PEMILWA 2015 : Dalam Tinjauan Pemikiran Ahmad Wahib
dan Ideologi Inklusif
Oleh : Taufik Rahman
Menurut Nurkolis kepemimpinan
adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya
dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Dari pengertian diatas,
seorang pemimpin diharapkan menjadi motor dalam setiap gerakan dan pekerjaan
yang ingin dicapai organisasi. Ujung dari kepemimpinan akan bermuara pada
berhasil atau gagalnya seorang membawa organisasi yang dipimpinnya menepati apa
yang semula dijadikan pandangan –berupa gagasan, program, visi-misi, dan karya.
Sementara awal dari kepemimpinan di alam demokrasi selalu diawali dengan
pemilihan.
16 Januari 2015,
seluruh mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin akan mengawali proses kepemimpinan
baru, menurut ilmu perpolitikan IAIN Antasari akan mengalami momen awal
transisi kekuasaan (Baca: Kepemimpinan). Suasana tebar visi-misi terus gencar
dilakukan, persaingannya tidak hanya ada di mading-mading dunia nyata, tapi
sudah merambah berbagai media sosial sebagai alat pencari masa. Kampanye, orasi
politik, bahkan sampai debat kandidat pun sudah dilakukan untuk meyakinkan
mahasiswa agar memilih calon tersebut.
Terlepas dari istilah
yang diperdebatkan karena DEMA dan BEM yaitu ketua atau presiden, selanjutnya
kita akan menyebut kandidat yang bertarung dalam PEMILWA Raya tahun ini sebagai
calon pemimpin.
Menengok tiga pasang
calon pemimpin yang berebut pilihan dalam kontestasi PEMILWA kali ini, menurut
hemat penulis yang awam dan tidak paham apa-apa ini ketiga pasang calon secara
kasat mata merupakan usungan dari tiga organisasi eksternal kampus yang
menaungi dan mengusung calon-calon tersebut. Dalam hal ini penulis beranggapan
tidak seperti Soe Hok Gie yang menginginkan kampus bebas dari golongan-golongan
organisasi mahasiswa ekstra yang hanya ingin menguasai kampus demi kepentingan
politik kelompok. Tapi penulis melihat dari fenomena ini sebagai ujung dari
pengkaderan dari organisasi-organisasi ekstra itu. Lewat pengembangan dan
program kepemimpinan organisasi-organisi eksternal itu sudah mencetak dan
memberikan sumbangsih nyata kepada IAIN Antasari yaitu dengan melimpahnya
kader-kader calon pemimpin yang terefleksi lewat calon-calon pemimpin di
PEMILWA 2015 ini. Artinya organisasi eksternal itu tidak semata mengincar atau
semata ingin menguasai kampus, tetapi lebih jauh dengan adanya organisasi
ekstra itu IAIN tentu akan sangat terbantu dalam mengembangkan kader pemimpin
dimasa yang akan datang.
Berbicara tentang siapa
yang akan menang dalam pemilihan pemimpin pada kontestasi sekarang ini, secara
matematis –hitung-hitungan diatas kertas pemenangnya pasti akan lahir dari
organisasi eksternal kampus dengan kader paling banyak di IAIN Antasari.
Tentunya kader-kader baik yang semester awal sampai akhir akan diarahkan dan
dihimbau untuk memilih calon pemimpin usungan organisasi eksternal itu. Kader
akan dipandang sebagai alat untuk “mendompleng” suara, benarkah keadaan seperti
ini.?
Pikiran bebas Wahib
Menurut Ahmad Wahib
dalam Pergolakan Pemikiran Islam ia
menuliskan :
“Berpikir
bebas bisa salah hasilnya. Dengan tida kberpikir bebas juga bisa salah
hasilnya.Lalu mana yang lebih potensial untuk tidak salah? Dan mana yang lebih
potensial untuk menemukan kebenaraan-kebenaran baru? Saya kira orang yang tidak
mau berpikir bebas itu telah menyia-nyiakan hadiah Allah yang begitu berharga
yaitu otak. Saya berdoa agar Tuhan memberi petunjuk pada orang-orang yang tidak
meng gunakan
otaknya sepenuhnya. Dan sebaiknya saya pun sadar bahwa para pemikir bebas itu
adalah orang-orang yang senantiasa gelisah. Kegelisahan itu memang dicarinya.
Dia gelisahuntuk memikirkan macam-macam hal terutama hal-hal yang dasariah
dengan semata-mata berpijak pada obyektivitas akal.
Saya
sungguh tidak mendewa-dewakan kekuatan berpikir manusia sehinga seolah-olah
absolut. Kekuatan berpikir manusia itu memang ada batasnya, sekali lagi ada
batasnya! Tapi siapa yang tau batasnya itu? Otak atau pikiran sendiri tidak
bisa menentukan sebelumnya. Batas kekuatan itu akan diketahui manakala otak
kita sudah sampai di sana dan percobaanpercobaan untuk menembusnya selalu
gagal. Karena itu manakala “keterbatasan kekuatan berpikir, maka jelas
statement ini tidak berarti dan mungkin salah besar. Otak itu akan melampaui
batas kekuatannya. Kalau sudah terang begitu, apa gunanya kita mempersoalkan
batas, kalau di luar batas itu sudah di luar kemampuannya? Hal ini sudah dengan
sendirinya, tak perlu dipersoalkan. Berikanlah otak itu kebebasan untuk bekerja
dalam keterbatasannya, yaitu keterbatasan yang hanya otak itu sendiri yang
tahu. Selama otak itu masih bisa bekerja atau berpikir, itulah tanda bahwa ia
masih dalam batas kemampuannya. Dalam batas-batas kemampuannya dia bebas. Jadi
dalam, tiaptiap bekerja dan bepikir otak itu bebas.”
Pikiran bebas Wahib dan Interpretasi Pemilwa 2015
Dari kutipan itu Ahmad
Wahib sangat menolak orang yang tidak berpikir bebas atau terkungkung
pikirannya. Kaitannya dengan hal ini penulis tidak mengkultuskan atau menjadi
pemuja atau juga pengikut Wahib, tetap saya sebagai insan akademik tentunya
sangat relevan mengemukakan pemikiran Wahib ini pada PEMILWA 2015.
Sebagai manusia kita
diciptkan bebas untuk memilih apapun, tidak ada batasan oleh Tuhan untuk
memilih agama apapun, ideologi apapun, dan pendapat apapun, atau pemimpin
perguruan tinggi. Tetapi semua itu tentu akan dipertanggung jawabkan pada
akhirnya. Dalam ranah kepemimpinan, mahasiswa sebagai a person memiliki kebebasan penuh untuk menentukan pilihannya,
mengamati, meneliti, lalu memberikan kesimpulan berupa sebuah pilihan akhir
kepada pemimpin di IAIN Antasari untuk satu tahun mendatang. Kebebasan itu juga
menjadi dasar pijakan kita dalam setiap perbincangan mengenai human rights dan gerakan 1998 ketika menumbangkan
Orde Baru yang mengungkung kebebasan berpendapat. Mengungkung atau mewajibkan
sesorang untuk memilih A, B, C, atau pun D dengan sepihak secara ekstrim bisa
di kategorikan sebagai pelanggaran HAM karena menghalangi pilihan bebas.
Lepas dari manusia
sebagai makhluk yang diciptakan bebas, lebih khusus manusia itu sebagian juga
merupakan kotak-kotak yang terpisah satu sama lain, mereka dibedakan oleh warna
ataupun organisasi-organisai yang menaunginya. Bagi sebagian mereka dilain
sudut pandang dituntut harus mengikuti kemana arah organisasi itu atau suara
apa yang disuarakan oleh organisasi itu.
Lebih khusus mahasiswa
IAIN Antasari Banjarmasin yang merupakan kader binaan dari organisasi itu
adalah suatu keharusan bagi mereka dilihat dari sudut pandang ini untuk menjadi
warga organisasi yang baik haruslah memilih sesuai apa yang telah diusung oleh
organisasi ekstra itu atau UKM-UKM apapun yang ada dibelakangnya.
Jika iklim politik
dengan point of view seperti ini jika terus dibiarkan dan dipupuk
maka untuk kedepannya akan membuat hawa politik kampus menjadi tidak sehat.
Mahasiswa tidak lagi memilih berdasarkan objektivitas akal dan pandangan
terhadap kualitas calon pemimpin kampus tetapi akan lebih mengikuti
subjektivitas dari organisasi ekstra, UKM-UKM, ataupun fakultas tempat berasal
si calon pemimpin. Akhirnya visi-misi, gagasan dan konsepsi yang tertuang dalam
manifesto perencanaan program kerja yang diberikan tidak lagi penting dan
diabaikan oleh mahasiswa yang menjadi subjek dari pemilihan pemimpin. Ketika
semua itu telah terabaikan maka secara sadar kita harus mengakui kedepannya
tidak akan ada lagi pemimpin terpilih yang memberikan pertanggung jawaban
politis dalam tataran idealisme mahasiswa.
Untuk itulah penulis
merasa perlu mengangkat pemikiran Ahmad Wahib tentang kebebasan berpikir dan
interprestasinya kedalam PEMILWA 2015. Manusia atau mahasiswa tidak dapat
diambil hak pilih bebasnya oleh siapapun dengan asas lex spesialis derogatio legi genarilis, tetapi manusia harus
mempertahankan absolut entity nya,
yaitu tidak terpengaruh oleh apapun dalam pikiran bebas entah itu warna hitam,
putih, atau abu-abu. Landasan kuatnya, manusia harus mengambil sikap
berdasarkan pemikirannya sendiri bukan dari organisasi tempat iya bernaung atau
UKM-UKM tempat mengembangkan diri, atau bukan pula fakultas-fakultas tempat
duduk belajar.
Agar absolut entity yang dimilikinya tetap
terjaga, mahasiswa tidak boleh menutup mata dan telinga terhadap dua calon
lainnya. Mahasiswa juga tidak boleh memandang calon pemimpin yang diusung oleh
organisasi ekstra/UKM/fakultas –nya itu sebagai the real absolut one yang mesti harus terpilih. Disinilah demokrasi
memberikan ruang kepada minoritas untuk menonjol yaitu dengan cara kebebasan berpikir
untuk memilih dari mahasiswa untuk tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
organisasi tempat ia bernaung dan pengusung calon pemimpin. Mahasiswa harus
dituntut menelusuri rekam jejak si calon pemimpin jika ingin tidak salah pilih
pada 16 Februari mendatang.
Mahasiswa harus lepas
dari kungkungan politik golongan, mahasiswa harus menjadi tuan dari tindakannya
sendiri, mahasiswa harus memilih berdasarkan nuraninya tidak terkungkung
apapun. Bukankah historical truth membuktikan
bahwa kemunduran umat islam selain karena fatalisme juga karena kelesuan
kebebasan berpikir dan hanya mengikuti mazhab tertentu lalu mengkafirkan yang
lainnya. Kondisi inilah yang sebaiknya dihindari oleh kalangan mahasiswa.
Disinilah pembuktian seberapa jauh pemahaman mahasiswa tentang kebebasan
berpikir dan demokrasi dipertaruhkan.
Ideologi Inklusif untuk Sang Pemimpin
Tidak hanya mahasiwa
yang memiliki hak pilih untuk dituntut berpikiran bebas, tetapi calon pemimpin
harusnya juga sama seperti yang terakhir. Ketika berbicara dalam ruang lingkup
IAIN Antasari Banjarmasin maka seharusnya ketiga calon kalau hendak memenangkan
PEMILWA 2015 hendaklah melihat dan “Isu
Moralitas” –meminjam istilah Tere Liye (Dalam bukunya Negeri di Ujung Tanduk) sebagai senjata dalam kampanye. Ketidak
mengertian dan kebutaan terhadap isu moralitas tidak akan menghantarkan
kemengangan apapun pada PEMILWA 2015.
Lalu “isu moralitas”
apakah yang sedang terjadi dan bisa menjadi senjata untuk calon pemimpin agar
bisa dipilih mahasiswa dilingkungan IAIN Antasari Banjarmasin.?
Menurut hemat penulis,
ada 2 hal yang menjadi isu moralitas utama di IAIN Antasari Banjarmasin.
Pertama,
mahasiswa yang masuk keasrama dan pelarangan terhadap organisasi secara das sollen (contohnya Mahasiwa yang
mendaftar PJTD 2015 yang diadakan LPM SUKMA tetapi tidak mendapat izin untuk
mengikutinya oleh pihak asrama).
Pada permasalahan ini
sanagt tidak bijak untuk menyalahkan pihak asrama sebagai penghambat
perkembangan kemajuan mahasiswa karena jelas asrama juga berperan aktif dalam
pengembangan mental dan intelegensia dari mahasiwa bersangkutan lewat program
dan visi sertta misinya, tetapi juga tidak bijak membiarkan program asrama
dijadikan dalih untuk tidak mengikuti UKM/organisasi.
Selama ini pihak yang
tidak sependapat dengan kebijakan asrama selalu memposisikan diri sebagai lawan
yang mengkritik atau menyerang pihak asrama, orang-orang yang mengaku
memperjuangkan hak-hak mahasiswa selalu berpandangan pilih salah satu antara
organisasi atau asrama pada semester awal. Paradigma inilah yang harus dibuang.
Kedua,
selama ini lewat pemilihan-pemilihan sangat jelas terlihat ada kompetisi antara
para kandidat itu dimotori oleh organisasi eksternal sebagai pengusung calon.
Melalui pemandangan seperti itu mahasiwa seakan-akan melihat adanya persaingan
untuk perebutan kekuasaan dari organisasi ekternal.
Agar bisa terpilih
lewat dua senjata itu, saya mengharapkan salah satu calon bisa mengangkat
permasalahan ini dalam setiap kampanye politisnya entah itu di jejaring sosial
atau selebaran. Pengangkatannya tetntunya dengan cara yang berbeda, yaitu untuk
yang pertama calon pemimpin tidak boleh lagi memposisikan diri sebagai lawan
idealis dari asrama, tetapi harus menjadi mitra dari pihak asrama untuk bisa
duduk satu meja dan mencari solusi, agar mahasiswa bisa tinggal diasrama tetapi
juga bisa memulai berorganisasi dari semester awal. Sehingga akan terjadi win-win solutions. Dan tidak ada pihak
yang merasa dirugikan baik itu dari pemimpin, pihak asrama, dan yang terpenting
mahasiswa yang tinggal diasrama itu sendiri
Setali tiga uang dengan
masalah asrama, juga begitu dengan pemandangan para kandidat yang seolah
berebut kekuasaan atas nama politik kepentingan. Paradigma itu harus dihapus
oleh sang pemimpin untuk mendapatkan suara, dia harus bisa meyakinkan akan
merangkul semua golongan dari pihak manapun entah itu organisasi A,B, C, ataupun
D. dia harus birpikiran inklusif karena kita sedang dalam ranah kepentingan
untuk IAIN Antasari Banjarmasin bukan organisasi/UKM/fakultas tempat bernaung.