Kami Harus Marah PLN: Mahasiswa dan Rakyat
Oleh:Taufik Rahman
(Pimpinan Redaksi LPM AnalisA Fakultas Syariah dan
Ekonomi Islam
IAIN Antasari Banjarmasin)
(Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum Kalimantan Post Edisi 28/03/2016)
“Bagai tikus yang mati
dilumbung padi”, begitulah peribahasa yang paling tepat menggambarkan kondisi
energi di Kalimantan Selatan. Bagaimana tidak, sebagai salah satu penghasil
batubara terbesar di Indonesia Kalsel justeru tidak mendapat pasokan energi
yang melimpah, khususnya tenaga listrik.
Kondisi byar pet
(pemadaman) yang terjadi di Kal-Sel seolah olah menjadi hal rutin terjadi
setiap tahun, tahun lalu medio mei 2015 juga terjadi pemadaman bergilir yang
dilakukan oleh PLN. Kini dengan alasan yang hampir sama dengan alasan tahun
lalu PLN Juga melakukan pemadaman bergilir.
Pemeliharaan periodik
PLTU Asam-Asam Unit 2, Pemeliharaan Periodik Excess Power PLTU MSW unit 1, Commercial Operation Date PLTU Pulang
Pisau (2x 60 MW) mengalami keterlambatan, Interkoneksi PLTMG Bangkanai (150 MW)
belum terealisasi karena permasalahan pembebasan 4 Tapak tower dan ROW Transmisi
Muara Teweh-Buntok-Tanjung menjadi sejumlah alasan PLN dari pemadaman yang
dilakukan pihaknya, jika alasan teknis tersebut merupakan alasan utama dari pemadaman
bergilir dan kini kita sedang defisit 90 MW listrik, pertanyaannya adalah
apakah pemeliharaan yang dilakukan tidak terjadwal sehingga harus memberikan
solusi dengan pemadaman bergilir.
Pemadaman bergilir,
relevan kah? Seperti yang penulis kemukakan diawal bahwa jika pemadaman
bergilir adalah solusi artinya ada ketidakberesan dalam manajemen energi yang
dilakukan oleh pengelola energi yang bersangkutan. Kenapa? Karena seharusnya
sebelum dilakukan pemeliharaan periodik PLTU, pengelola sudah menyiapkan
mesin-mesin alternatif penyediaan energi untuk memenuhi defisit energi.
Penyediaan mesin-mesin
alternatif seperti yang diklaim oleh PLN malah justru baru datang pada (10/3) dengan membawa mesin pembangkit dengan
kapasitas 30 MW. Bahkan menurut rilis dilaman facebook PLN Kalselteng sejatinya
mesin-mesin itu bukan untuk mengatasi defisit tenaga listrik, melainkan untuk
persiapan UN diawal April nanti.
Ini mengindikasikan
adanya ketidakseirusan PLN dalam melayani masyarakat, kenapa? Bahwa pemeriksaan
periodik merupakan hal yang terjadwal baik itu setelah mesin beroperasi 8000
jam, 16.000 jam atau 32.000 jam. Tentunya defisit atau kekurangan energi
merupakan suatu konsekuensi yang diketahui dengan jelas oleh PLN, yang
disayangkan dari hal ini adalah solusi yang diberikan, yakni dengan pemadaman
bergilir.
Oleh penulis tentu hal
ini merupakan kontraproduktif terhadap apa yang telah diamanatkan oleh pasal 29
huruf b UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenaga Listrikan bahwa konsumen berhak
mendapatkan tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang
baik dan dilanjutkan dengan huruf e bahwa konsumen berhak mendapatkan ganti
rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan oleh kesalahan dan/atau
kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik
sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.
Secara yuridis,
pengelola listrik berkewajiban memberikan kompensasi terhadap kerugian-kerugian
yang dialami oleh konsumen karena pemadaman bergilir tersebut. Kompensasi yang
diberikan ini jelas karena secara prosedur pihak pengelola sudah mengetahui
akan terjadi defisit tenaga listrik, tetapi tetap memadamkan listrik secara
bergiliran. Pengetahuan defisit energi yang tidak diantisipasi ini dapat kita
tafsirkan secara ekstensif merupakan kelalaian yang selanjutnya menuntut
pengelola untuk memberikan ganti rugi, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
undang-undang.
Memadamkan Listrik, anak kecilpun bisa
Sejatinya dalam sebuah
keprofesionalan kerja, kompentensi dan pengetahuan terkait bidang yang dikelola
merupakan modal dasar untuk memberikan sumbangsih terbaik. Ketidakmampuan
memahami permasalahan yang akan dihadapi oleh pengelola justru akan membuat masalah
semakin besar.
Pun juga dengan kondisi
krisis tenaga listrik yang dialami oleh Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah, bahwa secara das sollen pemadaman bergilir bukanlah sebuah solusi,
melainkan sebuah sumber masalah baru.
Jikalau setiap kekurangan
atau defisit mengharuskan pemangkasan kemaksimalan pelayanan, maka anak
kecilpun pada koridornya bisa melakukan hal tersebut. hal ini bisa kita
analogikan dengan cara PLN yang memangkas jam operasi listrik lantaran defisit
tenaga. Kalau hanya main matikan saja, anak kecilpun bisa melakukannya.
Berdasarkan hal-hal
diatas itulah, kami sebagai bagian dari konsumen PLN merasa adanya ketidak
profesionalan pihak pengelola dalam menjalankan tugasnya, perbaikan-perbaikan
periodik yang seharusnya merupakan agenda tahunan seolah seperti keadaan yang
tidak bisa diantisipasi sebelumnya.
Lain daripada itu,
seharusnya jika dalam kenyataannya pihak pengelola tidak mampu menyediakan
sumber energi alternatif maka sebaiknya dilakukan himbauan kepada pengguna
untuk berhemat satu ataupun dua bulan sebelum masa perbaikan periodik.
Akhirnya, bahwa para
teknisi dan pemangku kebijakan energi tidak dibayar oleh rakyat untuk
memadamkan listrik dengan semena-mena. Bahwa kami juga yakin para pengelola
bukanlah orang bodoh dalam masalah manajemen energi, yang hanya bisa
memadamkan.
Hidup Mahasiswa, Hidup
Rakyat.!!!