Rabu, 23 Juli 2014

Blusukan :Metode Lama, Solusi Masa Depan



Blusukan :Metode Lama, Solusi Masa Depan
           

Oleh :
Taufik Rahman
Belawang, 22 Juli 2014
Terinspirasi dari cara yang di lakukan oleh tokoh fenomenal Joko Widodo dalam menjalankan roda pemerintahan, sebetulnya ada hal yang sangat menarik untuk kita amati dan pelajari dari gaya kepemimpinannya, dia mencoba memberikan perspektif berbeda terhadap rakyat tentang para aparatur negara yang selama ini dikenal arogan, dan terkesan buta, tuli, dan bisu dalam menghadapi persoalan kerakyatan bahkan jumud dan stagnan dewasa ini. Perspektif yang coba diberikan oleh Jokowi dalam memerintah di lakukan dengan cara yang sederhana, yaitu blusukan. Dalam setiap kali blusukan yang dilakukannya Jokowi memberikan kesan bahwa sebetulnya tidak ada gap antara rakyat dan pemimpinnya, yang ada hanyalah mau atau tidaknya seorang pemimpin itu melihat langsung kondisi real di bawah, bukan hanya menggunakan teori “katanya”.
            Fenomena blusukan ini sebetulnya bukanlah suatu hal baru ataupun aneh, tapi ini merupakan cara lama yang dalam blue print terbukti ampuh mengatasi berbagai macam persoalan yang menghambat berjalannya sistem secara efektif hingga ke bawah.
            Kata “keblusuk” berasal dari bahasa Jawa berarti “tersesat”. Sedangkan “blusukan” berarti “sengaja mencari tempat asing untuk mengetahui sesuatu”. Pemimpin tren “blusukan” dilakukan guna mengontrol kinerja bawahan sekaligus menampung aspirasi rakyat secara langsung.
Di dunia internasional, dua tahun lalu, CEO Randall House, Ron Hunter, dalam presidential letter-nya  mengutip anjuran Tom Peter yang bukunya menjadi New York Times Best Seller, In Search of Excellence. Di situ Tom Peter memperkenalkan istilah MWBA: management by walking around yang kalau di Indonesia kan ialah Blusukan.
Greg Gostanian, seorang pengelola-mitra pada ClearRock mengatakan, "MBWA adalah manajemen yang sejati." Namun, ia buru-buru menegaskan, untuk mendapatkan manfaat darinya, para manajer harus dilatih bagaimana mempraktikannya dengan benar. Kuncinya terletak pada kesiapan para pimpinan perusahaan untuk mendengarkan umpan balik dan pendapat dari karyawan. (Rhenaild Kasali Blog)
Jika kita membuka lagi buku dan catatan sejarah maka blusukan sebetulnya sudah dilakukan oleh para pemimpin di masa lalu, sebuh saja Hayam Wuruk dimasa memerintah Majapahit yang rela mengorbankan waktu dan tenaganya hanya untuk berkunjung ke daerah-daerah kekuasaannya untuk memantau langsung kondisi dan keadaandiwilayah kekuasaannya serta memastikan para bawahannya yang memimpin daerah tetap setiap untuk Majapahit.
Dulu, pada eranya, Pak Harto juga sesekali melakukan blusukan. Karena hanya ada TVRI, maka “turba” (istilahnya waktu itu "turun ke bawah") tidak banyak diikuti wartawan.Dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (Gramedia, Pustaka Utama, 2011) misalnya, bisa dibaca kisah blusukan-nya mengatasi penyakit kelaparan (HO) di Gunung Kidul (1972).           
Pada masa itu, pejabat-pejabat tinggi terbiasa membuat laporan ABS (asal bapak senang). "Tak ada HO, yang ada hanya KKM, kemungkinan kurang makan," begitulah laporanpejabat.
Selain itu, seorang Presiden Soeharto pada masa kepemimpinannya juga sering mengunjungi masyarakatnya dan menggagas sebuah acara bernama kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) yang bertujuan menampilkan para petani dan nelayan yang berprestasi untuk dapat berbagi ilmunya, sekaligus mengukur ilmu yang telah dimilikinya. (Rhenaild Kasali Blog)
Juga dengan apa yang di lakukan oleh Gus Dur ketika menjabat menjadi presiden di periode (1999-2001), hanya dengan 20 bulan masa jabatannya beliau telah dianggap sebagai  presiden yang senang “pleserin” karena 80 kali melakukan kunjungan ke luar negeri.
Namun, rasanya tidaklah pantas menyebut apa yang beliau lakukan adalah pleseran dan dalam hal ini saya lebih senang menyebutnya dengan istilah blusukan. Kenapa blusukan ?. Pasalnya ketika itu Indonesia baru saja menjadi negara demokrasi, karena itulah Indonesia rawan mendapat ancaman disentegrasi, baik itu pemberontakan, separatisme, dan perpecahan. Apalagi Timor Leste baru saja memerdekan diri dari NKRI, terlebih juga ancaman dari gerakan separatisme GAM, RMS, dan RPM yang mencoba melepaskan Aceh, Maluku, dan Papua dari Indonesia.
Dengan didasari adanya keinginan untuk mempertahankan stabilitas dan keamanan nasional, maka saat itu Gus Dur melakukan kunjungan keluar negeri dalam rangka melobi dan mengajak para pemimpin negara yang di kunjunginya agar tidak mendukung dan memberikan bantuan terhadap gerakan separatis yang ada di Indonesia.
Jadi, berkat metode yang kita sebut dengan blusukan tadi sebetulnya sudah ada cetak biru yang membuktikan dan di buktikan oleh para pemimpin masa lalu bahwa dengan turun langsung ke lapangan (walking around button) akan mampu memahami persoalan sebenarnya yang terjadi pada rakyat jelata dan tentu saja dengan hal itu pemerintah akan membuat kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kepentingan sesungguhnya dari rakyat.
Karena, jika tidak blusukan dan mengandalkan laporan dari staf semata saja serta hanya menggunakan teori “katanya”, pemimpin akan keliru dalam mengambil keputusan dan kebijakan serta hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Lantaran keputusan dan kebijakan yang di ambil dari metode blusukan terkadang kurang mempertimbang aspek laporan staf, belakangan di kalangan elit politik dan pemerintahan negara ini blusukan dianggap sebagai pencitraan diri semata dan di kritik oleh beberapa pihak yang tidak senang dengan metode model blusukan ini.
Setelah kita melihat aspek menjanjikan dari metode blusukan ini, maka seharusnya para pemimpin tidak hanya melakukannya saat musim kampanye. Dan apabila sudah menjabat menjadi pemimpin sebaiknya harus sering-sering mengontrol keadaan pegawai dan mengunjungi rakyat bawah (Buttom line).
Tapi, itu untuk kawasan seorang pemimpin di daerah. Bagaimana untuk RI-1 ?.
Indonesia, dengan terdiri dari 13.000 pulau, 33 Provinsi, ribuan kota, dan ratusan ribu desa, rasanya tidak akan  relevan dan efektif jika dalam masa jabatan lima tahun hanya sibuk blusukan, sedangkan sebagai seorang kepala negara dan kepala pemerintahan, persiden Indonesia kedepannya dituntut untuk menyelesaikan problema baik itu sosial, politik, hukum, HAM, pendidikan, kesehatan, kependudukan, hingga hubungan luar negeri baik itu menyangkut kerja sama bilateral, multilateral, trakat sampai ASEAN-China Free Trade 2015 nantinya.
Maka dari itu, sedianya siapapun RI-1 kedepannya di harapkan dalam hal ini untuk bisa membentuk sebuah kabinet yang solid, kabinet yang mau turun ke bawah,kabinet yang mau bekerja keras, kabinet yang memiliki kemampuan manajerial dalam hal ini management by walking around bisa menjadi salah satu opsi pertimbangan dalam menjalankan roda kebijakan nasional, sehingga masa jabatan lima tahun bisa di maksimal kan untuk memenuhi segala masalah dengan berbagai solusi.
Untuk menjalankan tugas berat tersebut, rasanya blusukan bukanlah sebuah jawaban penyelesaian, tetapi blusukan hanyalah cara yang di tempuh agar pemimpin mampu melihat keadaan yang sesungguhnya di masyarakat, melihat apakah kebijakan yang dibuat telah sampai hingga titik paling bawah dan menyeluruh.
Untuk itu semua, presiden harus membuat perencanaan program pembangunan negra, sebaiknya presiden harus melaksanakan evaluasi setiap tahun dalam mengwasi program kerja yang di rencanakan dan dibuat serta di jalankan.
Solusi terbaiknya adalah dengan melakukan sentesis terhadap blusukan, sistem birokrasi, dan kemapuan manajerial dan kepemimpinan dari presiden tersebut sehingga cita-cita dan tujuan negara yang tertuang di  prembule UUD 1945berupa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dapat diwujudkan.
Presiden juga harus memahami sistem birokrasi dan dengan ketegasannya mampu memerintahkan seluruh aparatur negara untuk dapat melakukan blusukan bersama guna dapat mengetahui permasalahan dan kebutuhan sesungguhnya dari rakyat, sekaligus memastikan program yang di usung telah menyentuh berbagai kalangan, atau minimal setiap aparatur negera bisa memantau dan mengawasi kebijakan yang di keluarkan tidak macet di tengah jalan.
Sehingga dengan begitu blusukan tak hanya dikatakan sebagai pencitraan dan hipokrisi semata.

Selasa, 15 Juli 2014

Presiden Negeri “Masalah”Indonesia



Presiden Negeri “Masalah”Indonesia


Oleh : Taufik Rahman


            9 Juli mendatang kancah perpolitikan Indonesia akan mengalami momen awal transisi kekuasaan. Suasana tebar visi-misi terus gencar dilakukan, persaingannya tidak hanya ada di ibu kota, tapi sudah merambah berbagai pelosok negeri. Kampanye, orasi politik, bahkan sampai debat kandidat pun sudah dilakukan untuk meyakinkan rakyat agar memilih calon tersebut.
            Tidak ketinggalan berbagai LSM pun ikut membuat suasana menjadi semakin hangat dengan survei-surveinya yang menempatkan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden menjadi pemenang pada pemilu juli mendatang. Tak pelak hal ini pun juga termasuk aspek pemberian suara dari rakyat untuk calon presiden bersangkutan dari segi tingkat kepopuleran si calon.
            Namun, lepas dari semua hiruk pikuk yang terjadi pra pemilu ini, yang patut kita cermati adalah gejala-gejala permasalahan yang melanda negeri ini yang sejatinya akan dihadapi pemenang pemilu presiden nanti, sehingga sudut pandang pilihan kita tidak hanya tertuju pada satu masalah, yang bisa saja masalah tersebut hanyalah bagian kecil dari fenomena “gunung es” yang ada di negeri ini.
            Menurut sekretaris Jendral Partai Nasdem Patrice Rio Capella di DPP Nasdem, Jakarta. Iya menuturkan bahwa korupsi adalah isu yang paling harus dibenahi, karena hampir melanda seluruh instansi, baik itu eksekutif, legislatif maupun, yudikatif. Dalam hal ini diharapkan nantinya presiden yang terpilih akan mampu memperkuat peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi yang saat ini dinilai masih kurang kuat untuk menindak para pelaku oleh kalangan pakar hukum seperti Mahfud MD, Busyro Muqaddas, dan lain-lain, dan juga penguatan dan pembenahan dari sisi aparat penegak keadilan dan hukum baik itu KPK, Kepolisian, kejaksaan, maupun para hakim yang dalam fungsinya tersebut harus tetap dan selalu diawasi dengan baik.
            Lepas dari persoalan korupsi yang akan dihadapi nantinya, presiden terpilih juga akan dihadang oleh beberapa persoalan besar lainnya, seperti ketidak percayaan masyarakat kepada lembaga peradilandan penegak hukum yang pada gilirannya kalau tidak segera dibenahi, dimasa yang akan datang masyarakat bisa saja tidak lagi menaati peraturan peraturan dan undang-undang yang berlaku.
            Krisis ketidakpercayaan tidak hanya menerpa instansi yudikatif, tetapi juga menghantam lembaga legislatif, yang saat ini dirasa kurang bisa­- bahkan dianggap tidak mampu menunaikan amanat Undang-undang Dasar 1945 pasal 20 A ayat (1) tentang fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dimiliki oleh DPR. Dikatakan kurang mampu menjalankan fungsinya karena dalam beberapa kali kesempatan rapat, banyak dari anggota dewan yang bolos rapat sehingga menyisakan kursi-kursi kosong tak bertuan di gedung kehormatan.
            Tidak hanya “korupsi waktu” anggota dewan ini pun bahkan sampai benar-benar melakukan tindak pidana korupsi, sebut saja Luthfi Hasan Ishaq, Anas Urbaningrum, Nazaruddin, Angelina Sondakh dan puluhan nama lainnya yang membuktikan buruknya kinerja anggota DPR saat ini.
            Tak kalah pelik, dari permasalahan yang bergejolak diranah politik, di bidang kesehatan pun ada beberapa masalah yang akan menjadi pekerjaan rumah presiden terpilih nanti.
            Tingginya angka kematian ibu dalam melahirkan. Berdasarkan hasil survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 angaka kematian ibu mencapai 359nper 100 ribu kelahiran hidup. Padahal dalam survei yang sama pada 2007, angka kematian ibu 228 per 100 ribu kelahiran hidup.
            Hal ini memunculkan simpulan bahwa telah terjadi degradasi kualitas kesehatan wanita Indonesia dalam melahirkan. Pada permasalahan ini, nantinya siapapun yang menang di pilpres juni nanti diharapkan akan mampu memberikan solusi konkrit seperti peningkatan mutu kesehatan wanita Indonesia sebelum dan selama iya hamil, dan juga diharapkan nantinya presiden terpilih mampu memberikan solusi inovatif dalam meningaktkan taraf kesehatan masyarkat Indonesia pada umumnya, dan khususnya pada penanggulangan penyebaran HIV/AIDS, dan kurang gizi yang masih banyak melanda anak-anak diwilayah Indonesia Timur.
            Tidak berhenti sampai disitu, siapapun yang menang dalam pemilu 9 Juli mendatang juga harus menghadapi persoalan ekonomi, sosial-budaya, dan lainnya, yang kalau kita rinci satu persatu sepeti : masuknya pasar bebas ASEAN 2015 sedikit banyak akan berdampak pada perekonomian nasional, dan kalau pemerintah nanti tidak cakap dalam membuat kebijakan, bisa-bisa akan menghancurkan para pengusaha dalam negeri.
Tidak hanya dampak negatif sebetulnya yang akan terjadi, namun adanya pasar bebas ini jika disambut dengan kebijakan dan strategi yang tepat tentunya akan membawa peningkatan dan kemajuan perekonomian Indonesia.
            Kemudian juga, dengan adanya pasar bebas ASEAN-China di tahun 2015 nanti, akan memicu lebih besar lagi pengaruh dan produk asing ke Indonesia, baik itu produk halal maupun haram, baik itu pengaruh positif dan negatif. Salah satu produk dan pengaruh yang sangat berbahaya bagi bagi bangsa Indonesia adalah narkoba yang setelah dibuka pasar bebas nantinya dikhawatirkan akan lebih luas lagi cengkramannya terhadap generasi muda Indonesia.
            Menurut data yang dirilis oleh BNN nantinya akan ada 5 juta pengguna narkoba di Indonesia pada tahun 2015, dari data tersebut sangat diperlukan adanya pencegahan baik itu preventif maupun persuasif baik dari pihak guru, orang tua, maupun pemerintahyang nantinya akan memegang tampuk kekuasaan, karena jika tidak ada usaha apapun dari pihak terkait, tentunya bangsa ini akan mengalami kerusakan multi-generasi.
            Maka dalam tataran ini, menghadapi berbagai permasalahan multi-dimensi yang berkembang dan menimpa negeri ini sesuai dengan penjelasan diatas maka sejatinya pemilu 2014 ini merupakan langkah awal kita menuju pembaharuan dan kemajuan Indonesia dimasa depan, dengan catatan pemimpin yang terpilih nanti harus mumpuni di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,kesehatan, dan berbgai bidang lainnya, sehingga akan memunculkan kebijakan yang pro terhadap kepentingan dan kemauan rakyat, dan juga pernyataan klasik “tidak ada manusia yang sempurna” harus di tiadakan dalam perilaku pemimpin yan terpilih nanti, karena pemimpin terpilih harus berupaya keras menjalankan roda pemerintahan se sempurna mungkin.
            Lalu, implikasinya rakyat harus memilih pemimpin yang dalam visi-misinya memprioritaskan perbaikan-perbaikan dalam masalah diatas, tanpa hanya terdoktrin dari tingkat popularitas calon tersebut.
            Karenanya dengan membandingkan antara visi-misi calon presiden dan permasalahan yang terjadi sekarang ini, maka akan di dapat pilihan yang bijaksana dan relistis, dan akan berimbas pada hilangnya permasalahan itu dari Indonesia.

Jumat, 04 Juli 2014

Budaya Senioritas di Masa Pengenalan


Budaya Senioritas di Masa Pengenalan.

Oeh : Taufik Rahman (1301110068)
28/September/2013


            Masa awal bagi seorang siswa baru untuk bergaul di sebuah sekolah-sekolah baik itu negeri maupun swasta tidak lepas dari apa yang namanya Masa Orientasi. Yang mana disebut-sebut bahwa itu adalah masa pengenalan bagi sang siswa baru dari sekolahnya agar siswa tersebut ketika sudah memasuki  proses pembelajaran tidak canggung lagi dalam beradaptasi.
            Namun kenyataannya, di Indonesia entah sejak kapan dan sampai kapan masa pengenalan ini menjadi “momok”bagoi setiap siswa baru yang hendak memasuki jenjang sekolah yang leboih tinggi. Dan yang celakanya Persepsi tentang ketakutan hanya dirasakn oleh siswa baru yangada di negeri ini. Perasaan itu bukannya muncul dengan sendirinya tetapi dipicu oleh sebuah “budaya ” yang bisa kita namankan budaya perpeloncoan.
Di sekolah-sekolah siswa baru di jadikan objek senioritas oleh kaka kelas nya disuruh membawa barang dengan nama teka-teki  yang pada akhirnya diserahakan kepada kaka kelas seperti dijarah namun mereka berdalih ini adalh bagian dari pengembangan intelektual siswa baru itu sendiri, lalu pertanyaannya apakah itu sesui dengan nilai ketimuran di Indonesia yang menganut saling menghargai antar sesama dan normatif ?.
tidak hanya sampai disitu, banyak dari siswa lama atau bahkan semuanya berteriak-teriak tidak jelas dengan nada yang mengejek, nada kasar, dan lain sebagainya kepada siswa baru dan dalih mereka lagi-lagi “ini untuk mengembangkan mental ” sang siswa. lalu pertanyaannya apakah itu sesui dengan nilai ketimuran di Indonesia yang menganut saling menghargai antar sesama dan paham normatif ?.
“Main fisik”, push-up , sit up , lari keliling lapangan dsb. Apakah itu mendidik ? sama sekali tidak.  itu hanya memberikan efek jera tanpa adanya pemikiran dari sang siswa baru bahwa disiplin itu adalah kewajiban personal bukan paksaan, dan hal itu terbukti ketika kegiatan “MOS” yang menggunakan sistem terlambat & hukum (push up .,dsb) juga tidak memberikan sikap disiplin itu kepada siswa, buktinya ketika proses jam belajar aktif digalakan masih banyak siswa yang terlambat tanpa sadar akan kewajiban .
Di zaman saya masih aktif jadi pengurus OSIS dahulu kegiatan yang satu ini adalah kegiatan yang selalu masuk di program kerja setiap tahunnya, di saat itu sayapun masih berpikir bahwa kegiatan ini adalah penting untuk pendisiplinan dan juga disisi lain jadi ajang “senioritas” yang mana bisa dikatakan saat itu saya masih terjebak di jaman jahiliyah. Namun terlepas daripada kesalahan yang pernah saya lakukan dalam pengelolaan kegiatan di tempo dulu itu , saya mengajak sekaligus menyarankan kepada  pengurus OSIS yang sekaran untuk dapat mengubah konsep kegiatn yang keras , kasar, dan sedikit sekali pemikiran menjadi kegiatan yang berdasarkan kepada pendidikan intelektual, kompetisi, dan normatif serta kekeluargaan sehingga hal itu akan berdampak kepada KBM yang kondusif.  Dengan menghilangkan unsur kekerasan itu berarti kita telah juga menekan budaya kekerasan yang masih kental di republik ini.
Namun disisi lain juga tentu hal ini bukan lah tanggung jawab dari pengurus OSIS dan panitia pelaksana semata karena masih ada pihak yang dikatakan bertanggung jawab atas terlaksananya kegiatan ini yaitu Kesiswaan, dari bapak-ibu guru dapat mengkaji ulang kegiatan yang satu ini, karena hal ini tentu akan sangat berpengaruh di KBM, berpengaruh kepada psikologi siswa , dan seorang siswa yang psikologinya terganggu karena bentakan dan kekerasan pasti akan sulit mencerna pelajaran yang di berikan dan juga akan memicu  kekerasan lain diluar sekolah sebagaimana kegiatn ini telah memberikan banyak hal yang berkaitan dengan perpeloncoan.
Pada akhirnya untuk menutup tulisan saya ini saya akan mengutip sebuah kata-kata dari  Plato yang berbunyi : “Bagaimana anda belajar, maka seperti itu anda akan mengajar”.

Selasa, 01 Juli 2014

Definisi Hukum




  Definisi Hukum
Berikut beberapa definisi hukum yang dikemukakan para ahli hukum (juris) berdasarkan aliran atau paham yang dianutnya :
1. Van Apeldoorn, hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatakanya dalam (satu) rumusan yang memuaskan.
2. I Kisch, oleh karena hukum itu tidak dapat ditangkap oleh panca indera maka sukarlah untuk membuat definisi tentang hukum yang memuaskan.
3. Lemaire, hukum yang banyak seginya dan meliputi segala macam hal itu menyebabkan tak mungkin orang membuat suatu definisi apapun hukum itu sebenarnya.
4. Grotius, hukum adalah aturan-aturan tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui sanksi-sanksi yang djatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan melalui suatu otoritas pengendalian.
5. Aristoteles, hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekadar mengatur dan mengekpresikan bentuk dari kontitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku hakim dan putusannya di pengadilan untk menjatuhkan hukuman terhadap pelangggar.
6. Schapera, hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan.
7. Paul Bohannan, hukum adalah merupakan himpunan kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam pranata hukum.
8. Pospisil, hukum adalah aturan-aturan tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan melalui suatuotoritas pengendalian.
9. Karl von savigny, hukum adalah aturan yang tebentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
10. Marxist, hukum adalah suatu pencerminan dari hubungan umum ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu.
11. John Austin, melihat hukum sebagai perangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) meruipakan otoritas tertinggi.
Kelemahan pandangan John Austin sebagai berikut :
1. Hukum dilihat semata-mata sebagai kaidah bersanksi yang dibuat dan diberlakukan oleh negara, padahal di dalam kenyataannya kaidah tersebut belum tentu berlaku.
2. Undang-undang yang dibuat oleh negara, hanya salah satu sumber-sumber hukum
3. Hanya warga masyarakat yang dilihat sebagai subjek hukum, padahal dalam kenyataannya dikenal pula adanya hukum tata negara, hukum administrasi negara, dsb.
12. Hans Kelsen, hukum adalah suatu perintah terhadap tingkah laku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi. 13 Paul
13. Scholten, hukum adalah suatu petunjuk tentang apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak untuk dilakukan yang bersifat perintah.
14. Van Kan, hukum adalah keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
15. Eugen Ehrlich (Jerman), sesuatu yang berkaitan denagan fungsi kemasyarakatan dan memandang sumber hukum hanya dari legal history and jurisprudence dan living law (hukum yang hidup didalam masyarakat).
16. Bellefroid, hukum adalah kaidah hukum yang berlaku dimasyarakat yang mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat.
17. Holmes (HakimAmerika Serikat), hukum adalah apa yang dikerjakan dan diputuskan oleh pengadilan.
18. Salmond, hukum adalah kumpulan-kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam pengadilan.
19. Roscoe Pound, hukum itu dibedakan dalam arti :
1. Hukum dalam arti sebagai tata hukum, mempunyai pokok bahasan :
o hubungan antara manusia denagan individu lainnya
o tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya.
2. Hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administrasi. Pandangan Roscoe Pound tergolong dalam aliran sosiologis dan realis.
20. Liwellyn, hukum adalah apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan adalah hukum itu sendiri.
21. Drs. E. Utrecht, SH, Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
22. SM. Amin, SH, Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi.
23. J.C.T. Simorangkir, SH & Woerjono Sastroparnoto, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu hukuman tertentu
24. M.H. Tirtaatmidjaja, SH, Hukum adalah semua aturan (norma yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian —- jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, di denda dsb.
25. Van Vollenhoven (Het adatrecht van Nederlandsche Indie), Hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala lainnya.
26. Wirjono Prodjodikoro, hukum adalah rangkaian peraturan2 mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat.
27. Soerojo Wignjodipoero, hukum adalah himpunan peraturan2 hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk bebruat tidak bebruat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.