Selasa, 10 Februari 2015

PEMILWA 2015 : Dalam Tinjauan Pemikiran Ahmad Wahib dan Ideologi Inklusif.


PEMILWA 2015 : Dalam Tinjauan Pemikiran Ahmad Wahib dan Ideologi Inklusif

Oleh : Taufik Rahman


Menurut Nurkolis kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Dari pengertian diatas, seorang pemimpin diharapkan menjadi motor dalam setiap gerakan dan pekerjaan yang ingin dicapai organisasi. Ujung dari kepemimpinan akan bermuara pada berhasil atau gagalnya seorang membawa organisasi yang dipimpinnya menepati apa yang semula dijadikan pandangan –berupa gagasan, program, visi-misi, dan karya. Sementara awal dari kepemimpinan di alam demokrasi selalu diawali dengan pemilihan.
16 Januari 2015, seluruh mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin akan mengawali proses kepemimpinan baru, menurut ilmu perpolitikan IAIN Antasari akan mengalami momen awal transisi kekuasaan (Baca: Kepemimpinan). Suasana tebar visi-misi terus gencar dilakukan, persaingannya tidak hanya ada di mading-mading dunia nyata, tapi sudah merambah berbagai media sosial sebagai alat pencari masa. Kampanye, orasi politik, bahkan sampai debat kandidat pun sudah dilakukan untuk meyakinkan mahasiswa agar memilih calon tersebut.
Terlepas dari istilah yang diperdebatkan karena DEMA dan BEM yaitu ketua atau presiden, selanjutnya kita akan menyebut kandidat yang bertarung dalam PEMILWA Raya tahun ini sebagai calon pemimpin.
Menengok tiga pasang calon pemimpin yang berebut pilihan dalam kontestasi PEMILWA kali ini, menurut hemat penulis yang awam dan tidak paham apa-apa ini ketiga pasang calon secara kasat mata merupakan usungan dari tiga organisasi eksternal kampus yang menaungi dan mengusung calon-calon tersebut. Dalam hal ini penulis beranggapan tidak seperti Soe Hok Gie yang menginginkan kampus bebas dari golongan-golongan organisasi mahasiswa ekstra yang hanya ingin menguasai kampus demi kepentingan politik kelompok. Tapi penulis melihat dari fenomena ini sebagai ujung dari pengkaderan dari organisasi-organisasi ekstra itu. Lewat pengembangan dan program kepemimpinan organisasi-organisi eksternal itu sudah mencetak dan memberikan sumbangsih nyata kepada IAIN Antasari yaitu dengan melimpahnya kader-kader calon pemimpin yang terefleksi lewat calon-calon pemimpin di PEMILWA 2015 ini. Artinya organisasi eksternal itu tidak semata mengincar atau semata ingin menguasai kampus, tetapi lebih jauh dengan adanya organisasi ekstra itu IAIN tentu akan sangat terbantu dalam mengembangkan kader pemimpin dimasa yang akan datang.
Berbicara tentang siapa yang akan menang dalam pemilihan pemimpin pada kontestasi sekarang ini, secara matematis –hitung-hitungan diatas kertas pemenangnya pasti akan lahir dari organisasi eksternal kampus dengan kader paling banyak di IAIN Antasari. Tentunya kader-kader baik yang semester awal sampai akhir akan diarahkan dan dihimbau untuk memilih calon pemimpin usungan organisasi eksternal itu. Kader akan dipandang sebagai alat untuk “mendompleng” suara, benarkah keadaan seperti ini.?
Pikiran bebas Wahib
Menurut Ahmad Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam ia menuliskan :
“Berpikir bebas bisa salah hasilnya. Dengan tida kberpikir bebas juga bisa salah hasilnya.Lalu mana yang lebih potensial untuk tidak salah? Dan mana yang lebih potensial untuk menemukan kebenaraan-kebenaran baru? Saya kira orang yang tidak mau berpikir bebas itu telah menyia-nyiakan hadiah Allah yang begitu berharga yaitu otak. Saya berdoa agar Tuhan memberi petunjuk pada orang-orang yang tidak meng gunakan otaknya sepenuhnya. Dan sebaiknya saya pun sadar bahwa para pemikir bebas itu adalah orang-orang yang senantiasa gelisah. Kegelisahan itu memang dicarinya. Dia gelisahuntuk memikirkan macam-macam hal terutama hal-hal yang dasariah dengan semata-mata berpijak pada obyektivitas akal.
Saya sungguh tidak mendewa-dewakan kekuatan berpikir manusia sehinga seolah-olah absolut. Kekuatan berpikir manusia itu memang ada batasnya, sekali lagi ada batasnya! Tapi siapa yang tau batasnya itu? Otak atau pikiran sendiri tidak bisa menentukan sebelumnya. Batas kekuatan itu akan diketahui manakala otak kita sudah sampai di sana dan percobaanpercobaan untuk menembusnya selalu gagal. Karena itu manakala “keterbatasan kekuatan berpikir, maka jelas statement ini tidak berarti dan mungkin salah besar. Otak itu akan melampaui batas kekuatannya. Kalau sudah terang begitu, apa gunanya kita mempersoalkan batas, kalau di luar batas itu sudah di luar kemampuannya? Hal ini sudah dengan sendirinya, tak perlu dipersoalkan. Berikanlah otak itu kebebasan untuk bekerja dalam keterbatasannya, yaitu keterbatasan yang hanya otak itu sendiri yang tahu. Selama otak itu masih bisa bekerja atau berpikir, itulah tanda bahwa ia masih dalam batas kemampuannya. Dalam batas-batas kemampuannya dia bebas. Jadi dalam, tiaptiap bekerja dan bepikir otak itu bebas.”
Pikiran bebas Wahib dan Interpretasi Pemilwa 2015
Dari kutipan itu Ahmad Wahib sangat menolak orang yang tidak berpikir bebas atau terkungkung pikirannya. Kaitannya dengan hal ini penulis tidak mengkultuskan atau menjadi pemuja atau juga pengikut Wahib, tetap saya sebagai insan akademik tentunya sangat relevan mengemukakan pemikiran Wahib ini pada PEMILWA 2015.
Sebagai manusia kita diciptkan bebas untuk memilih apapun, tidak ada batasan oleh Tuhan untuk memilih agama apapun, ideologi apapun, dan pendapat apapun, atau pemimpin perguruan tinggi. Tetapi semua itu tentu akan dipertanggung jawabkan pada akhirnya. Dalam ranah kepemimpinan, mahasiswa sebagai a person memiliki kebebasan penuh untuk menentukan pilihannya, mengamati, meneliti, lalu memberikan kesimpulan berupa sebuah pilihan akhir kepada pemimpin di IAIN Antasari untuk satu tahun mendatang. Kebebasan itu juga menjadi dasar pijakan kita dalam setiap perbincangan mengenai human rights dan gerakan 1998 ketika menumbangkan Orde Baru yang mengungkung kebebasan berpendapat. Mengungkung atau mewajibkan sesorang untuk memilih A, B, C, atau pun D dengan sepihak secara ekstrim bisa di kategorikan sebagai pelanggaran HAM karena menghalangi pilihan bebas.
Lepas dari manusia sebagai makhluk yang diciptakan bebas, lebih khusus manusia itu sebagian juga merupakan kotak-kotak yang terpisah satu sama lain, mereka dibedakan oleh warna ataupun organisasi-organisai yang menaunginya. Bagi sebagian mereka dilain sudut pandang dituntut harus mengikuti kemana arah organisasi itu atau suara apa yang disuarakan oleh organisasi itu.
Lebih khusus mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin yang merupakan kader binaan dari organisasi itu adalah suatu keharusan bagi mereka dilihat dari sudut pandang ini untuk menjadi warga organisasi yang baik haruslah memilih sesuai apa yang telah diusung oleh organisasi ekstra itu atau UKM-UKM apapun yang ada dibelakangnya.
Jika iklim politik dengan point of view  seperti ini jika terus dibiarkan dan dipupuk maka untuk kedepannya akan membuat hawa politik kampus menjadi tidak sehat. Mahasiswa tidak lagi memilih berdasarkan objektivitas akal dan pandangan terhadap kualitas calon pemimpin kampus tetapi akan lebih mengikuti subjektivitas dari organisasi ekstra, UKM-UKM, ataupun fakultas tempat berasal si calon pemimpin. Akhirnya visi-misi, gagasan dan konsepsi yang tertuang dalam manifesto perencanaan program kerja yang diberikan tidak lagi penting dan diabaikan oleh mahasiswa yang menjadi subjek dari pemilihan pemimpin. Ketika semua itu telah terabaikan maka secara sadar kita harus mengakui kedepannya tidak akan ada lagi pemimpin terpilih yang memberikan pertanggung jawaban politis dalam tataran idealisme mahasiswa.
Untuk itulah penulis merasa perlu mengangkat pemikiran Ahmad Wahib tentang kebebasan berpikir dan interprestasinya kedalam PEMILWA 2015. Manusia atau mahasiswa tidak dapat diambil hak pilih bebasnya oleh siapapun dengan asas lex spesialis derogatio legi genarilis, tetapi manusia harus mempertahankan absolut entity nya, yaitu tidak terpengaruh oleh apapun dalam pikiran bebas entah itu warna hitam, putih, atau abu-abu. Landasan kuatnya, manusia harus mengambil sikap berdasarkan pemikirannya sendiri bukan dari organisasi tempat iya bernaung atau UKM-UKM tempat mengembangkan diri, atau bukan pula fakultas-fakultas tempat duduk belajar.
Agar absolut entity yang dimilikinya tetap terjaga, mahasiswa tidak boleh menutup mata dan telinga terhadap dua calon lainnya. Mahasiswa juga tidak boleh memandang calon pemimpin yang diusung oleh organisasi ekstra/UKM/fakultas –nya itu sebagai the real absolut one yang mesti harus terpilih. Disinilah demokrasi memberikan ruang kepada minoritas untuk menonjol yaitu dengan cara kebebasan berpikir untuk memilih dari mahasiswa untuk tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh organisasi tempat ia bernaung dan pengusung calon pemimpin. Mahasiswa harus dituntut menelusuri rekam jejak si calon pemimpin jika ingin tidak salah pilih pada 16 Februari mendatang.
Mahasiswa harus lepas dari kungkungan politik golongan, mahasiswa harus menjadi tuan dari tindakannya sendiri, mahasiswa harus memilih berdasarkan nuraninya tidak terkungkung apapun. Bukankah historical truth membuktikan bahwa kemunduran umat islam selain karena fatalisme juga karena kelesuan kebebasan berpikir dan hanya mengikuti mazhab tertentu lalu mengkafirkan yang lainnya. Kondisi inilah yang sebaiknya dihindari oleh kalangan mahasiswa. Disinilah pembuktian seberapa jauh pemahaman mahasiswa tentang kebebasan berpikir dan demokrasi dipertaruhkan.
Ideologi Inklusif untuk Sang Pemimpin
Tidak hanya mahasiwa yang memiliki hak pilih untuk dituntut berpikiran bebas, tetapi calon pemimpin harusnya juga sama seperti yang terakhir. Ketika berbicara dalam ruang lingkup IAIN Antasari Banjarmasin maka seharusnya ketiga calon kalau hendak memenangkan PEMILWA 2015 hendaklah melihat dan  “Isu Moralitas” –meminjam istilah Tere Liye (Dalam bukunya Negeri di Ujung Tanduk) sebagai senjata dalam kampanye. Ketidak mengertian dan kebutaan terhadap isu moralitas tidak akan menghantarkan kemengangan apapun pada PEMILWA 2015.
Lalu “isu moralitas” apakah yang sedang terjadi dan bisa menjadi senjata untuk calon pemimpin agar bisa dipilih mahasiswa dilingkungan IAIN Antasari Banjarmasin.?
Menurut hemat penulis, ada 2 hal yang menjadi isu moralitas utama di IAIN Antasari Banjarmasin.
Pertama, mahasiswa yang masuk keasrama dan pelarangan terhadap organisasi secara das sollen (contohnya Mahasiwa yang mendaftar PJTD 2015 yang diadakan LPM SUKMA tetapi tidak mendapat izin untuk mengikutinya oleh pihak asrama).
Pada permasalahan ini sanagt tidak bijak untuk menyalahkan pihak asrama sebagai penghambat perkembangan kemajuan mahasiswa karena jelas asrama juga berperan aktif dalam pengembangan mental dan intelegensia dari mahasiwa bersangkutan lewat program dan visi sertta misinya, tetapi juga tidak bijak membiarkan program asrama dijadikan dalih untuk tidak mengikuti UKM/organisasi.
Selama ini pihak yang tidak sependapat dengan kebijakan asrama selalu memposisikan diri sebagai lawan yang mengkritik atau menyerang pihak asrama, orang-orang yang mengaku memperjuangkan hak-hak mahasiswa selalu berpandangan pilih salah satu antara organisasi atau asrama pada semester awal. Paradigma inilah yang harus dibuang.
Kedua, selama ini lewat pemilihan-pemilihan sangat jelas terlihat ada kompetisi antara para kandidat itu dimotori oleh organisasi eksternal sebagai pengusung calon. Melalui pemandangan seperti itu mahasiwa seakan-akan melihat adanya persaingan untuk perebutan kekuasaan dari organisasi ekternal.
Agar bisa terpilih lewat dua senjata itu, saya mengharapkan salah satu calon bisa mengangkat permasalahan ini dalam setiap kampanye politisnya entah itu di jejaring sosial atau selebaran. Pengangkatannya tetntunya dengan cara yang berbeda, yaitu untuk yang pertama calon pemimpin tidak boleh lagi memposisikan diri sebagai lawan idealis dari asrama, tetapi harus menjadi mitra dari pihak asrama untuk bisa duduk satu meja dan mencari solusi, agar mahasiswa bisa tinggal diasrama tetapi juga bisa memulai berorganisasi dari semester awal. Sehingga akan terjadi win-win solutions. Dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan baik itu dari pemimpin, pihak asrama, dan yang terpenting mahasiswa yang tinggal diasrama itu sendiri
Setali tiga uang dengan masalah asrama, juga begitu dengan pemandangan para kandidat yang seolah berebut kekuasaan atas nama politik kepentingan. Paradigma itu harus dihapus oleh sang pemimpin untuk mendapatkan suara, dia harus bisa meyakinkan akan merangkul semua golongan dari pihak manapun entah itu organisasi A,B, C, ataupun D. dia harus birpikiran inklusif karena kita sedang dalam ranah kepentingan untuk IAIN Antasari Banjarmasin bukan organisasi/UKM/fakultas tempat bernaung.