Selasa, 29 Maret 2016

Kami Harus Marah PLN: Mahasiswa dan Rakyat





Kami Harus Marah PLN: Mahasiswa dan Rakyat

Oleh:Taufik Rahman
(Pimpinan Redaksi LPM AnalisA Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
IAIN Antasari Banjarmasin)

(Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum Kalimantan Post Edisi 28/03/2016)
“Bagai tikus yang mati dilumbung padi”, begitulah peribahasa yang paling tepat menggambarkan kondisi energi di Kalimantan Selatan. Bagaimana tidak, sebagai salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia Kalsel justeru tidak mendapat pasokan energi yang melimpah, khususnya tenaga listrik.


Kondisi byar pet (pemadaman) yang terjadi di Kal-Sel seolah olah menjadi hal rutin terjadi setiap tahun, tahun lalu medio mei 2015 juga terjadi pemadaman bergilir yang dilakukan oleh PLN. Kini dengan alasan yang hampir sama dengan alasan tahun lalu PLN Juga melakukan pemadaman bergilir.
Pemeliharaan periodik PLTU Asam-Asam Unit 2, Pemeliharaan Periodik Excess Power PLTU MSW unit 1, Commercial Operation Date PLTU Pulang Pisau (2x 60 MW) mengalami keterlambatan, Interkoneksi PLTMG Bangkanai (150 MW) belum terealisasi karena permasalahan pembebasan 4 Tapak tower dan ROW Transmisi Muara Teweh-Buntok-Tanjung menjadi sejumlah alasan PLN dari pemadaman yang dilakukan pihaknya, jika alasan teknis tersebut merupakan alasan utama dari pemadaman bergilir dan kini kita sedang defisit 90 MW listrik, pertanyaannya adalah apakah pemeliharaan yang dilakukan tidak terjadwal sehingga harus memberikan solusi dengan pemadaman bergilir.


Pemadaman bergilir, relevan kah? Seperti yang penulis kemukakan diawal bahwa jika pemadaman bergilir adalah solusi artinya ada ketidakberesan dalam manajemen energi yang dilakukan oleh pengelola energi yang bersangkutan. Kenapa? Karena seharusnya sebelum dilakukan pemeliharaan periodik PLTU, pengelola sudah menyiapkan mesin-mesin alternatif penyediaan energi untuk memenuhi defisit energi.


Penyediaan mesin-mesin alternatif seperti yang diklaim oleh PLN malah justru baru datang pada  (10/3) dengan membawa mesin pembangkit dengan kapasitas 30 MW. Bahkan menurut rilis dilaman facebook PLN Kalselteng sejatinya mesin-mesin itu bukan untuk mengatasi defisit tenaga listrik, melainkan untuk persiapan UN diawal April nanti.


Ini mengindikasikan adanya ketidakseirusan PLN dalam melayani masyarakat, kenapa? Bahwa pemeriksaan periodik merupakan hal yang terjadwal baik itu setelah mesin beroperasi 8000 jam, 16.000 jam atau 32.000 jam. Tentunya defisit atau kekurangan energi merupakan suatu konsekuensi yang diketahui dengan jelas oleh PLN, yang disayangkan dari hal ini adalah solusi yang diberikan, yakni dengan pemadaman bergilir.


Oleh penulis tentu hal ini merupakan kontraproduktif terhadap apa yang telah diamanatkan oleh pasal 29 huruf b UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenaga Listrikan bahwa konsumen berhak mendapatkan tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik dan dilanjutkan dengan huruf e bahwa konsumen berhak mendapatkan ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan oleh kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.


Secara yuridis, pengelola listrik berkewajiban memberikan kompensasi terhadap kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen karena pemadaman bergilir tersebut. Kompensasi yang diberikan ini jelas karena secara prosedur pihak pengelola sudah mengetahui akan terjadi defisit tenaga listrik, tetapi tetap memadamkan listrik secara bergiliran. Pengetahuan defisit energi yang tidak diantisipasi ini dapat kita tafsirkan secara ekstensif merupakan kelalaian yang selanjutnya menuntut pengelola untuk memberikan ganti rugi, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh undang-undang.


Memadamkan Listrik, anak kecilpun bisa


Sejatinya dalam sebuah keprofesionalan kerja, kompentensi dan pengetahuan terkait bidang yang dikelola merupakan modal dasar untuk memberikan sumbangsih terbaik. Ketidakmampuan memahami permasalahan yang akan dihadapi oleh pengelola justru akan membuat masalah semakin besar.



Pun juga dengan kondisi krisis tenaga listrik yang dialami oleh Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, bahwa secara das sollen  pemadaman bergilir bukanlah sebuah solusi, melainkan sebuah sumber masalah baru.


Jikalau setiap kekurangan atau defisit mengharuskan pemangkasan kemaksimalan pelayanan, maka anak kecilpun pada koridornya bisa melakukan hal tersebut. hal ini bisa kita analogikan dengan cara PLN yang memangkas jam operasi listrik lantaran defisit tenaga. Kalau hanya main matikan saja, anak kecilpun bisa melakukannya.


Berdasarkan hal-hal diatas itulah, kami sebagai bagian dari konsumen PLN merasa adanya ketidak profesionalan pihak pengelola dalam menjalankan tugasnya, perbaikan-perbaikan periodik yang seharusnya merupakan agenda tahunan seolah seperti keadaan yang tidak bisa diantisipasi sebelumnya.


Lain daripada itu, seharusnya jika dalam kenyataannya pihak pengelola tidak mampu menyediakan sumber energi alternatif maka sebaiknya dilakukan himbauan kepada pengguna untuk berhemat satu ataupun dua bulan sebelum masa perbaikan periodik.


Akhirnya, bahwa para teknisi dan pemangku kebijakan energi tidak dibayar oleh rakyat untuk memadamkan listrik dengan semena-mena. Bahwa kami juga yakin para pengelola bukanlah orang bodoh dalam masalah manajemen energi, yang hanya bisa memadamkan.
Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat.!!!