Illuminasi : Penyesalan Sang Manusia
Oleh : Taufik Rahman
Pipit-pipit yang terbang melewati pandanganku pada
senyapnya perasaan hati terasa jauh lebih baik dari keadaan hidupku saat ini. Atau
bahkan panasnya matahari disiang hari
yang mencoba melekangkan setiap benda yang disinarinya juga jauh lebih
bermanfaat dari seorang yang duduk termangu meratapi takdir di depan beranda
rumah. Takdir yang tak berpihak.Dalam ratapan yang gelap, mata terbuka namun
tak dapat melihat, telinga mendengar namun tak dapat menyerap, kaki lengkap
namun sulit untuk berjalan.
Namaku Kahlil, Muhammad Kahlil lengkapnya. Terdengar
familiar bagi siapapun yang menyukai syair-syair cinta, alam, Tuhan dan
Kehidupan karangan Kahlil Gibran. Tapi percayalah aku bukanlah Kahlil Gibran
yang pandai merangkai kata dalam ikatan syair-syair metaforis atau puisi
tingkat dewa, tidak pula pandai dalam memahat patung, jangankan memahat patung,
mengukir sebuah relief di hati orang-orang yang kukenal saja sangat sulit. Aku
rasa akulah makhluk yang paling tidak beruntung dalam hidup ini. Makhluk beban.
Kembali lagi ingatanku kesebuah peristiwa sekitar 6
tahun yang lalu, ketika bayang-bayang sehat masih kurasakan, ketika dua kaki
masih terasa, ketika dua kaki masih bisa membuat gol-gol indah kedalam jaring
para pecundang, masa yang indah.
Kejadian itu bertepatan dengan sebuah peristiwa
lemparan sepatu keberanian oleh seorang wartawan Irak. Ditengah jumpa pers
bersama PM Maliki, seorang wartawan berdiri dan berteriak, "ini tanda
perpisahan dari rakyat Irak, anjing," dan kemudian melempar sepasang
sepatunya ke arah Presiden Bush. Tapi sayang lemparan Muntazer Zaidi meleset.
Memang dalam budaya orang Arab, sol sepatu merupakan hinaan paling buruk kepada
seseorang. Bahkan sejumlah orang menggunakan sepatu untuk memukuli patung
Saddam Hussein di Baghdad setelah dia digulingkan. Tapi, yang patut diacungi
jempol iyalah keberaniannya dalam melempar sepatu, kurasa aku tidak memiliki
keberanian seperti itu.
Saat itu, ditengah kesibukan stagnan ku, yaitu
“kupu-kupu”. Hanya kuliah lalu pulang. Ketika itu aku sedang asik membaca
diperpustakaan, sebagai mahasiswa semester delapan mungkin membaca merupakan
kegiatan yang dapat menghilangkan kejenuhan sesaat telah berhasil menulis
skripsi. Tapi yang kubaca bukanlah buku literatur atau pemikiran seperti buku
Gerpoleknya Tan Malaka,, bukan pula novel berbobot karya Dan Brown, atau roman
sajak yang mempertegas indahnya suasana estetis dalam jiwa, sama sekali bukan.
Komik Naruto yang ku pinjam dari seorang kawan kuliahlah yang menemaniku kala
itu. Sebuah penyesalan tiada tara bagiku saat ini. Aku terjerumus kedalam
budaya sesat jaman kanak-kanak. Yah, menonton film ke bioskop, komik-komik
jepang, bermain futsal, dan bahkan hingga pacaran tidak sehat. Masa yang
seharusnya kala itu ku isi dengan menjadi pembelajar yang baik dengan membaca,
berdiskusi, dan berorganisasi, malah ku sia-siakan dengan kegiatan hiburan
semacam itu. Memang sebetulnya komik-komik Jepang, film, futsal, wanita dan
lainnya itu bukanlah larangan bagi seseorang, tetapi kalau kuliah hanya beralas
hal-hal itu. Itulah yang keliru. Sebuah masa sesat.
“Kahlil….., ” sapa seorang kawan dari belakang.
“Oh…., Kau Iqbal, mengejutkan ku saja” ucapku sambil
memalingkan wajah kearahnya.
Masih jelas ketika itu, aku melihat sosok wajah yang
terlihat pucat dan noda hitam kurang tidur melingkar dimatanya seolah sedang
menjelaskan apa yang dilakukannya tadi malam. Begadang.
Sama sepertiku, dia juga mengambil prodi Hukum di
kampus ini. Dan yang lebih membuatku terkesan lagi iyalah, kami selalu bersama
sejak taman kanak-kanak. Hanya Iqbal yang selalu setia disisi panjang hidupku
selama itu.
Iqbal menurut pandanganku kala itu bukanlah orang
yang spesial, biasa.
“Mau kemana nanti kau” Tanya nya spontan.
“Mau kemana ????, kemanapun boleh ….hahahhahaha”
jawabku dengan sesuka hati.
“ah,,, kamu ini, kalau aku mungkin akan melanjutkan
S2 ke Jogyakarta, kan sayang beasiswa gak di ambil” jelasnya sambil menggunakan
aksen khas orang Marabahan.
“aku santai dirumah aja dulu,,,, mungkin bisa juga nanti
bekerja di kecamatan, kita kan sarjana” ungkapku dengan nada datar sambil
membaca komik itu.
Ingatanku tentang pertemuan dan percakapan singkat (sermone Farcallis) saat itupun rasanya
sudah mulai pudar dalam ingatanku sekarang ini.
Tapi hari ini, ketika Jerman berhasil membantai tuan
rumah Brazil 1-7 di babak semifinal
perhelatan piala dunia 2014, bertepatan dengan rakyat Indonesia melakukan
kewajiban yang berupa haknya dalam pemilihan umum presiden, dan juga saat
seorang pecundang duduk termangu didepan beranda rumah. Aku.
Aku sadar dengan sesadar-sadarnya setelah 6 tahun
percakapanku kala itu. Percakapan singkat itulah yang membedakanku dengan
Iqbal. Orang yang kuanggap biasa-biasa saja itu, kini telah menjadi seorang
dosen. Orang yang sedari kecil kemampuan akademik dan olahraganya tidak pernah
lebih baik dariku atau bahkan jauh dibawahku, kini membuktikan satu hal
kapadaku, sukses. Di percakapan sederhana itu, Iqbal sebetulnya telah
memberitahukan kepadaku agenda hidupnya. Memang dalam hidup ini setiap orang
memiliki agendanya masing-masing, setiap orang mempunyai hal yang harus dituju
dan diperjuangkan. Lewat agenda hidup itulah seorang akan mampu memetakan
hasrat dan kelakukan tentang bagaimana iya bertindak, seperti memilih
organisasi atau tidak, mengatur pengambilan SKS, memilih pergaulan, dan banyak
lagi. Terdengar fragmatis memang, tapi selama kita tidak meninggalkan
prinsip-prinsip kebenaran dan nilai, sah-sah saja.
Kalau saja
agenda tujuan hidupku kususun sedari wisuda, mungkin kejadiannya akan berbeda.
Mungkin pecundang yang duduk dipangkuan kursi roda ini tidak akan pernah ada.
Kini kusadari bahwa keangkuhan ku kala itu tidak pernah memberi bekas
sedikitpun kepada perjuangan karir dan kehidupanku. Iqbal yang dahulu bukanlah
apa-apa didalam pandanganku membuktikan satu hal, pada akhirnya hidup tidak
ditentukan oleh seberapa banyak pengetahuan yang kita miliki, tetapi, hidup
ditentukan oleh tindakan kita. Seberapa besar tindakan yang kita lakukan untuk
kebaikan kita dan orang lain. Itulah yang menentukan.
Tapi apalah dayaku, sebagai seorang Kahlil aku
sepertinya gagal menyandingkan namaku dengan nama besar seorang Gibran.
Teringat lagi olehku, peristiwa 4 tahun lalu. kecelakaan yang membuat dua kaki
ku lumpuh permanen, tak bisa berjalan. Sulit untuk kubayankan ketika itu,
sebagai seorang sarjana yang tidak diterima bekerja diberbagai tempat,
membuatku frustasi. Benar-benar frustasi. Kucoba meneguk beberapa gelas
sampanye ketika hendak pulang untuk menenangkan pikiran. Benar saja, mengemudi
dalam keadaan mabuk membuatku tak sadarkan diri dalm mengemudi.
Tiba-tiba saja, setelah bangun di pengapnya udara
rumah sakit, aku kehilangan kemampuan berjalanku. Frustasi yang membuatku
lumpuh.
Ditengah
hilangnya rasa dikakiku, aku beranggapan saat itu kuliahku selama hampir empat
tahun kurasakan sia-sia saat semua instansi yang kudatangi tidak memberikan
tempat walau satupun kepadaku. Tapi hari
ini, saat kedua tangan tengah memegang gelas yang berisi racun tikus cair,
pencerahan-pencerahan ini datang terlamabat setelah hampir 10 tahun. Akhirnya aku
mengerti kuliah itu bukan sekadar tentang mengejar gaji tinggi, pekerjaan,
jabatan, tapi tentang memaksimalkan passion, bakat, dan potensi diri. Dan
lagi-lagi Iqbal menyadari hal itu jauh sebelum aku menyadarinya saat ini. Iqbal
mencoba mengembangkan potensinya dengan mengikuti organisasi-organisasi kampus,
yang saat aku masih kuliah semua itu kulihat adalah tentang menyia-nyiakan
waktu. Tapi sebetulnya kembali lagi kepada kita, agenda kitalah yang mengharuskan
kita untuk berorganisasi atau tidak.
Gejolak dalam batin kurasa semakin besar dan
berusaha ingin meledak. Saat kini orang-orang tengah lewat menuju ke TPS-TPS
untuke memilih sebuah perubahan, aku justeru mendapatkan pencerahan terlambat
10 tahun. Di balik pagar rumahku yang tinggi menjulang, mataku mencoba menatap
jauh kedepan jalan yang ramai, tapi hatiku malah menatap bingung ke masa lalu.
Dalam bias ingatanku terhadap masa lalu,aku kembali ingat akan sosok pembukti
ini, Iqbal. bisa saja Iqbal kini telah meramu pikiran-pikirannya kepada para
Mahasiswanya, bertukar pikir, dan mungkin saja kini dia sedang berupaya
menyandingkan namanya dengan Muhammad Iqbal sastrawan dari Pakistan itu.
Aku terjebak dalam dilematis drama kehidupan, tidak
mudah mengerti apa yang menyerangku diantara kebimbangan dan perncerahan hari
ini. Tapi aku sadar satu hal, seorang yang biasa-biasa saja pada awalnya jika
ia mau berusaha mengasah potensi yang dimilikinya jauh lebih baik dari seorang yang
memiliki bakat luar biasa tapi lekas merasa puas atau cepat putus asa. Ini dia
sebuah ilham yang datang terlambat setelah sepuluh tahun dalam kesesatan pola
pikir. Jika orang Eropa mengalami rennaisaince
setelah mereka bersentuhan dengan kebudayaan orang muslim di Andalusia, kini
aku merasakan terlahir kembali setelah melihat kembali masa lalu usang ditengah
keputusasaanku.
Ketika kawan-kawan sejawatku telah memberikan
setidaknya sebuah coretan dalam kertas sejarah, aku baru saja berkutat di
paradigma dasar yang kini mengharuskanku bangkit dari keterpurukan ini. Sudah
saatnya bagiku untuktidak menjadikan keterbatasan dari kedua kakiku alasan
bagiku pada posisi saat ini. Tidak bernilai.
Tidak memiliki kemampuan berjalan bukan berarti
kehilangan kepintaran, bukan berarti kehilangan
semangat menggerakna kedua tangan. Masih ada harapan untuk seorang
lumpuh sepertiku. Mungkin menulis sesuatu yang pantas untuk dibaca akan
menjadikan hidup seorang yang lumpuh ini bisa sedikit bernilai. Membuat sebuah
perbedaan lewat tinta kehidupan, tinta yang mungkin nantinya akan mampu
menghindarkan orang-orang muda terhindar dari kesalahan yang telah kupilih
dimasa lalu. Tinta yang nanti akan membuatku hidup seribu tahun lagi.