biarpun dituduh imperialis, dianggap tidak
kenal moral dan ditipu, bule itu tidak perlu peduli. Bahkan dia pun bisa
belajar untuk tersenyum.
Lalu, bagaimana kalau
Anda, sebagai orang Indonesia, menginjakkan kaki di bumi para "hidung
panjang", katakanlah Perancis. Lain sekali! Awalnya berat. Harus siap
menggigil karena dingin. Kalau tidak ada teman Indonesia untuk membantu, pasti
susah. Siapa yang bisa diajak ngomong? Orang-orang bergegas-gegas
"lagaknya persis robot". Kalau tidak ada "robot" itu,
biasanya tidak ada siapa pun: jalan-jalan kosong. Lalu, bila sempat bertemu
orang, pasti Anda akan tersenyum, kan? Seperti orang Indonesia pada umumnya.
Tapi justru keliru: 50 persen kemungkinan bahwa si bule yang Anda sapa dengan
senyum, akan bermuka mesem atau bergaya sombong.
Tak jelas sebabnya,
tapi memang begitulah orang bule! Pokoknya jangan tersenyum, apalagi dengan
menatap mata. Bisa-bisa diganggu, dipikir menantang berkelahi, atau kalau
perempuan, dikira mengajak mesum. Membingungkan. Tetapi camkanlah di otak:
harus cuek, bahkan rada arogan, baru "dipandang". Dan jangan dikira
bahasa Inggris akan membantu! Apalagi bila sebatas "cas-cus" saja: bisa-bisa
Anda dikira imigran gelap.
Lalu, bila berani naik
angkutan umum, dan terutama bila tetap berani tersenyum, bisa jadi kecopetan
dompetnya oleh sesama "imigran". Apakah lebih aman kalau belanja? Ya!
Tetapi, jangan kaget bila dianggap kere dan tak dihiraukan oleh pramuniaga.
Frustrasi!
Bersyukur Jadi Indonesia
Dan akhir tulisannya,
Couteau menuliskan –Sialan: yang dikira jelek selalu juga ada baiknya dan
kebalikannya (pen- yang kita kira baik ada juga keburukannya.)
Membaca tulisan Jean
Couteau diatas seharusnya menjadi bahan perenungan kita sebagai bangsa dan manusia.
Kita terkadang selalu fokus kepada perkembangan di Eropa –bukan ilmu dan
pengetahuannya. Melainkan gayanya, fashionnya, busananya, tidak acuhnya dan
lain-lain yang semua itu hanyalah atribut dari sebuah kemajuan, kita mengenal
Barat dari apa yang dipakainya bukan dari apa yang dipikirkannya? Dan bagaimana
pola fikirnya? di kepalanya yang yang merupakan substansi sebenarnya dari
kemajuan mereka.
Kita terlalu sibuk
mengkritik negeri sendiri lantaran oligarki politik yang tak kunjung reda
walaupun sudah reformasi, sementara itu kita terkesan latah dan lupa bagaimana
nikmatnya menjadi orang dan tinggal di Indonesia yang merupakan tempat yang
bersahaja. Keramahan kita sebagai bangsa yang selalu tersenyum kepada sesama,
menjalin hubungan akrab dengan tetangga dan anak-anak yang berlarian
disepanjang jalan dengan bebasnya.
Kita mungkin juga lupa
menyukuri betapa di Indonesia kita bisa membaca yasin, tahlilan dengan mengumpulkan
orang banyak atau berkumpul sambil menikmati kopi berdiskusi ria semalaman
suntuk dan tidak ada yang merasa terganggu atau aparat yang menangkap kita
lantaran dianggap membawa agama keranah publik atau mengganggu ketertiban umum.
Menganggumkan.
Tetapi, dalam tulisan
Couetau ada beberapa hal yang semestinya menjadi perbaikan orang Indonesia, apa
itu? sikap kita terhadap orang asing dalam tulisan Coueteau terlihat sangat
ramah tetapi terkesan menghamba dilain sisi. Apa yang semestinya dirubah dari
pola pandang ini? Pola pandang yang terlalu mengagungkan bule yang datang ke
tanah air itulah menurut penulis harus diubah. Mengapa? Memang sebagai tuan
rumah sudah selayaknya berlaku baik terhadap tamu, tetapi berlaku seolah
derajat kemanusiaan mereka lebih tinggi dari kita itulah yang salah. Ketidak mampuan
seseorang dalam memandang kesamaan derajat manusia hanya akan menciptakan kelas
sosial. Saat kelas sosial sudah terbentuk, maka siap-siaplah menuai
neofeodalism.
Alhasil, tulisan
Couteau yang sebenarnya hanya membandingkan kebudayaan menyambut orang asing
diatas menuntut kita untuk memperbaiki paradigma serta kualitas diri sehingga
tidak lagi ketinggalan baik itu dari segi bahasa ataupun yang lainnya.
Modernitas dan Westernisasi
Memang, sudah tidak
bisa lagi dipungkiri bahwa Barat dewasa ini telah menjadi semacam kiblat dari
apa yang kita namakan kemajuan, benarkah? Dalam konstelasi ilmu, metode,
peradaban, ekonomi hingga politik harus kita akui bahwa Barat secara komunal
adalah arah semua manusia dalam berkaca. Tetapi kemajuan dalam berbagai bidang
itu tidak menggambarkan semua bidang, taruhlah moral, agama dan etika orang
Barat. Bagaimana di Prancis yang katanya merupakan negara paling menjunjung
kebebasan ternyata tidak memperbolehkan atribut keagamaan dsb dipakai dihadapan
umum atau free sex yang merajalela. Semua
yang dilakukan oleh Barat tidak mesti kita sebut modern, modern adalah kemajuan
bukan ketidakberaturan, modern adalah toleransi bukan pencampur adukan, modern
adalah menikah bukan perzinaan, modern adalah kesaling bergantungan bukan
ketergantungan.
Selain itu modernisasi
dapat terwujud apabila masyarakatnya memiliki individu yang mempunyai sikap
modern. Menurut Alex Inkeles seperti dikutip oleh Faisal Ismail terdapat 9 ciri manusia modern. ciri-ciri itu
sebagai berikut:
1. memiliki sikap hidup
untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka untuk perubahan.
2. Memiliki keberanian
untuk menyatakan pendapat dan demokratis
3. Menghargai waktu dan
lebih banyak berorientasi ke masa depan
4. Memiliki perencanaan
dan pengorganisasian.
5. Percaya diri.
6. Perhitungan.
7. Menghargai harkat
hidup manusia lain.
8. Percaya pada ilmu
pengetahuan dan teknologi.
9. Menjunjung tinggi
suatu sikap dimana imbalan yang diterima seseorang haruslah sesuai dengan
prestasinya dalam masyarakat.
Maka oleh karena itulah
modernisasi bukanlah westernisasi. Untuk menjadi modern kita tidak mesti harus
menjadi Barat yang tidak seutuhnya modern. Saat ini kita memang tidak maju
dalam beberapa hal, tetapi pada hal toleransi, keberagamaan, budaya dan adat
istiadat kita jauh lebih modern dari orang barat. Kearifan lokal kita sebagai
bangsa inilah yang semestinya kita jaga dan syukuri dengan tentunya membuang
pikiran kolot ala feodalisme. Serta terus berusaha menggapai kemajuan dan
kemodernan dibidang-bidang lain dengan terus berusaha ditahun akan datang. Selamat
tahun baru 2016.
Taufik Rahman, Dimalam Penuh Nyamuk.