Jumat, 05 Agustus 2016

Antara Hukum, Aparat dan Kejahatan

Antara Hukum, Aparat dan Kejahatan
 
 
Oleh: Taufik Rahman
 
(Mahasiswa Hukum Keluarga IAIN Antasari Banjarmasin
Kadiv. Organisasi Kerukunan Mahasiswa Kabupaten Barito Kuala)


Sumber Foto: makassarkini.net


Etika profesi adalah bagian dari etika sosial, yaitu filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagia anggota umat manusia. Untuk melaksanakan profesi yang luhur itu secara baik, dituntut moralitas yang tinggi dari pelakunya (Magnis Suseno et.al., 1991 : 75). Tiga ciri moralitas yang tinggi itu adalah : Pertama, berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi. Kedua, Sadar akan kewajibannya, dan ketiga, memiliki idealisme yang tinggi.
 
 
 
Kemudian, Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara (C.S.T. Kansil, 2003 : 8). Sebagai negara hukum (Rechtstaat) maka mutlak secara normatif bagi negara Indonesia untuk menegakan hukum itu sebagai mana mestinya, bahkan setiap mengatur tindak-tanduk dan perilaku warganya.
 
 
 
Bagi negara hukum, hukum merupakan panglima. Hukum adalah sesuatu yang bebas dari perihal kekuasaan dan kekuatan apapun. Dan tegak atau tidaknya hukum itu oleh M. Lawrance Friedman salah satunya dipengaruhi oleh aparatur penegak hukum itu sendiri.
 
 
 
Itulah yang selama ini penulis pelajari secara normatif dibangku perkuliahan. Namun, yang seharusnya belum tentu terjadi pada apa yang nyatanya. Bahkan terkadang, hal-hal normatif itu sendiri dianggap sulit untuk dikerjakan atau tidak diterapkan sama sekali dalam kehidupan.
 
 
 
Aparat penegak hukum baik itu hakim, jaksa, polisi, pengacara maupun sipir penjara yang diharapkan untuk menegakan hukum dan memberantas berbagai kejahatan kini sedang dalam sorotan tajam dari masyarakat. Mereka menjadi perhatian lantaran ada oknum-oknum yang sedang tersandung kasus kejahatan. Baik itu penyuapan, korupsi, pecandu hingga menjadi sindikat pengedar narkoba.
 
 
 
Belakangan, penjara yang semestinya menjadi tempat untuk membina masyarakat yang menjalani hukuman digunakan sebagai tempat pengedaran sampai memproduksi narkoba. Penjara disalahgunakan, dari tempat untuk menghukum menjadi tempat paling aman dalam menjalankan bisnis haram. Tak kurang Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Denpasar, di Ke­robokan, Kabupaten Badung, Bali dalam penggeledahan yang dilakukan oleh Polda Bali, Polres Badung, BNN Bali, TNI, dan petugas dari LP Kerobokan berhasil menyita 20 paket sabu. Ditemukan pula 346 butir ekstasi warna merah muda, 9,56 gram ekstasi warna ku­ning, timbangan, empat bundel plastik klip, bong, dan kotak kayu. Selain itu banyak lagi lapas yang menjadi tempat peredaran narkoba.
 
 
 
 
Dibongkarnya pengedaran narkoba dalam lapas oleh aparat hukum diatas juga menunjukan bahwa ada aparat hukum yang justeru terjerumus untuk melindungi para pengedar, baik itu kepala lapas ataupun sipir dipenjara.
 
 
 
 
Sungguh memprihatinkan memang, namun inilah kenyataan yang terjadi dan harus kita hadapi. Sipir yang semestinya bertanggung jawab terhadap pengawasan, keamanan, dan keselamatan serta mengendalikan narapidana di penjara justeru berkongsi untuk melakukan kejahatan.
 
 
Rekrutmen Penegak Hukum yang Harus dibenahi
 
Kembali pada pelajaran yang penulis dapat dibangku perkuliahan bahwa untuk menjadi penegak hukum yang baik maka aparat itu harus Pertama, berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi. Kedua, Sadar akan kewajibannya, dan ketiga, memiliki idealisme yang tinggi.
 
 
Demi tegaknya hukum yang baik ketiga hal itu mutlak dimiliki seorang aparatur hukum disuatu negara, baik itu hakim, jaksa, polisi dan advokat. Jika ketiga hal itu tidak dimiliki oleh aparat dalam menjalankan profesinya maka sulit bagi kita melihat terwujudnya penegakan hukum yang baik.
 
 
 
Akar permasalahannya sederhana, jika aparat penegak hukum tersebut direkrut melalui proses yang fair serta tidak ada sogok menyogok didalamnya maka kita akan mendapati aparat penegak hukum yang baik –hal ini juga berlaku sebaliknya. Bahwa pola perekrutan yang salah tidak akan pernah menghasilkan orang baik. Ketika orang yang menegakan hukum itu sendiri tidak baik maka jangan berharap korupsi, kolusi, nepotisme, narkoba dan tindak kejahatan lainnya akan diberantas dari negeri ini.
 
 
 
Mentalitas untuk duduk dikursi penegak hukum dengan menyogok atau karena memiliki kerabat yang bisa membantu haruslah diubah. Posisi sebagai aparatur penegak hukum bukanlah profesi biasa, ia adalah officium nobile (jabatan terhormat) yang tentunya dalam praktiknya baik itu rekrutmen maupun menjalankan tugasnya harus bersih daripada cara-cara kotor.
 
 
 
Esensi Pendidikan Itu Bukan Hanya Pembelajaran
 
Untuk menjadi aparatur hukum yang baik, seseorang haruslah mengerti teori-teori hukum, peraturan perundang-undangan, hukum acara serta pemahaman sosiologis yang mempuni. Namun, hal itu bukanlah hal sentral dalam hal penegakan hukum, kenapa?. Selamanya hukum merupakan abstraksi yang sulit untuk diterjemahkan bahkan hingga kini belum ditemukan rumusan yang tepat tentang definisinya oleh ahli hukum. Penerjemahan keadilan hukum yang abstrak kehal-hal konkrit inilah yang menjadi poros utama dalam penegakan hukum, dan hal ini dilakukan oleh manusia.
 
 
 
Moralitas dan etika, itulah kunci utamanya. Pendidikan hukum idealnya tidak hanya mengajarkan tentang pengetahuan-pengetahuan hukum, namun lebih jauh pendidikan hukum haruslah membuka dan menggugah kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kesamaan.
 
 
 
Pendidikan harus dilakukan sebagai pendidikan itu sendiri, pendidikan tidak boleh hanya dianggap sebagai pembelajaran belaka. Karena pembelajaran semata hanya akan membuat manusia menjadi hewan yang berpengetahuan, sementara pendidikan dengan dilandasi nilai-nilai etika dan moral akan membuat manusia menjadi manusia yang benar-benar.
 
 
 
Akhirnya, semua tentang hukum yang ideal, pemberantasan narkoba, korupsi dan berbagai macam tindak kejahatan hanya akan menjadi harapan dan angan-angan belaka jika aparat penegak hukumnya sendiri belum bisa memperbaiki diri.
 
 
 
Sementara itu, tidak ada yang bisa memperbaiki etika dan moral seorang penegak hukum itu melainkan kesadaran dari mereka sendiri dalam memandang hukum, keadilan dan kejujuran.

Kamis, 04 Agustus 2016

Inikah Awal Jurnalisme Baru Kita?

Inikah Awal Jurnalisme Baru Kita?
 
 
Oleh: Taufik Rahman
 
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga IAIN Antasari Banjarmasin;
Pegiat Pers Mahasiswa di LPM SUKMA)
 
 
 
Seperti rotasi roda, apa yang dahulunya ada diatas bisa saja hari ini, esok atau bulan depan menjadi dibawah bahkan hilang sama sekali dari peredaran. Karena sejatinya tidak ada yang abadi di dunia ini, bahkan kata keabadiaan itu sendiri.
 
 
Semenjak 59 SM di Romawi kuno, manusia telah mencoba menghadirkan berita sosial dan politik ketengah publik, saat itu dikenal dengan sebutan Acta Diurna. Acta Diurna dianggap sebagai koran dengan tulis tangan pertama di dunia.
 
 
Perkembangan dunia cetak semakin pesat saat diabad ke-15 Gutenberg menemukan mesin cetak, sebuah ledakan penyebaran informasi dan pengetahuan terjadi sangat cepat ke seantero Eropa hingga dunia. Semenjak itu pula hingga hari ini, media cetak menjadi komoditas dan bisnis bagi para pelakunya, tidak hanya menjadi media penyebaran berita dan informasi, media cetak juga menjadi semacam alat bagi yang berkepentingan.
 
 
Hingga kini koran tak lagi menjadi media yang mendominasi masyarakat, pergeseran dimulai dengan munculnya media elektronik dan internet. Media cetak sebagai penyedia berita mulai ditinggalkan oleh para pembacanya. Bahkan Philip Meyer, penulis buku The Vanishinh Newspaper meramalkan koran terakhir akan terbit pada tahun 2040. Bahkan ditahun 2007 Asto Subroto menyebutkan, koran sebagai sebuah produk akan berakhir dalam 25 tahun lagi.
 
 
Hal ini berbanding lurus dengan fakta bahwa kini banyak media cetak yang gulung tikar karena alasan telah ditinggalkan pembacanya. Orang lebih banyak membaca melawati gawai yang mereka miliki dibandingkan membaca versi cetak. 
 
 
 
Kualitas Jurnalisme yang Buruk atau Memang Zaman Berubah
 
Perubahan media ini ditanggapi berbagai pihak dengan pro dan kontra, bahkan Bre Redana dalam tulisannya di Kompas dengan judul “Inikah Senja Kala Kami?” Mengungkapakan kekhawatirannya terhadap ancaman dunia virtual dan wartawan multitask yang dituntut menyajikan berita secara cepat terhadap perkembangan dunia surat kabar dan wartawan konvensional yang selalu mewawancara si narasumber, yang dalam proses wawancaranya dengan menggunakan notes, bolpoint dsb, yang dalam hal ini menurutnya bukan semata penampungan omongan orang melainkan sebuah konfrontasi kesadaran berupa nilai moral, etik dan kemanusiaan. Bre juga menampilkan sisi wartawan digital yang ingin menyampaikan berita dengan cepat, pertama dan tergopoh-gopoh tetapi dianggapnya lupa bahwa yang pertama belum tentu yang terbaik.
 
 
Bre juga dengan halus menyindir kebiasaan wartawan multitask itu sebagai orang yang hanya menyajikan press release tanpa menanyakan.
 
 
Selain Bre, Muhidin M. Dahlan juga menyiratkan kekhawatirannya kepada jurnalisme didunia digital yang ditulisannya dengan judul “Jurnalisme Sepeda”sebagai berikut:
 
 
Di dunia jurnalisme sekarang yang berbasis daring dan moda transportasi yang memberhalakan percepatan, jurnalisme sepeda datang sebagai interupsi. Percepatan dengan sikap tergesa-gesa boleh saja, tetapi mesti diiringi perlambatan (ralaksasi, reflektif, dan interaktif). Kita tidak ingin didorong paksa melaju dengan percepatan informasi didunia digital, yang entah sampai dimana batasannya ini, dengan terus menerus mengonsumsi kedangkalan dengan segala perniknya.
 
 
Kekhawatiran yang mereka tuliskan justeru menurut penulis adalah kurang tepat, karena disatu sisi mereka khawatir akan matinya media cetak dan digantikan dunia digital ala internet dengan mengalasankan internet penuh kedangkalan kerena terburu-buru dan ingin serba cepat.
 
 
Pergeseran Media adalah Keniscayaan, Jurnalisme akan Bertahan Selamanya
 
Dalam tulisan ini saya tidak ingin berhemat ataupun berteori bahwa koran akan mati atau menuju liang lahat dua sampai tiga dekade lagi seperti Philip Mayer ataupun mengatakan bahwa jurnalisme digital lebih dangkal daripada jurnalisme media konvensional yang diusung media cetak.
 
 
Sejatinya, pergeseran dunia cetak ke daring memang sebuah keniscayaan, bukan karena orang-orang hanya menginginkan kecepatan informasi belaka, melainkan karena tersedia berbagai informasi dari berbagai sumber dalam satu waktu disatu tempat bernama gawai. Pergeseran itu juga berawal dari faktor turunnya harga akses internet yang kian hari kian murah karena perang dari penyedia akses.
 
 
Hal diatas juga bukan karena orang lebih menyukai informasi sampah yang bertebaran di daring, juga bukan karena orang sudah meninggalkan kedalaman yang disuguhkan oleh media konvensional disetiap pagi yang terkesan basi.
 
 
Oleh karena itulah, seharusnya media konvensional sudah semestinya bermetamorfosa mengantarkan pembacanya di daring, hadirnya media konvensional yang berubah ke daring ini juga akan menjadi lawan dari jurnalisme abal-abal yang hanya ingin menghebohkan suasana atau semata-mata mendapatkan rating tetapi mengabaikan kaidah-kaidah jurnalistik yang benar-benar ingin menyuguhkan informasi ketengah publik secara berimbang.
 
 
Untuk masalah bisnis, daring juga dari hari kehari semakin tinggi persentasi perputaran iklan didalamnya. Untuk itulah, sebaiknya media konvensional secepatnya harus bergegas mendorong diri mengikuti perubahan media. Mereka harus hadir ke daring. Pertimbangan ini belum lagi disandarkan tentang perlunya kita tidak lagi menghabiskan kertas-kertas dari penebangan pohon.
 
 
Jurnalisme Selamanya
 
Meramu hasil penglihatan, pendengaran, liputan dan wawancara secara mendalam lalu menyuguhkannya kepublik. Itulah yang selama ini dilakukan media konvensional keesokan harinya. Fakta dengan berhamburnya berita yang simpang siur di daring dengan kecepatannya serta memungkinkan semua orang menulis tanpa perlu mempertanggung jawabkannya merupakan sebuah masalah.
 
 
 
Masalah jurnalisme abal-abal macam ini harus dihadapi dengan jurnalsme yang sebenarnya, mekanisme liputan secara mendalam dan ulasan yang rinci dan runtun harus hadir di daring untuk mengalahkan berbagai sumber yang penuh dengan kedangkalan dan bahkan kebohongan itu.
 
 
Karena sejatinya, bukan medianya tetapi orang-orangnya lah yang menjadi penentu dari sebuah jurnalisme yang berkualitas. Dalam konteks ini menurut penulis sangatlah tidak cocok menggambarkan peralihan media yang sudah terlihat ini lalu kita ramai-ramai berargumen mempertahankan media konvensional dengan mendalihkan kedangkalan dari media daring.
 
 
 
Kita seharusnya, sebagai media konvensional saat ini sudah mulai merambah masuk secara masif kedalam daring karena perubahan itu adalah keniscayaan. Tetapi walaupun begitu, jurnalisme tidak akan pernah mati.
 
 
 
Akhirnya, perubahan harus dilihat sebagai tantangan yang harus kita taklukan, bukan menghujat tantangan itu lalu terkungkung dalam kejumudan. Akhirnya, media boleh berubah, tapi manusia dan jurnalisme akan selamanya menulis.


Rabu, 03 Agustus 2016

Menakar Kepahlawanan Soeharto

Menakar Kepahlawanan Soeharto
Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga 2013, IAIN Antasari Banjarmasin)
 
 
 
 (Sumber Foto: gethashtags.com)
Seringkali penilaian kita terhadap seseorang masa kini dipengaruhi oleh penilaian orang lain yang membencinya, sehingga kita ikut membenci tanpa tahu hal yang sebenarnya terjadi. Kita ikut beropini, menghakimi bahkan mencaci dan memaki. Karena manusia takut terhadap hal yang tidak dikenalnya. Tapi itulah dinamika dari sebuah negara demokrasi yang mengusung kebebasan bicara.
 
 
Sama dengan berbagai tanggapan yang menghinggapi wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Pro dan Kontra sontak mencuat kepublik, berbagai tanggapan dikemukakan baik dengan alasan yang cukup berdasar atau hanya sekedar ikut-ikutan mengomentari wacana.
 
 
Pihak yang kontra terhadap wacana ini beralasan bahwa Sang Presiden telah banyak melakukan kesalahan –kalau tidak ingin menyebutnya kejahatan kepada bangsa ini, dimulai dari membungkam kebebasan bersuara, bertanggung jawab terhadap aksi massa pasca G30S/PKI, korupsi, memenangi pemilu dengan rekayasa bahkan abuse of power.
 
 
 
 
Sementara disisi lain, Soeharto dianggap sebagai salah satu orang yang paling berjasa kepada Republik ini, tak kurang jasa-jasanya seperti menstabilkan ekonomi negara pasca pemberontakan, melakukan pembangunan bertahap, mengundang investasi asing ke Indonesia, keberhasilan swasembada, keluarga berencana, transmigrasi dan sederet prestasi cemerlang lainnya dalam kurun waktu 32 tahun.
 
 
Mempertanggung Jawabkan Objektivitas
 
Dalam catatan sejarah, Soeharto dianggap sebagai pemimpin otoriter oleh mahasiswa yang menurunkannya pada tahun 1998. Ditengah ketidak stabilan ekonomi dan politik saat itu, Soeharto menyatakan mundur dari jabatan sebagai orang nomor satu di Indonesia, lalu digantikan oleh B.J Habibie. 18 tahun setelah itu, stigma itu masih tetap lekat dan hidup dalam masing-masing diri mahasiswa yang ikut berdemonstrasi ketika itu. Pun juga dengan tahanan politik pasca pemberontakan yang sempat dipenjarakan oleh pemerintah, tentulah beliau dianggap sebagai pemimpin bertangan besi. Anggapan dan kesan subjektif itu tidak akan pernah hilang sebelum orang-orang yang terlibat dalam peristiwa sejarah itu meninggal.
 
 
 
Juga dengan orang-orang yang sempat menjadi bawahan atau pernah bekerja kepada Soeharto, tentu penilaian positif tentang Soeharto akan tetap hidup sampai orang itu meninggal.
 
 
 
Terlepas dari kesan itu, anggapan objektif tidak akan pernah bisa muncul ketengah publik selama orang-orang yang terlibat dengan tokoh secara emosional ataupun kepentingan masih hidup.
 
 
 
Jika penulis boleh analogikan, anggapan baik buruknya Ken Arok tidak akan bisa didapat secara objektif saat ia mengkudeta Tunggul Ametung yang disertai dengan pembunuhan berdarah sesudahnya selama beberapa generasi, namun penilaian objektif itu akhirnya muncul setelah semua tokoh yang terlibat dengan Kebo Ijo, Tunggul Ametung, Dedes dan Arok beserta keturunannya sudah tidak memiliki kepentingan lagi dengan kekuasaan ataupun kepentingan terselubung terhadap kerajaan.
 
 
Melihatnya sebagai suatu wacana politis
 
Melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam pro-kontra ini, penulis teringat kembali kepada novel yang ditulis oleh Robert Harris Imperium, dalam novel fiksi sejarah ini terjadi perebutan pemberian gelar Triumphus (Pria Kemenangan)/ pahlawan perang antara Pompeius yang Agung, Lucullus atau Crassus. Para kroni ketiga pimpinan militer Republik Romawi itu pun saling melakukan lobi terhadap tokoh-tokoh disenat Roma, termasuk tokoh utama Novel, Cicero agar memberikan gelar itu kepada atasannya. Ternyata jauh dari itu semua bahwa yang menginginkan gelar Triumphus itu adalah para pihak yang berkepentingan terhadap pemilu untuk pemilihan konsul ataupun ada mosi di senat yag akan di sahkan, sehingga nantinya orang yang diberi gelar Triumphus ini bisa mempengaruhi suara senat.
 
 
Menurut hemat penulis, sama dengan wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bahwa isu yang terangkat adalah untuk kepentingan politis. Kenapa? Saat ini bukan rahasia lagi bahwa ada segelintir pihak yang mendengung-dengungkan rindu terhadap kemajuan zaman soeharto, banyak jargon yang bermunculan sebagai tanda ketidak puasan terhadap pemerintahan yang ada.
 
 
 
Implikasi dari isu yang diangkat ini tentulah kepentingan untuk mendongkrak popularitas ditengah kerinduan segelintir orang itu, toh siapapun yang berperan aktif dalam diberikannya gelar pahlawan kepada Soeharto tentu akan dinilai memiliki visi kemajuan seperti Soeharto.
 
 
Belum Saatnya…
 
Wacana ini akan berakhir perdebatannya ditangan presiden, karena sejatinya gelar pahlawan adalah pemberian penghargaan kepada seseorang yang dianggap berjasa kepada Republik ini. Namun, menimbang wacana ini adalah isu politis dan kepentingan serta tidak memungkinkannya menilai sosok Soeharto dengan benar-benar objektif saat ini, maka penulis berhemat bahwa belum saatnya pemberian gelar pahlawan ini diberikan kepada mantan orang nomor satu di Republik ini.
 
 
Walaupun begitu, sebagai warga negara yang baik kita tidak boleh melupakan jasa-jasa dan pengorbanannya untuk bangsa ini terlepas dari semua apa yang dilakukannya sebagai pemimpin yang dianggap otoriter. Saaat kita bisa menerima kebaikan dan keburukan Soeharto secara holistik dan lepas dari pengaruh apapun, maka saat itu kita akan bisa memberikan penilaian apakah Soeharto layak dinobatkan sebagai pahlawan atau tidak.

Narkoba dan Keluarga: Sebuah Perang Terbuka

Narkoba dan Keluarga: Sebuah Perang Terbuka
Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga 2013, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
IAIN Antasari Banjarmasin)

Tulisan ini juga dimuat diharian Kalimantan Post dan WEB Resmi BNN Prov. Kalsel



Secara akademis, saya memfokuskan kajian keilmuan saya keranah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Tetapi sebagai mahasiswa saya cukup prihatin dengan keadaan bangsa kita saat ini, kenapa? Karena kita sedang diancam perusakan “diri sendiri” besar-besaran yang dilakukakan oleh pemuda dan remaja bahkan anak-anak dengan mengkonsumsi benda-benda yang merusak sistem saraf dan pikiran, narkoba.


Beberapa waktu lalu saya sempat menulis paper dengan judul “Konsep Ideal Membangun Indonesia Bebas Narkoba” yang menitik beratkan pada sinergitas seluruh golongan masyarakat agar berperang melawan narkoba.



Setelah itu, dua bulan lalu saya melakukan penelitian dikawasan kota Banjarmasin dengan judul “Pengaruh Perceraian Orang Tua Terhadap Kenakalan Remaja di Kota Banjarmasin” hasilnya sangat mengejutkan bahwa dari kenakalan yang kami dapatkan dikota Banjarmasin berupa begadang, berjudi, menjual/mengkonsumsi narkoba, menjual diri dan pergaulan bebas ternyata dipengaruhi oleh perceraian orang tuanya. Semua anak (remaja) yang menjadi responden dalam kasus yang diteliti merasa frustasi, bingung, sedih, kecewa, kurang mendapat kasih sayang, terlantar dan terabaikan pasca perceraian. Sebagai pelampiasan perasaan tersebut, mereka melakukan perbuatan (kenakalan) yang merugikan diri mereka sendiri.


Selanjutnya, saat diskusi dengan teman yang berasal dari Jakarta disela event debat nasional bulan lalu, teman saya itu menceritakan bahwa saat ini di Jakarta para anak muda melakukan konsumsi obat-obatan yang memabukan dengan resep dokter, modusnya mereka mengeluh sakit tidak bisa tidur beberapa hari kepada dokter, sehingga dengan begitu saat mereka mabuk mereka memiliki pelindung berupa surat resep dari dokter. Implikasinya sama yaitu mabuk dengan menggunakan obat-obatan terlarang dengan mengkonsumsinya melebihi dosis.



Dari temuan-temuan ilmiah dan empiris diatas kita patut merasa khawatir atau bahkan takut terhadap perkembangan yang demikian itu, namun ketakutan akan perkembangan yang demikian itu bukanlah solusi.



Bahwa dalam konteks pencegahan penyebaran narkoba, sangat diperlukanlah sinergitas antar elemen khususnya yang paling berperan aktif adalah keluarga, kenapa harus keluarga?



Bahwa menurut Robert Weiss, dalam bukunya Maritial Separation menyebutkan bahwa reaksi emosional anak tentang perkawinan sangatlah tergantung pada pemahaman anak tentang perkawinan orang tuanya, usia anak, tempramen anak serta sikap dan perilaku orang tua terhadap anak. Lalu menurut Dariyo anak yang ditinggalkan orang tuanya yang bercerai juga merasakan dampak negatif. Akibatnya tidak ada contoh positif yang harus ditiru.


Dalam kondisi yang demikian itu, maka pengaruh eksternal lain terhadap perkembangan perilaku dan psikologis akan sangat mudah masuk untuk membuat anak dan remaja terjerumus kedalam pergaulan bebas dan menggunakan narkoba.



Maka darri itu, sebagai sub terkecil bagian dari masyarakat pembangun negara, keluarga mememgang peranan yang begitu primer dan fundamental. Karena dari keluarga ini masyarakat disusun,keluarga memengaruhi tahap awal pembentukan karakter dan kepribadian maupun tahapan kritis seseorang. Didalamnya terdapat proses yang unik berupa organisasi, cinta dan kasih sayang. Kegagalan keluarga dalam memproteksi anggota keluarganya akan berakibat pada disharmoni dalam masyarakat secara umum.



Berdasarkan hal itulah menjadikan keluarga sebagai institusi “pembunuh” penyebaran narkoba sangat perlu untuk dirumuskan dan dipertimbangkan.



Artinya, menurut hemat penulis menjadikan siswa atau mahasiswa sebagai objek sosialisasi pencegahan narkoba saat ini kuranglah relevan lagi. Siswa atau mahasiswa itu merupakan objek proteksi, bukan proteksi itu sendiri.



Keluarga (ayah dan ibu) lah seharusnya yang menjadi objek sosialisasi guna menjadi subjek dari proteksi narkoba terhadap anak-anak dirumahnya. Penguatan peran keluarga harus disokong penuh oleh BNN, POLRI maupun Pemerintah. Rusaknya bangsa tidak akan terjadi sebelum dimulai lebih dahulu dari rusaknya keluarga sebagai institusi sub-masyarakat terkecil.



Kita sering terjebak pada pemahaman makro tentang menyelamatkan generasi bangsa, tetapi penguatan untuk fondasi tersebut sering diabaikan begitu saja, kita lupa bahwa generasi itu dicetak melalui sebuah institusi bernama keluarga.



Argumentasi tentang perlunya keluarga yang aktif untuk memerangi narkoba tidak hanya sampai pada tataran ini, bahkan kitab suci umat islampun paling banyak menyinggung dan membahas masalah keluarga, tidak ada yang paling jelas dan gamblang dijelaskan di Al-Qur’an selain perkara keluarga.Yang menurut pemahaman sederhana kita, tentulah perkara tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi manusia itu sendiri.



Alhasil, menutup sebuah tulisan yang singkat ini maka diperlukanlah sinergi dan kepahaman akan pentingnya keluarga dalam mendorong pencegahan terhadap narkoba dikalangan remaja dan anak. Ketika keluarga telah berhasil menjalankan tugas dan fungsinya dalam melindungi, mengayomi dan menjadi tempat paling nyaman dari anggota keluarganya, serta berhasil juga untuk memberikan nasehat-nasehat dan arahan kepada anggotanya agar menjauhi narkoba. Maka saat itu kita akan melihat sebanyak apapun narkoba yang beredar dipasaran ataupun dimasyarakat, tidak akan ada lagi orang yang mau mendekatinya.



Lain daripada itu, mengutip teori penegakan hukum (Law Inforcement) Lawrance M. Friedman bahwa hukum hanya akan menjadi baik saat unsur-unsur hukum itu baik, yaitu: substansi, struktur dan kultur. Substansi adalah isi peraturan yakni undang-undang dan berbagai aturan lainnya, dalam pencegahan dan pemberantasan narkoba hal ini UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah mengatur sanksi-sanksi bagi para pengedar maupun pengguna.
Selanjutnya adalah struktur, struktur hukum terdiri dari aparat yakni hakim, jaksa, polisi, pengacara dan BNN. Apabila unsur-unsur struktur ini baik maka penegakan hukum juga akan baik.

Terakhir, yaitu kultur. Budaya dibangun salah satunya oleh keluarga, dengan begitu jika keluarga mampu membangun budaya anti narkoba sedini mungkin terhadap keluarganya, maka iya akan menjadi unsur untuk penegakan hukum serta perang terhadap narkoba.

Selasa, 02 Agustus 2016

Resensi To Kill A Mockingbird

To Kill A Mockingbird
Judul : To Kill A Mockingbird
Penulis : Harper Lee
Hal        : 396



Hanya karena kita telah tertindas selama seratus tahun sebelum kita mulai melawan, bukanlah alasan bagi kita untuk tidak berusaha menang...
Sumber: To Kill A Mockingbird
Harper Lee

Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.

Harper Lee
 
Tema buku ini berawal dari perang saudara (Civil War) Amerika Serikat antara Uni dan Konfederasi yang berbeda dalam menyikapi masalah perbudakan orang kulit hitam. Ternyata, jauh setelah Uni memenangkan perang tersebut, orang-orang selatan (konfederasi) –walaupun tidak lagi memperbudak nigger (orang kulit hitam), mereka masih saja memiliki sikap, prasangka dan perasaan yang menganggap orang kulit hitam adalah sampah, tidak sederajat dan tidak memiliki tempat. Bermula dari latarbelakang demikianlah, Harper Lee mencoba meramu novel ini.
Bercerita dari sudut pandang anak perempuan berumur 9 tahun –Scout Finch, Harper Lee mencoba menampilkan penilaiannya terhadap anggapan umum orang-orang selatan tentang orang kulit hitam sekaligus juga sifat alami manusia yang mencoba memahami manusia lainnya, namun dengan cara yang salah.
Awalnya, Scout bersama kakak laki-lakinya Jem menjalani hari-hari yang menyenangkan seperti anak-anak biasanya. Bermain dirumah pohon, main peran hingga kejailan mengganggu tetangga yang tidak pernah keluar rumah. Namun dalam waktu singkat hal itu berubah, mereka tidak lagi dapat menikmati hari-hari mereka dengan tenang lantaran ayah mereka Atticus Finch memutuskan membela seorang negro bernama Tom Robinson yang dituduh memperkosa seorang bernama Mayela Ewel. Hinaan tetangga, teman sekolah, sepupu dan warga kota tentang Atticus pencinta negro pun tak terelakan dari keseharian mereka setelah itu.
Hari-hari mereka penuh dengan tekanan dan prasangka, sikap warga Maycomb County yang mempergunjingkan tentang pencinta nigger membuat mereka murung dan mempertanyakan bagaimana sikap itu bisa terjadi, bahkan Jem dengan lugu dalam salah satu dialog dibuku ini mencoba membagi jenis-jenis manusia dan mereka saling tidak menyukai satu sama lain yang oleh Scout disanggah bahwa hanya ada satu jenis manusia, yaitu manusia.
Tentang judul To Kill A Mockingbird, sebenarnya adalah analogi dari burung yang mengeluarkan suaranya untuk menghibur orang lain, tetapi tidak memakan tanaman dari kebun atau tanaman orang lain. Burung ini tidak menggangu orang lain, oleh karena itulah Atticus menyebut akan berdosa apabila manusia membunuh burung ini. Analogi untuk mockingbird dalam novel ini adalah Tom Robinson yang seorang negro dan Arthur Ridley (Boo Ridley) tetangga warga Maycomb yang tidak pernah bersosialisasi keluar rumah.
Bagaimana Harper Lee secara tersirat menggambarkan bahwa sikap manusia untuk memahami manusia lainnya dengan isu, gosip, prasangka, pergunjingan dan hinaan sama sekali bukanlah cara memhami yang benar. Cara-cara itu bukannya menyampaikan kepada memahami tetapi malah berujung kepada fitnah dan cerita-cerita tidak benar karena penafsirannya tidak berdasarkan fakta yang sesungguhnya.
Klimaks pada novel ini terjadi berkali-kali, ketegangan, kelucuan khas anak-anak, kebijaksanaan khas orang tua yang egaliter diramu secara cermat sehingga kita tidak melulu disuguhi ketegangan ataupun humor yang berlebihan, semuanya ditempatkan secara proporsional.
Jika dilihat dari asal penulisnya yang berasal dari Alabama (Selatan) buku ini bisa dikatakan meruntuhkan dan menantang tradisi orang selatan yang penuh prasangka terhadap orang negro. Tardisi yang telah berakar sangat lama, jauh lama sekali sebelum penulisnya lahir.
Alhasil, semoga ulasan ini bisa menggugah selera baca kawan-kawan sekalian.

Assalamu Alaikum Warahmatullah Wa Barakatuh...
 
 
Selamat Malam dan semoga limpahan berkat dan kasih sayang Allah selalu menyertai kita.
 
 
Senang sekali rasanya bisa kembali menulis untuk blog ini, sudah hampir empat bulan saya tidak menulis di sini. Bukan karena saya kekeringan ide ataupun kehabisan hal untuk ditulis, juga bukan karena saya super sibuk sehingga tidak menulis disini. 
 
 
Alasan yang membuat saya jarang sekali memposting tulisan diblog ini adalah karena saya terlalu asik bermain dengan gadget baru saya bernama telepon pintar. Ironis memang, tetapi itulah kenyataannya. Betapa telepon pintar mungkin telah merenggut waktu kita sedemikian rupa sehingga kita lupa untuk beraktifitas, berkarya atau pengabaian dalam bekerja. 
 
 
Selain itu juga, jaringan internet khsususnya hotspot ponsel saya tidak terlalu berfungsi dengan baik sehingga sulit sekali ditautkan dengan laptop saya.
 
 
Mungkin sudah cukup alasan-alasan yang saya buat, tapi orang tidak akan pernah peduli kepada alasan-alasan kita, orang hanya peduli dengan apa yang kita kerjakan atau tidak kita kerjakan. 
 
 
Namun, hidup kita bukan untuk menampilkan kepada orang-orang apa yang kita kerjakan atau kita kerjakan, hidup kita adalah untuk kita dan kita sepenuhnya bertanggung jawab kepada diri kita atas apa yang kita perbuat. Well, sepertinya saya harus banyak membaca hal-hal lucu untuk menurunkan derajat keseriusan dalam setiap tulisan saya.
 
 
Akhirnya, saat beberapa hari lalu saya kembali membuka Taman Cermin yang kurus, tidak terawat, penuh debu dan banyak sarang laba-labanya, saya memutuskan untuk memposting tulisan-tulisan saya selama empat bulan terakhir yang hanya saya kirim ke media ataupun ke instansi. Minimal tulisan-tulisan itu bisa menjadi pembersih betapa sudah sangat lama “gubuk berpikir” ini saya tinggalkan demi kesenangan di gawai dan sejuta jejaring sosialnya.
 
 
Semoga sambutan saya yang dibumbui dengan sedikit aroma humor diatas bisa menjadi awal lagi untuk saya mengisi blog ini dengan ide-ide segar ataupun tulisan yang bermanfaat bagi pembaca sekalian.
 
Wallahu A’lam.

Barabai, Jalan Hasan Ahmad 
31 Juli 2017 7:58 PM