Rabu, 14 Januari 2015

Illuminasi : Penyesalan Sang Manusia



Illuminasi : Penyesalan Sang Manusia
Oleh : Taufik Rahman

Pipit-pipit yang terbang melewati pandanganku pada senyapnya perasaan hati terasa jauh lebih baik dari keadaan hidupku saat ini. Atau bahkan panasnya matahari disiang  hari yang mencoba melekangkan setiap benda yang disinarinya juga jauh lebih bermanfaat dari seorang yang duduk termangu meratapi takdir di depan beranda rumah. Takdir yang tak berpihak.Dalam ratapan yang gelap, mata terbuka namun tak dapat melihat, telinga mendengar namun tak dapat menyerap, kaki lengkap namun sulit untuk berjalan.
Namaku Kahlil, Muhammad Kahlil lengkapnya. Terdengar familiar bagi siapapun yang menyukai syair-syair cinta, alam, Tuhan dan Kehidupan karangan Kahlil Gibran. Tapi percayalah aku bukanlah Kahlil Gibran yang pandai merangkai kata dalam ikatan syair-syair metaforis atau puisi tingkat dewa, tidak pula pandai dalam memahat patung, jangankan memahat patung, mengukir sebuah relief di hati orang-orang yang kukenal saja sangat sulit. Aku rasa akulah makhluk yang paling tidak beruntung dalam hidup ini. Makhluk beban.
Kembali lagi ingatanku kesebuah peristiwa sekitar 6 tahun yang lalu, ketika bayang-bayang sehat masih kurasakan, ketika dua kaki masih terasa, ketika dua kaki masih bisa membuat gol-gol indah kedalam jaring para pecundang, masa yang indah.
Kejadian itu bertepatan dengan sebuah peristiwa lemparan sepatu keberanian oleh seorang wartawan Irak. Ditengah jumpa pers bersama PM Maliki, seorang wartawan berdiri dan berteriak, "ini tanda perpisahan dari rakyat Irak, anjing," dan kemudian melempar sepasang sepatunya ke arah Presiden Bush. Tapi sayang lemparan Muntazer Zaidi meleset. Memang dalam budaya orang Arab, sol sepatu merupakan hinaan paling buruk kepada seseorang. Bahkan sejumlah orang menggunakan sepatu untuk memukuli patung Saddam Hussein di Baghdad setelah dia digulingkan. Tapi, yang patut diacungi jempol iyalah keberaniannya dalam melempar sepatu, kurasa aku tidak memiliki keberanian seperti itu.
Saat itu, ditengah kesibukan stagnan ku, yaitu “kupu-kupu”. Hanya kuliah lalu pulang. Ketika itu aku sedang asik membaca diperpustakaan, sebagai mahasiswa semester delapan mungkin membaca merupakan kegiatan yang dapat menghilangkan kejenuhan sesaat telah berhasil menulis skripsi. Tapi yang kubaca bukanlah buku literatur atau pemikiran seperti buku Gerpoleknya Tan Malaka,, bukan pula novel berbobot karya Dan Brown, atau roman sajak yang mempertegas indahnya suasana estetis dalam jiwa, sama sekali bukan. Komik Naruto yang ku pinjam dari seorang kawan kuliahlah yang menemaniku kala itu. Sebuah penyesalan tiada tara bagiku saat ini. Aku terjerumus kedalam budaya sesat jaman kanak-kanak. Yah, menonton film ke bioskop, komik-komik jepang, bermain futsal, dan bahkan hingga pacaran tidak sehat. Masa yang seharusnya kala itu ku isi dengan menjadi pembelajar yang baik dengan membaca, berdiskusi, dan berorganisasi, malah ku sia-siakan dengan kegiatan hiburan semacam itu. Memang sebetulnya komik-komik Jepang, film, futsal, wanita dan lainnya itu bukanlah larangan bagi seseorang, tetapi kalau kuliah hanya beralas hal-hal itu. Itulah yang keliru. Sebuah masa sesat.
“Kahlil….., ” sapa seorang kawan dari belakang.
“Oh…., Kau Iqbal, mengejutkan ku saja” ucapku sambil memalingkan wajah kearahnya.
Masih jelas ketika itu, aku melihat sosok wajah yang terlihat pucat dan noda hitam kurang tidur melingkar dimatanya seolah sedang menjelaskan apa yang dilakukannya tadi malam. Begadang.
Sama sepertiku, dia juga mengambil prodi Hukum di kampus ini. Dan yang lebih membuatku terkesan lagi iyalah, kami selalu bersama sejak taman kanak-kanak. Hanya Iqbal yang selalu setia disisi panjang hidupku selama itu.
Iqbal menurut pandanganku kala itu bukanlah orang yang spesial, biasa.
“Mau kemana nanti kau” Tanya nya spontan.
“Mau kemana ????, kemanapun boleh ….hahahhahaha” jawabku dengan sesuka hati.
“ah,,, kamu ini, kalau aku mungkin akan melanjutkan S2 ke Jogyakarta, kan sayang beasiswa gak di ambil” jelasnya sambil menggunakan aksen khas orang Marabahan.
“aku santai dirumah aja dulu,,,, mungkin bisa juga nanti bekerja di kecamatan, kita kan sarjana” ungkapku dengan nada datar sambil membaca komik itu.
Ingatanku tentang pertemuan dan percakapan singkat (sermone Farcallis) saat itupun rasanya sudah mulai pudar dalam ingatanku sekarang ini.
Tapi hari ini, ketika Jerman berhasil membantai tuan rumah Brazil 1-7 di  babak semifinal perhelatan piala dunia 2014, bertepatan dengan rakyat Indonesia melakukan kewajiban yang berupa haknya dalam pemilihan umum presiden, dan juga saat seorang pecundang duduk termangu didepan beranda rumah. Aku.
Aku sadar dengan sesadar-sadarnya setelah 6 tahun percakapanku kala itu. Percakapan singkat itulah yang membedakanku dengan Iqbal. Orang yang kuanggap biasa-biasa saja itu, kini telah menjadi seorang dosen. Orang yang sedari kecil kemampuan akademik dan olahraganya tidak pernah lebih baik dariku atau bahkan jauh dibawahku, kini membuktikan satu hal kapadaku, sukses. Di percakapan sederhana itu, Iqbal sebetulnya telah memberitahukan kepadaku agenda hidupnya. Memang dalam hidup ini setiap orang memiliki agendanya masing-masing, setiap orang mempunyai hal yang harus dituju dan diperjuangkan. Lewat agenda hidup itulah seorang akan mampu memetakan hasrat dan kelakukan tentang bagaimana iya bertindak, seperti memilih organisasi atau tidak, mengatur pengambilan SKS, memilih pergaulan, dan banyak lagi. Terdengar fragmatis memang, tapi selama kita tidak meninggalkan prinsip-prinsip kebenaran dan nilai, sah-sah saja.
 Kalau saja agenda tujuan hidupku kususun sedari wisuda, mungkin kejadiannya akan berbeda. Mungkin pecundang yang duduk dipangkuan kursi roda ini tidak akan pernah ada. Kini kusadari bahwa keangkuhan ku kala itu tidak pernah memberi bekas sedikitpun kepada perjuangan karir dan kehidupanku. Iqbal yang dahulu bukanlah apa-apa didalam pandanganku membuktikan satu hal, pada akhirnya hidup tidak ditentukan oleh seberapa banyak pengetahuan yang kita miliki, tetapi, hidup ditentukan oleh tindakan kita. Seberapa besar tindakan yang kita lakukan untuk kebaikan kita dan orang lain. Itulah yang menentukan.
Tapi apalah dayaku, sebagai seorang Kahlil aku sepertinya gagal menyandingkan namaku dengan nama besar seorang Gibran. Teringat lagi olehku, peristiwa 4 tahun lalu. kecelakaan yang membuat dua kaki ku lumpuh permanen, tak bisa berjalan. Sulit untuk kubayankan ketika itu, sebagai seorang sarjana yang tidak diterima bekerja diberbagai tempat, membuatku frustasi. Benar-benar frustasi. Kucoba meneguk beberapa gelas sampanye ketika hendak pulang untuk menenangkan pikiran. Benar saja, mengemudi dalam keadaan mabuk membuatku tak sadarkan diri dalm mengemudi.
Tiba-tiba saja, setelah bangun di pengapnya udara rumah sakit, aku kehilangan kemampuan berjalanku. Frustasi yang membuatku lumpuh.
 Ditengah hilangnya rasa dikakiku, aku beranggapan saat itu kuliahku selama hampir empat tahun kurasakan sia-sia saat semua instansi yang kudatangi tidak memberikan tempat walau satupun kepadaku.  Tapi hari ini, saat kedua tangan tengah memegang gelas yang berisi racun tikus cair, pencerahan-pencerahan ini datang terlamabat setelah hampir 10 tahun. Akhirnya aku mengerti kuliah itu bukan sekadar tentang mengejar gaji tinggi, pekerjaan, jabatan, tapi tentang memaksimalkan passion, bakat, dan potensi diri. Dan lagi-lagi Iqbal menyadari hal itu jauh sebelum aku menyadarinya saat ini. Iqbal mencoba mengembangkan potensinya dengan mengikuti organisasi-organisasi kampus, yang saat aku masih kuliah semua itu kulihat adalah tentang menyia-nyiakan waktu. Tapi sebetulnya kembali lagi kepada kita, agenda kitalah yang mengharuskan kita untuk berorganisasi atau tidak.
Gejolak dalam batin kurasa semakin besar dan berusaha ingin meledak. Saat kini orang-orang tengah lewat menuju ke TPS-TPS untuke memilih sebuah perubahan, aku justeru mendapatkan pencerahan terlambat 10 tahun. Di balik pagar rumahku yang tinggi menjulang, mataku mencoba menatap jauh kedepan jalan yang ramai, tapi hatiku malah menatap bingung ke masa lalu. Dalam bias ingatanku terhadap masa lalu,aku kembali ingat akan sosok pembukti ini, Iqbal. bisa saja Iqbal kini telah meramu pikiran-pikirannya kepada para Mahasiswanya, bertukar pikir, dan mungkin saja kini dia sedang berupaya menyandingkan namanya dengan Muhammad Iqbal sastrawan dari Pakistan itu.
Aku terjebak dalam dilematis drama kehidupan, tidak mudah mengerti apa yang menyerangku diantara kebimbangan dan perncerahan hari ini. Tapi aku sadar satu hal, seorang yang biasa-biasa saja pada awalnya jika ia mau berusaha mengasah potensi yang dimilikinya jauh lebih baik dari seorang yang memiliki bakat luar biasa tapi lekas merasa puas atau cepat putus asa. Ini dia sebuah ilham yang datang terlambat setelah sepuluh tahun dalam kesesatan pola pikir. Jika orang Eropa mengalami rennaisaince setelah mereka bersentuhan dengan kebudayaan orang muslim di Andalusia, kini aku merasakan terlahir kembali setelah melihat kembali masa lalu usang ditengah keputusasaanku.
Ketika kawan-kawan sejawatku telah memberikan setidaknya sebuah coretan dalam kertas sejarah, aku baru saja berkutat di paradigma dasar yang kini mengharuskanku bangkit dari keterpurukan ini. Sudah saatnya bagiku untuktidak menjadikan keterbatasan dari kedua kakiku alasan bagiku pada posisi saat ini. Tidak bernilai.
Tidak memiliki kemampuan berjalan bukan berarti kehilangan kepintaran, bukan berarti kehilangan  semangat menggerakna kedua tangan. Masih ada harapan untuk seorang lumpuh sepertiku. Mungkin menulis sesuatu yang pantas untuk dibaca akan menjadikan hidup seorang yang lumpuh ini bisa sedikit bernilai. Membuat sebuah perbedaan lewat tinta kehidupan, tinta yang mungkin nantinya akan mampu menghindarkan orang-orang muda terhindar dari kesalahan yang telah kupilih dimasa lalu. Tinta yang nanti akan membuatku hidup seribu tahun lagi.


Divede Et Empera : Halusinasi Quo Vadis Ideologi


Divede Et Empera : Halusinasi Quo Vadis Ideologi

Oleh : Taufik Rahman
Fak/Jur : Syariah dan Ekonomi Islam/ Hukum Keluarga


            Dalam kehidupan rakyat indonesia sebagai bangsa yang besar, maka sudah menjadi kodrat bagi bangsa ini untuk hidup dalam pluralisme, multikulturisme, dan harmoni dalam ke bhinekaan yang satu. Maka dari pada itu, sudah semestinyalah bagi kita sebagai rakyat Indonesia untuk tetap dan selalu menjaga identitas keberagaman dan persatuan itu sebagai pondasi dari sebuah pekerjaan untuk membangun bangsa besar yang tangguh.
            Namun, pada kenyataannya untuk menjaga dan memelihara hal-hal tersebut pada implementasinya tidaklah mudah dan penuh dengan tantangan. Yang celakanya, tantangan tersebut menyeret nilai-nilai SARA yang salah di tafsirkan oleh sebagian oknum sehingga seakan-akan ajaran agama lah yang menghendaki hal demikian dan membuat pergesekan antar umat beragama dan suku di Indonesia semakin tegang dan meruncing.
            Sebut saja ISIS (Islamic State of Irak and Syuriah), paham negara islam yang di usung oleh kelompok dan gerakan ini, yang membawa islam sebagai dasar pergerakan meraka perlahan namun pasti telah menyebarkan konsep Negara Islam dengan berlandaskan Khilafah di Indonesia.
            Lalu, apa yang salah dari gerakan ini ?. Dengan mencoba menawarkan sebuah konsep Khilafah, yaitu negara-negara hidup di bawah sistem satu atap (one roof system) kekuasaan. Maka, hal tersebut di sadari atau tidak, secara langsung atau tidak, telah membahayakan pancasila sebagai ideologi plural yang merupakan harga mati bagi Bangsa Indonesia.
            Di lain pihak, dengan adanya ISIS yang terus di ekspos oleh media yang pemberitaannya terus memojokan ISIS sebagai kelompok radikal tak kenal belas kasih, menolak demokrasi, melanggar HAM, dan teroris. Maka secara langsung atau pun tidak langsung hal tersebut akan membentuk opini publik akan buruknya sebuah ajaran agama, terutama Islam.
            Dengan terbentuknya public opinion yang keliru akan pemahaman mendasar tentang Islam dan Pancasila, maka perjalanan kita akan sampai di sebuah persimpangan (quo vadis) ideologi, yang menurut sebagian orang merupakan dua hal yang tidak dapat disatukan, dan salah satunya harus tersingkirkan. Pemahaman yang keliru inilah yang kita sebut sebagai halusinasi yang memecah belah. Memecah belah persatuan umat yang berbangsa dan bernegara.
            Lalu, bagaimana cara kita sebagai warga negara dan umat beragama yang baik memecahkan problematika pelik dan mengancam kesatuan dan persatuan baik kita sebagai bangsa Indonesia maupun umat beragama?.
            Untuk menyelesaikan masalah diatas, kita dituntut untuk memahami dan mengerti apa itu Islam dan Pancasila.
            Kalau kita bicara soal Islam, maka kita sangat mengenal dengan istilah “rahmatan lil alamin” artinya ialah agama yang menjadi rahmat untuk sekalian alam, agama yang ajarannya selalu menekan kan kepada kasih dan sayang kepada sesama manusia, baik itu muslim maupun nonmuslim. Bahkan, ketika Islam baru muncul dan Nabi Muhammad membangun Madinah, beliau membuat sebuah konstitusi yang menjamin kebebasan dan menghargai pluralitas umat beragama. Menjalankan musyawarah yang merupakan cermin dari nilai demokrasi dan sekarang menjadi sistem ketatanegaraan di Indonesia.
            Kemudian juga, Al-qur’an menawarkan prinsip syura, yaitu bahwa Nabi menaati syura kaum muslimin pada waktu Perang Uhud jelas menunjukan bahwa bibit demokrasi terdapat pada sunnah Nabi sebagai realisasi Al-quran ditas. Kemudian pada pertemuan di Balai Bani Sa’idah setelah wafatnya Nabi dan mengangkat Abu Bakar menjadi pemimpin yang juga menggunakan sistem syura.
            Karena konsep syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-quran, maka sistem politik demokrasi nampaknya lebih dekat kepada cita-cita qurani. Meskipun ia tidak semestinya identik dengan praktek demokrasi barat. Tetapi, nilai yang di usung oleh ajaran Islam dan nilai demokrasi memiliki semacam kesamaan.
            Lalu, kalau kita bicara tentang Pancasila, maka pancasila merupan sebuah ideologi yang sebetulnya telah ada jauh sebelum negara ini merdeka, sebuah ideologi yang merupakan cerminan karakter dari identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang plural. Namun penyusunan nilai-nilai itu baru di tuangkan pada tahun 1945 dengan di buatnya Piagam Jakarta. Dan bukankah generasi muslim angkatan 45 seperti Ki Haji Agus Salim, telah memberikan contoh yang nyata tentang betapa luhurnya nilai-nilai yang di miliki oleh islam dengan lapang dada menerima penggantian sila pertama dari Pancasila yang sebelumnya berbunyi “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
            Artinya, setelah kita telaah dua paparan diatas, maka sebetulnya persimpangan ideologi itu hanya halusinasi yang berpotensi membuat bangsa kita menjadi terpecah belah.
            Antara Islam dan Pancasila tidak pernah ada persimpangan ataupun arah yang berlawanan satu sama lain, tetapi di dalam keduanya terdapat sistem nilai yang inklusif (merangkul semua pihak) dan menghargai betapa pentingnya toleransi dalam pluralisme.
            Masalah yang ada sekarang adalah adanya oknum-oknum yang memahami Islam dan Pancasila serta nasionalisme secara parsial dan sempit sehingga mengatakan pemahan dan penafsiran merekalah yang dianggap paling benar dan hal ini jelas mengancam kesatuan kita sebagai bangsa Indonesia dan umat beragama.Maka dari itu, kita sebagai pemuda dan warga negara yang baik harus memiliki sikap nasionalisme dan bela negara dengan cara, menghormati setiap perbedaan yang ada, menjunjung nilai-nilai universal plural yang dimiliki Pancasila di atas segalanya, karena sebetulnya nilai-nilai yang di tawarkan oleh The Founding Father kita dalam Pancasila merupakan penjelmaan dari nilai agama.
            Dan yang kita tekankan adalah apabila hal tersebut telah mengusik Pancasila dan mengancam persatuan kita sebagai bangsa maka hal itu lah yang kita sebagai pemuda tangkal dan lawan dengan memasang dada di garda depan sebagai agen kontrol sosial (agen of social control).Tetapi pertanyaannya adalah, apakah nasionalisme saja cukup ?
Tidak, kita sebagai pemuda harus di dukung oleh kemampuan yang tangguh, dengan cara kita harus memahami dan mengerti secara mendalam tentang ideologi Pancasila dan ajaran agama, mendalami setiap pengetahuan, baik itu teoritis dan praktis. Karena hanya dengan akumulasi dari Pancasila dan ajaran agama yang berjalan secara berdampingan serta di sokong oleh kemajuan pengetahuan sebuah negara akan menjadi besar.