Jumat, 21 Agustus 2015

Nilai dan Sebuah Kegelisahan: Bank Sampah, Kini dan Esok

Nilai dan Sebuah Kegelisahan: Bank Sampah, Kini dan Esok

Oleh: Taufik Rahman


            “Setahunya, tikus dan hamster hutan bertahan hidup pada musim dingin di antara pepohonan perdu dan berlindung dibawahlapisan salju yang lembut dipegunungan. Namun, ketika lapisan salju lembut itu tidak ada lagi –mereka jadi sulit untuk bertahan hidup.”
-Dunia Anna


“Ketidaksadaran manusia sebagai makhluk semesta juga membuat eksploitor-eksploitor itu rela membayar mahal kepada pejabat-pejabat suatu daerah untuk mengeruk hasil alamnya. Bayaran itu bukan untuk memperbaiki alam ataupun mengatasi kemeskinan tapi bayaran itu digunakan untuk melanggengkan kekuasaan pada pemilu selanjutnya, mereka Tidak peduli terhadap lingkungan, tidak peduli akan dampak jangka panjang dan mereka akan terus mengeruk, mengeruk dan mengeruk.”
-Taufik Rahman


Berbagai penelitian tentang lingkungan dan iklim telah banyak dilakukan oleh ilmuan masa kini. Hasilnya menunjukan fakta sederhana, yaitu manusia telah melakukan hal-hal yang merusak sendiri tempat tinggalnya, manusia telah menggerakan kehidupan kearah kepunahan bersama –termasuk dirinya sendiri.


Fakta sederhana diatas telah banyak disadari oleh setiap orang, bahwa bumi pada tahun 2015 bukan lagi bumi sebelum revolusi industri –dan bumi pada tahun 2100 nanti bukan lagi bumi dihari ini –jikalau masih bertahan dari kerusakan lingkungan.


Seperti yang saya tulis pada beberapa artikel sebelumnya bahwa menjaga bumi dari kerusakan merupakan salah misi kemanusiaan sebagai makhluk semesta, sama seperti rasa lapar yang dimiliki oleh seseorang, dia bukan milik agama kristen, islam, yahudi ataupun agama lainnya. oleh karena itulah konsep ini berlaku untuk semua orang.


Ada banyak cara bagi manusia untuk menyelamatkan lingkungannya. Cara itu tergantung dimana iya berada, bagaimana tingkat pendidikannya, kapan iya ada, dan bagaimana kondisi lingkungan tempatnya tinggal. Cara-cara itu hanyalah manifestasi dari sebuah perasaan dalam batin, cara itu bukanlah hal yang patut untuk dibahas ataupun dikrtisi satu sama lain, karena tujuannya sama: untuk menyelamatkan lingkungan.


Bicara tentang perasaan batin dalam diri seseorang, inilah yang paling urgen dan penting untuk dikemukakan. Hal itu adalah nilai. Semua orang yang tergerak untuk menyelamatkan lingkungan bagaimanapum caranya tergerak oleh sebuah prinsip nilai yang berasal dari dalam hati dan pikirannya. Prinsip nilai inilah yang bisa membuat seseorang bertahan begitu lama dalam menekuni suatu bidang penyelamatan lingkungan. Kesadaran akan nilai dalam diri sendiri akan sulit untuk digoyahkan.


Maka, untuk membentuk pemahaman nilai yang komprehensif tentang manusia sebagai makhluk semesta penyelamat bumi diperlukanlah sebuah praktik langsung yang akan memelihara nilai itu.


Bank Sampah: Realitas tanpa Tradisi Sejarah


 Salah satu cara saya untuk menyelamatkan lingkungan [walaupun terdengar muluk dan begitu imaji] adalah bergabung dengan Bank Sampah Green Antasari Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam. Saya masih ingat bagaimana ketika itu saya dengan lugu meminta menjadi bagian dari Bank Sampah, tidak hanya sekali tapi berkali-kali permintaan itu saya ajukan kepada salah satu pengurus Bank Sampah. Tujuan awal saya meminta bergabung ke Bank Sampah saat itu memang betul-betul digerakan oleh nilai, saya ingin menjadi bagian dari sebuah generasi yang menghargai sampah dan tidak membuangnya sembarangan sehingga merusak lingkungan. Saya hanya ingin dimasa depan –jika memang terjadi, generasi-generasi masa depan tidak menuliskan atau mengingat saya sebagai generasi serakah, egois dan tidak peduli kepada lingkungan. Dengan bergabung dalam organisasi ini, tanggung jawab moril saya kepada lingkungan dan masyarakat bisa sedikit berkurang. Apakah terlalu idealis? Apakah terlalu muluk? Apakah terlalu naif? Apakah sebuah pemikiran konyol? Atau sebuah paradigma bodoh di era fragmatis seperti sekarang? Tidak. Saya meyakini hal ini karena kita sebagai penghuni sebuah lingkungan secara langsung atau tidak akan bertanggung jawab terhadap baik atau rusaknya lingkungan itu.


Selanjutnya, kegelisahan menghinggapi penulis untuk beberapa waktu? Perasaan fragmatisme memang selalu ada, lalu muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, jadi apa aku jika terus menjadi pengurus bank sampah? Terkenalkah? Populerkah? Apakah ini bisa menjadikan aku birokrat kampus? Penguasa?.


Jawabannya, tentu saja tidak. Kita harus menyadari bahwa Bank Sampah bukan seperti organisasi lain yang sudah memiliki sejarah panjang ataupun tradisi yang kuat. Saya meyakini bahwa senior saya seperti ka Aida dan Bang Arif merupakan orang-orang yang juga digerakan oleh nilai, nilai untuk menjaga lingkungan. Nilai yang mengatakan bahwa sampah harus diubah menjadi berkah.


Walaupun kita secara organisasi tidak memiliki tradisi ataupun sejarah yang panjang, tapi saya meyakini Bank Sampah Green Antasari sedang membangun tradisi dan sejarahnya sendiri, menjadi pionir dalam pengelolaan sampah yang bermanajemen perbankan. Itulah hal yang harus kita bangun. 


Diperlukanlah oleh segenap sivitas akademika untuk bisa mendorong kemajuan bank sampah itu dengan sesegeranya mendaftarkan diri menjadi nasabah aktif.


Masa Depan, Sampah=Uang


Apakah terlalu dini bagi kita untuk bicara masa depan? Apakah terlalu muluk bagi kita untuk meramal kerusakan lingkungan karena sampah? Tentu saja tidak karena Alan Kay pernah berucap bahwa Cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah menemukannya sekarang juga.


Dimasa yang akan datang diperlukan ideologi yang mendasari setiap pengurus Bank Sampah bahwa dasar kita menggerakan roda dan manajemen organisasi ini adalah semata untuk menjadi bagian penyelamat lingkungan, menjadi bagian dari generasi yang menghargai sampah sekaligus mencintai temapt tinggalnya. Hal itu hanya bisa diwujudkan dengan pemahaman dan penumbuhan nilai dari dalam diri manusia. Sekali lagi, nilai, nilai dan nilai.


Dengan berorintasi kepada nilai itu, kita akan terus aktif menyuarakan penyelamatan lingkungan dengan menabung sampah itu dan menjadikannya uang.

Kamis, 20 Agustus 2015

Rekayasa Kebudayaan: Untuk Mencapai Hukum Yang Berkeadilan


Rekayasa Kebudayaan: Untuk Mencapai Hukum Yang Berkeadilan
Oleh: Taufik Rahman

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Q.S Al-Maidah: 8)

Ada adagium berbunyi “banyak orang bicara keadilan, tetapi hanya sedikit orang yang berlaku adil.” Benarkah? Jika hal ini ditanyakan kepada orang-orang yang menjalani pesakitan karena tidak adilnya suatu putusan pengadilan atau tidak puasnya seseorang terhadap putusan itu maka hal itu bisa dijadikan ukuran. tetapi, apakah adigium seperti itu menutup pintu bagi kita untuk menuliskan hal-hal tentang keadilan. Karena seseorang tidak akan pernah bertindak adil jika iya tidak pernah membicarakannya.

 Dalam ranah hukum kita yang banyak dipengaruhi oleh aliran positivistik ala Hens Kelsen dan John Austin lalu mengambil sedikit pemahaman  sosiological jurisprudence –nya ala Roscoe Pond, maka seharusnya secara das sollen  kita sebagai warga negara Indonesia tidak lagi perlu mengkhawatirkan akan makna keadilan dalam penegakan hukum kita. Dalam konteks ini hukum memang terpisah dari nilai moral tapi dilain sisi iya akan selalu memperhatikan gejala apa yang hidup dalam masyarakat untuk dijadikan sebuah hukum.

Tapi nyatanya, (das sein) masyarakat kita masa kini telah kehilangan kepercayaan kepada hukum. Hukum tidak lagi dianggap sebagai alat mencapai keadilan orang banyak ataupun membuat masyarakat bahagia. Hukum dijadikan sebagai alat untuk kepentingan-kepentingan kelompok dan perseorangan. Sudah tidak menjadi rahasia lagi bahwa dalam sistem hukum di tanah air dikenal istilah makelar kasus, mafia peradilan, projek, negosiasi putusan, suap jalanan, panjar pemerikasaan, katabelece bagi para saksi dan yang paling parah suap untuk hakim. Semua istilah itu cukup untuk menggambarkan betapa kekuasaan kehakiman yang kita harapkan sebagai kekuasaan yang merdeka dan bebas dari unsur apapun telah kehilangan ruhnya. Memang, tidak semua hakim dipengadilan melakukan praktik-praktik kotor diatas, tetapi adanya praktik-praktik semacam itu dilembaga penegak hukum sudah cukup membuat perasaan kita terhadap keadilan hukum menjadi tercederai.

Menariknya, negara yang mengklaim sebagai negara hukum ini sepanjang perjalanannya tidak pernah bisa menegakan hukum dengan baik. Harapan akan tegaknya hukum yang memihak kepada keadilan dari awal kedatangan belanda yang membawa hukum warisan Prancis masih tidak bisa memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Hindia Belanda kala itu. Bagaimana tidak? Sejarah kita mencatat bahwa hukum antara orang pribumi dan Eropa dibedakan dengan sangat tajam. Hukum yang seharusnya dipraktikan untuk menegakan keadilan oleh pemerintah kolonial saat itu digunakan untuk merampas tanah milik pribumi, dengan dalih tanah pribumi tersebut tidak memiliki surat tanah. Belakangan kita mengenal cara kotor melalui hukum yang dilakukan pemerintah kolonial tersebut dengan politik Demand Var Claring. Tidak hanya itu, setiap gubernur jendral saat itu juga memiliki hak yang disebut hak exxorbitant, dengan hak itu sang gubernur jendral tanpa proses pengadilan bisa saja mengasingkan seseorang yang dianggap membahayakan pengadilan.

Pun dengan saat era kemerdekaan, pemerintahan Soekarno dan Soeharto, Peradilan yang seharusnya jika menurut teori kekuasaan Montesqiau harus terpisah dari dua kekuasaan lain (Eksekutif dan Legislatif) nyatanya berada dibawah langsung kekuasaan presiden. Presiden bisa saja suatu saat mengintervensi suatu persidangan dengan dalih menjaga stabilitas nasional.

Akhirnya, walaupun diera reformasi kekuasaan kehakiman secara tekstual lepas dan tidak terpengaruh dengan dua kekuasaan lainnya, nyatanya hukum yang digadang-gadang sebagai pimpinan diera reformasi justru memiliki masalah dengan para aparatnya sendiri.
Berbagai pihak saling tuding, semua orang bicara keadilan, tapi sedikit orang yang benar-benar melakukan keadilan.
Akhirnya, kita terjebak dalam stigma bahwa keadilan sudah tidak bisa diharapkan dari hukum yang demikian.

Menurut Lawrience M. Friedman bahwa penegakan hukum (law inforcement) hanya bisa akan ditegakan apabila tiga hal ini baik, yaitu: Substansi, Struktur dan Kultur.

Substansi yang dimaksud oleh Friedman mengacu pada isi hukum, pada konteks positivistik adalah bagaimana isi peraturan perundang-undangan itu bisa mengatur dengan baik warga negara. bicara tentang bagaimana lahirnya sebuah undang-undang yang baik, maka kita akan berbicara tentang hal itu dari para legislatif yang baik. Legislatif yang baik dipilih dari pemilu yang baik. Pemilu dengan money politic akan sulit mengharapkan adanya legislatif yang baik, dan akhirnya kita akan mendapati produk aturan yang buruk –sebagai hasil dari pemilu yang buruk tersebut.

Selanjutnya, struktur. Struktur adalah bagian-bagian yang terlibat secara struktural dalam penegakan hukum. Seperti hakim, jaksa, polisi, advokat dan penyidik. Orang-orang yang duduk sebagai aparat ini adalah individu-individu yang lahir dari masyarakat. Masyarakat yang buruk akan menghasilkan individu-individu yang buruk pula. Diantara kedua faktor penegakan hukum lain, struktur inilah yang paling berperan untuk menegakan hukum, bahkan Lawrience M. Friedman mengatakan bahwa dengan hakim dan jaksa yang baik, iya akan mampu menegakan hukum yang baik walaupun memakai undang-undang yang buruk.

Terakhir, yaitu kultur. Budaya dari sebuah masyarakat akan ikut memengaruhi penegekan hukum. Sebut saja misalnya undang-undang telah mengatur tentang bagaimana untuk berkendara dengan benar dan memakai pengaman, lalu aparatpun telah menangkap dan menghentikan para pengendara yang tidak menggunakan helm misalnya. Dalam konteks ini dua faktor telah bekerja dengan baik, tapi sebut saja pengendara tersebut mengatakan “saya mau damai saja pak, gak usah disidangkan, nih uang.” Nah, inilah yang disebut dengan kultur.
Maka dari itu semua, untuk mendapatkan keadilan yang benar-benar kita impikan, mutlak rasanya mewujudkan atau memperbaiki tiga faktor diatas. Faktor itu hanya bisa dibentuk melalui rekayasa kebudayaan.

Rekayasa kebudayaan adalah sebuah doktrin yang diberikan kepada anak-anak bahwa kita adalah bangsa yang taat hukum dan membenci setiap ketidak adilan. Kenapa harus melalui kebudayaan? Karena budaya akan membentuk struktur dan subtansi hukum sebuah negara.

Sementara itu Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Maka dari itulah rekayasa kebudayaan dengan menyerang pola pikir dan membentuk paradigma baru kepada setiap anak didik bahwa kita adalah bangsa yang mencintai keadilan dan menolak semua bentuk kejahatanlah kita bisa berharap akan mendapati sebuah penegakan hukum yang ideal.

Rekayasa kebudayaan ini bukanlah visi lembaga pendidikan semata, tetapi untuk menerapkannya diperlukanlah perjuangan dari semua pihak, terutama keluarga.
Semoga tulisan ini bisa menjadi awal dari sebuah konsep pembangun rasa keadilan dan  membangun hukum yang benar-benar berkeadilan.

FIAT JUSTICIA RUAT CAELUM

Senin, 17 Agustus 2015

Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan: Wikilieaks, Pers dan Sebuah Arus Besar Perubahan

 Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan: Wikilieaks, Pers dan Sebuah Arus Besar Perubahan
 
Oleh: Taufik Rahman
 

Penyakit yang parah memerlukan obat berbahaya.
-Guy Fawkes (1570-1606)

Dibalik pemerintahan yang nyata, bertakhta pemerintahan siluman yang tidak memiliki kesetiaan dan tanggung jawab kepada rakyat. Tugas utama negarawan adalah menghancurkan pemerintahan bayangan ini, menistakan persekutuan antara bisnis dan politik yang korup ini.”
-Theodore Roosvelt

Selamat sore, salam sejahtera bagi kawan-kawab bloger dan selamat hari kemerdekaan, 17 Agustus 2015.

Memoir Citra Awal Pergerakan Nasion

Berbicara kemerdekaan Indonesia saat ini berarti berbicara pula tentang panjangnya sejarah bangsa ini jika kita hitung dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda pertama. Melihat perjuangan bangsa Indonesia jika dibandingkan dengan perjuangan bangsa lain penulis kira tidak kalah rumit dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang hendak merdeka dari kekuasaan imperialisme. Namun, jika dibandingkan dengan perjuangan bangsa lain perjuangan di Indonesia dalam kerangka kesatuan bangsa tergolong cukup cepat dibandingkan negara-negara lain, seperti Filipina yang kembali dijajah Amerika setelah lepas dari Spanyol ataupun Malaysia yang kemerdekaannya dikontrak selama 1000 tahun.

Tempo waktu 70 tahun bisa dikatakan sebentar dan sangat pendek jika dibandingkan dengan durasi 350 tahun diduduki oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Jika kita mengenal kebangsaan sebagai nasion ini baru 70 tahun atau 100 tahun jika dimulai dari pergerakan nasional, orang-orang kolonial sudah lama mengantisipasi kesatuan nasion itu sejak awa kedatangannya. Dimulai dengan politik demand far claring, cultur-steelsel, divede et empera, hingga politik etis pemerintahan kolonial mencoba berkuasa selamanya atas orang-orang pribumi di Hindia Belanda.

Dalam perkembangannya saat itu, Hindia Belanda tidak bisa lepas dari gelombang kebudayaan yang diciptakan Eropa sendiri yaitu nasionalisme, perasaan mencintai dan bangga terhadap kebangsaannya. Arus besar nasionalisme telah membuat muncul gerakan-gerakan kebangsaan ataupun kesukuan, seperti Sjarikat Dagang Islam yang bersifat kebangsaan Indonesia dan Boedi Utomo yang lebih cenderung kepada suku Jawa –priyayi Jawa. Uniknya arus besar naionalisme itu tidak berjalan sendiri seperti apa yang melanda negara-negara Eropa, tetapi di Hindia Belanda ia berjalan bersama dengan sebuah gerakan lain dari timut-tengah, yaitu Pan-Islamisme. Nasionalisme dan Pan-Islamisme telah menciptakan keresahan dikalangan pejabat Gubermen, dan akhirnya beberapa tokoh perjuangan pergerakan dibuang untuk diasingkan agar tidak mempengaruhi gerakan pribumi lebih jauh, seperti R. M Suwardi Sorjoningrat, Danurja Setiabudi, Tjipto Mangunkusomo, hingga Tirtho Adhi Soerjo.

Berbicara nama terakhir diatas, yaitu R. M Tirtho Adhi Soerjo –beberapa pendapat, salah satunya Sejarawan , Sastrawan, dan Novelis Pramoedya Ananta Toer mengemukakan bahwa R.M Tirtho Adhi Soerjo adalah “Sang Pemula” dari sebuah arus gerakan besar di Hindia Belanda. Dia adalah orang yang pertama-pertama menyadarkan bangsanya sebagai sebuah bangsa. Bersama dengan Kyai Haji Samanhudi, RM. Tirtho Adhi Soerjo mendirikan salah satu organisasi pertama pribumi di Hindia Belanda –SDI. Organisasi inilah yang pertama-tama menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan. R.M Tirtho Adhi Soerjo menyadari bahwa bahasa Melayu tidak seperti bahasa Jawa yang mengenal kasta, bahasa melayu tidak mengenal kasta apapun dan semua orang di kawasan Hindia Belanda memahami dan bisa berbahasa melayu, sejak itulah bahasa Melayu dijadikan sebuah Lingua Franca secara resmi hingga diakui oleh para pemuda dalam sumpah pemuda.

Dalam masa-masa awal pergerakannya, Titho menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan mencari masa. Tirtho mendirikan sebuah percetakan dan menerbitkan koran pribumi pertama di Hindia Belanda yang berbahasa Melayu, koran inilah yang kita kenal saat ini dengan Medan Prijaji. Lewat koran yang diterbitkannya Tirtho menyuarakan ketidak adilan, pemerasan, kemiskinan yang ditindas, dan hukum yang menyimpang di Hindia Belanda. Melalui koran ia juga memberikan bantuan hukum kepada rakyat pribumi melalui soeloh pengadilan.

Dari tindakan R.M Tirtho Adhi Soerjo kita mengetahui bahwa diawal keberadaannya pers di Indonesia adalah perlawanan terhadap kekuasaan yang semena-mena dan timpang, pers adalah alat untuk membangun rasa nasionalisme, alat yang begitu ampuh untuk menggoyangkan kekuasaan yang korup dan culas. Pers adalah sebuah instrumen perlindungan terakhir kepada rakyat jika hukum tidak memberikan keadilan. Lebih jauh, perjuangan kita sebagai bangsa nyatanya tidak langsung dimulai dengan pertempuran senjata ataupun duduk satu meja berdiplomasi, langkah untuk menyatarakan kita sebagai inlander  sebagai sebuah bangsa dimulai melaui tulisan-tulisan pers dan penghimpunan masa melalui propagandanya untuk berorganisasi. Pers adalah ruh kebangsaan.
 
Dilema Pers, Bisnis dan Politik

Medio beberapa tahun lalu isu terburuk yang menjadi diskursus dimana-mana adalah perselingkuhan antara bisnis dengan politik. Pada iklim demokrasi, bisnis dijadikan senjata untuk menyokong kekuatan finansial seorang politisi dalam merebut kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan akan menjadikan bisnis bertahan dan kuat karena didukung kekuasaan.

Sekarang isunya jauh lebih buruk lagi bahwa pers pun ikut dalam “perselingkuhan” itu. Jika dimasa Orde Baru pers yang kritis akan dibredel oleh pemerintah dimasa kini saat kemerdekaan pers itu dijamin oleh undang-undang, justeru pers itu sendiri yang tunduk dan mengabdikan dirinya kepada salah satu kekuatan politik, pers tidak lagi berpihak kepada kebenaran tapi ia tempo kini berubah menjadi pembohong publik yang rapi, buktinya saat pemilu 2014 lalu –publik disuguhkan sebuah drama baru bernama keberpihakan pers. Benarkah ini?

Dalam sebuah teori, demokrasi akan bisa tercapai jika negara tidak didasarkan atas negara kekuasaan (Machstaat) tapi negara harus didasarkan pada pembagian kekuasaan yang terpisah dan tidak saling terpengaruh, yaitu: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lebih jauh ada yang menambahkan jika pers yang netral adalah bagian dari negara atas pembagian kekuasaan itu.

Dalam kondisi untuk mencapai ke ideal an itu, maka mutlak bagi pers untuk tidak tunduk dan patuh terhadap pengaruh kekuasaan apapun. Keterbukaan informasi dalam iklim demokrasi merupakan sebuah keharusan, keterbukaan informasi adalah hak publik, yang tidak terbuka bukanlah demokrasi, yang tertutup biasanya rahasia penindasan. Membiarkan kekuasaan menutupi kebohongan kepada publik jauh lebih buruk dari keburukan itu sendiri. Dan itu bukan cita-cita dari demokrasi.
Wikileaks: kebocoran rahasia paling besar sepanjang sejarah

Saat ini, khususnya di Indonesia –sangat sedikit sekali pers yang mencoba menggoyangkan praktek korupsi yang terjadi ditanah air. Menginvestigasi dan menggali fakta secara langsung.
Wikileaks, Pada Juli 2010, situs ini mengundang kontroversi karena pembocoran dokumen Perang Afganistan. Selanjutnya, pada Oktober 2010, hampir 400.000 dokumen Perang Irak dibocorkan oleh situs ini.Pada November 2010, WikiLeaks mulai merilis pembocoran kawat diplomatik Amerika Serikat. Dan lebih dari 247 data, fakta dan dokumen dari Kedutaan Besar AS disejumlah negara. wikileaks membongkar habis keburukan AS, kejahatan perangnya di Afganistan dan Irak. Menurut beberapa analis peristiwa ini merupakan kebocoran data intelejen paling besar yang pernah terjadi. Keburukan AS ditelanjangi habis-habisan dari laporan-laporan yang seharusnya menurut kepentingan Amerika tidak boleh diketahui oleh publik. Tidak hanya AS, seluruh dunia dikejutkan dengan laporan-laporan dan data yang dipublikasikan.

Jurnalisme investigatif dan menggoyang kekuasaan korup inilah esensi sebenarnya dari pers. Pers harus menjadi sebuah motor gerakan untuk demokrasi yang sebenarnya.
Menyoroti wikileaks kita dapat belajar beberapa hal:
Pertama, wikileaks hadir disaat pers masa kini sedang menundukan diri pada kekuasaan politik. Wikileaks sebagai anak rohani dari kebebasan itu telah membuat sang inang dalam hal ini Amerika Serikat yang disatu sisi menggaungkan kesamaan dan dilain sisi melakukan penindasan telah di hajar habis. Inilah cita-cita kebebasan yang sesungguhnya, kebebasan yang tidak mementingkan lagi kewarganegaraan suatu bangsa, tapi kebebasan sebagai suatu bagian dari dunia. Wikileaks telah memulainya dengan membuka aib Amerika tehadap orang-orang timur tengah. Melalui semua tindakannya wikileaks mengajarkan kita tentang pers yang brutal dan menentang setiap ketidak adilan.

Kedua, Wkileaks tidak lagi berorientasi kepada media cetak, mereka memanfaatkan internet sebagai sebuah jaringan besar global. Pers masakini –terlebih yang berjuang untuk idealisme dan pergerakan harus menjadikan internet sebagai medianya. Menurut Eric Schmidt, nantinya internet akan tersemat di seluruh lini kehidupan manusia. Internet adalah media efektif yang sangat murah untuk pergerakan.
 
Pers Mahasiswa

Saat dunia jurnalistik telah ternoda soal “perselingkuhannya” dengan bisnis dan politik. Saat ini harapan kita hanya bisa bertumpu pada pers mahasiswa, pers mahasiswa yang pemikirannya masih murni dan jauh dari kepentingan apapun seharusnya bisa membangun sebuah opini publik melalui tulisan, ulasan yang mendalam terhadap suatu peristiwa dengan objektif dengan internet sebagai media paling ampuh masa kini.

 Akhirnya, dimasa 70 tahun kemerdekaan Indonesia ini, perlulah pers mahasiswa untuk ikut serta menjadi instrumen perubahan sosial seperti yang dicontohkan R.M Tirtho Adhi Soerjo. Pers yang merdeka dan bebas dari kepentingan apapun. Sebuah alat melawan kekuasaan yang korup.

Rumusan melawan kekuasaan: Konsep Pembentukan Kader yang Militan
[Tidak bijak rasanya untuk memposting sebuah konsep itu dalam tulisan ini] konsep itu akan saya kemukakan dalam diskusi PJTD LPM SUKMA 2015.

Semoga refleksi 70 tahun Kemerdekaan yang singkat ini bisa menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pers yang merdeka dari kepentingan apapun untuk menyampaikan kita pada cita-cita kemerdekaan sejati: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sabtu, 15 Agustus 2015

Prinsip Manusia Indonesia yang Tidak Berprinsip

Prinsip Manusia Indonesia yang Tidak Berprinsip

Oleh: Taufik Rahman


Edward Douwes Dekker dalam bukunya mengungkapkan dengan gamblang bahwa ketidakadilan untuk kaum bumiputra, penindasan, kekerasan, bahkan hingga perampokan itu tidak semata-mata dikarenakan oleh pengaruh gubermen Hindia Belanda, tetapi karena ketamakan, kerakusan dan miskinnya bupati suatu wilayahlah yang menjadi faktor utama dari semua itu (Lihat Max Havelaar: Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda). Bahwa gaji yang tidak sesuai dengan gaya hidup merekalah yang menjadikan mereka cenderung berbuat seperti itu kepada rakyatnya sendiri. Oleh residen dan asisten residen suatu wilayah, apa yang bupat itu lakukan sering kali diamini dengan ikut melakukan hal yang sama kepada pribumi.

Selanjutnya, Bung Karno juga pernah mengungkapkan bahawa perjuangan kita sebagai bangsa merdeka jauh lebih sulit lagi, karena melawan bangsa sendiri. Kata melawan yang diungkapkan oleh Bung Karno menyiratkan sebuah pertentangan antara kebaikan dan keburukan, dan hal itu ada pada diri bangsa Indonesia modern.
 
Dalam tulisan berbeda Mochtar Lubis  memandang manusia Indonesia masa kini adalah manusia munafik, oleh karena di satu pihak mendengung-dengungkan persamaan dan demokrasi, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari memupuk perbedaan status dan membentuk sekat-sekat sosial yang sulit diterobos orang luar. (Lihat Manusia Indonesia) begitu juga menurut Syafii Ma’arif bahwa struktur sosial bangsa kita masih bersifat menindas.
 
Rasanya, memerhatikan setiap pendapat yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh diatas membuat perasaan kita sebagai bangsa Indonesia menjadi sangat tersinggung, marah, dan tidak terima dikatakan begitu. Kita menurut pengalaman kita terhadap apa yang dirumuskan oleh founding father bahwa manusia Indonesia adalah bangsa beradab, bangsa yang menghargai setiap orang, bangsa berketuhanan, bangsa berkeadilan, bangsa yang cinta persatuan dan bangsa yang jauh dari sifat-sifat yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh itu.
 
Tetapi, pertanyaannya sekarang adalah, tokoh-tokoh diatas bukanlah tokoh yang menghendaki kehancuran bagi bangsa ini. E.D. Dekker lewat tulisannya dalam Max Havelaar telah membuat pemerintah kolonial memberlakukan politik etis  di Hinda Belanda kala itu, Soekarno seorang proklamator –bapak bangsa. Tidak ada alasan tokoh-tokoh itu menjadi duri dalam sekam terhadap keberlangsungan mental bangsa Indonesia.
 
Maka dari itulah –bertepatan dengan momen perayaan 70 tahun kemerdekaan, kita sebagai bagian dari sebuah nasion harus kembali diam merenung sebentar, merefleksikan setiap hal yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia. Menghayati bagaimana pribadi kita sebenarnya sebagai satu kesatuan negara. pemahamaan yang benar akan diri sendiri akan membuat kita mengerti siapa kita sebenarnya, siapa kita sebagai bangsa Indonesia.
 
Pemahaman yang ingin kita capai saat ini dalam kerangka berpikir terbatas saya harus terlepas dari nilai-nilai dogma ataupun postulat. Pemahaman semacam itu hanya akan menjadikan kita pengikut dogma masa lalu. Kita harus berangkat dari pengalaman empiris yang nyata, karena itu mewakili karakter kita sebenarnya.
 
Refleksi kecil sifat bangsa
 
Dalam sejarah berhasilnya Belanda melakukan penjajahan terhadap bangsa Indonesia, disebabkan oleh karena seringnya kerajaan-kerajaan diwilayah yang berdekatan berperang satu sama lain. Dikesempatan ini Belanda sering membantu salah satu kubu untuk memenangkan perang lalu kubu dan mengambil kesempatan untuk ikut berkuasa. Kebiasaan berperang satu sama lain menyiratkan kepada kita, nenek moyang kita merupakan orang-orang yang tamak, rakus, dan mengejar kekuasaan (invasi). Tetapi itu bukanlah hal yang perlu kita takutkan karena setiap bangsa selama dia adalah bagian dari spesies bernama manusia dia akan memiliki sifat tersebut. Selanjutnya, sikap minta tolong kepada kolonial merupakan sikap yang mengindikasikan kurang percaya terhadap kemampuan diri sendiri dan ciri dari karakter yang lemah.
 
Selanjutnya, masuknya islam di Indonesia. Dalam sebuah diskusi dengan seorang dosen beliau mengatakan kepada saya (penulis) bahwa islam masuk ke Indonesia tidak melalui jalur syariat (hukum) tapi dikarenakan oleh ajaran tasawuf. Selanjutnya saya mendapati dalam sebuah sumber rujukan yang saya lupa, bahwa kesenangan masyarakat nusantara dengan hal-hal mistis dan ada kaitannya dengan konsep mistisme dalam tasawuf  juga menjadi salah satu faktor kenapa masyarakat Indonesia mudah diislamkan, selain cara dan halusnya pendekatan para pendakwah islam itu sendiri yang cerdik.
 
Berbeda dengan nasrani yang dibawa oleh orang-orang kolonial yang coba disebarkan dengan kekuasaan dan kekerasan hanya sedikit bisa mengkristenkan bangsa Indonesia. Fakta ini mengindikasikan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang kuat sekaligus bangsa yang lemah. Kuat karakternya ketika ditindas, ditekan dan dipaksa. Tapi lemah karakter dan sikapnya ketika didekati dengan cara yang halus. Kelemahan karakter itu kita lihat ketika dahulu sebagian besar masyarakat nusantara adalah beragama hindu-budha dan sekarang hampir seluruhnya islam. Kalau seandainya kita adalah bangsa dengan karakter yang kuat saat ini rasanya kemungkinan besar kita masih banyak menganut hindu-budha.
 
Terakhir, seringkali kita mendengar ungkapan “wajarlah, kan orang Indonesia”, “malas itu adalah Indonesia” ataupun tulisan-tulisan busuk yang menghina negeri sendiri. Benarkah tulisan atau ungkapan seperti itu? Jawabannya bisa benar bisa salah. Jawabannya salah saat anda memperhatikan para petani dan pedagang kita, didaerah saya petani dan pedagang akan bangun sejak dini hari, mereka selalu berangkat kesawah dan kepasar selalu sebelum terbit matahari dan pulang biasanya hingga waktu ashar. Terkadang, ketika musim panen tiba tidak sedikit dari mereka yang bermalam disawah. Apakah orang-orang ini yang dikatakan malas? Benar saat sebagian dari kita berkelakuan seperti ungkapan-ungkapan itu. Sering terbawa arus pendapat orang, lekas terbawa pengalihan isu dan latah itulah ciri-ciri yang didapat dari fakta terakhir.
 
Konklusi
 
Dari semua fakta empiris diatas dapat kita rumuskan bahwa tabiat bangsa ini bukanlah baik ataupun buruk, bukan pula memeras ataupun memberi. Tapi secara berat hati harus saya tuliskan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang lemah prinsip. Bangsa yang secara karakter masih terlalu prematur untuk disentuh sebuah arus global tanpa moral.
 
Memang, di usia 70 tahun disatukan sebagai bangsa yang heterogen dari berbagai suku dan klan, memiliki karakter seperti itu bukanlah hal buruk. Sebagai bangsa yang dibentuk dari bahan yang berbeda akan sangat sulit bagi kita untuk membuat sebuah kekuatan prinsip dan karakter. Berbeda dengan Inggris yang dibentuk oleh ras Anglo-Saxon atau negara-negara Skandinavia yang dibentuk oleh suku mayoritas, yaitu viking.
 
Indonesia adalah sebuah negara dengan ratusan suku yang berbeda, maka untuk dapat menguatkan karakter dari nasion berbagai suku itu, yang pertama harus dilakukan adalah menguatkan karakter kesukuan itu sendiri, karena karakter adat dalam suku seringkali berpijak pada nilai-nilai moral dan kebaikan.
 
Selanjutnya, kita sebagai nasion haruslah kembali menguatkan hati dan pikiran kita kepada nilai-nilai yang ada di pancasila, kenapa karena sejatinya nasion bernama Indonesia itu tidak punya karakter. Tetapi karakter dari Indonesia itu diperas dari nilai-nilai dan sesuatu yang hidup dari suku-suku yang berbeda.
 
Yang paling penting dari semua itu adalah kita tidak boleh menjadi bangsa yang latah, bangsa yang lekas dan mudah terpedaya oleh isu-isu pengalihan ataupun pengaruh dari luar negeri.

Jumat, 14 Agustus 2015

Manusia Sebagai Makhluk Semesta

Manusia Sebagai Makhluk Semesta

Oleh: Taufik Rahman





Manusia modern telah kehilangan banyak hal luhur yang dimiliki oleh orang-orang masa lalu. Manusia modern masa kini hidup dalam sebuah dunia yang terkotak-kotak menjadi jaringan dengan satuan bytes, mereka kehilangan etika cakrawalanya sebagai bagian dari alam semesta, atau sebagai satu-satunya organisme yang menyadari ia adalah makhluk universal. Namun kenyataannya, manusia lebih banyak memposisikan diri sebagai bagian dari sebuah dunia yang tidak berbatas. Menjadi bagian dari dunia yang tidak perlu dirawat, menjadi bagian dari dunia individual untuk meraih kekayaan sebanyak-banyaknya dari hasil eksploitasi terhadap sumber daya alam.

Dalam kesempatan ini, aku tidak ingin membahas manusia dari sisi moral ataupun akhlak. Tapi manusia sebagai makhluk universal (semesta) jauh lebih menarik untuk dibahas.

Pada setiap kesempatan. Manusia sering mempertanyakan apakah manusia adalah makhluk satu-satunya yang bisa berfikir dialam semesta? Apakah tugas dari eksistensi manusia? Dan bagaimana menjadi eksistensi itu?


Jawaban-jawaban dari pertanyaan itu hanya bisa dijawab saat kita benar-benar merasa sebagai bagian dari alam semesta itu sendiri. Menjadi bagian dari kosmik berarti kita mendapat tugas untuk memelihara mahakarya ini. Tetapi dalam pikiran sempit kita, menjaga berarti tidak bebas melakukan sesuatu terhadap apa yang kita miliki tersebut, lalu kita harus mengorbankan hasrat kita untuk menjadi kaya dengan memikirkan eksistensi kita sebagai mahkluk semesta.


Tentu saja, kepentingan ekonomi kebanyakan orang telah membuat sebagian kita buta terhadap apa yang seharusnya kita jaga, bukannya kita tidak boleh melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam bumi, namun terkadang kita lupa akan kata “cukup.” Hasrat untuk menjadi kaya membuat para eksploitor [kalau boleh saya istilahkan] lupa diri, lupa bahwa mereka sedang mengeruk tempat tinggalnya sendiri, lupa bahwa yang dibuatnya semakin dalam adalah rumahnya sendiri ketika ia menjadi mahkluk semesta.


Memang Pembakaran minyak, batu bara dan hasil fosil lainnya dipabrik pabrik telah memajukan roda perekonomian manusia –jauh lebih maju dibandingkan zaman manusia purba. Tapi kemajuan-kemajuan itu jika terus dibiarkan akan membuat generasi saat ini (generasiku juga) akan dikutuk oleh generasi berikutnya karena telah menjadi bagian dari perusakan terbesar sepanjang sejarah manusia terhadap alam. Dan akhirnya, kemajuan ekonomi apapun tidak akan pernah bisa berarti di bumi yang sudah rusak.


Ketidak sadaran manusia sebagai makhluk semesta juga membuat eksploitor-eksploitor itu rela membayar mahal kepada pejabat-pejabat suatu daerah untuk mengeruk hasil alamnya. Bayaran itu bukan untuk memperbaiki alam ataupun mengatasi kemeskinan tapi bayaran itu digunakan untuk melanggengkan kekuasaan pada pemilu selanjutnya, mereka Tidak peduli terhadap lingkungan, tidak peduli akan dampak jangka panjang dan mereka akan terus mengeruk, mengeruk dan mengeruk.

Dengan alasan bahwa manusia memerlukan energi untuk membangun peradaban, manusia membutuhkan energi untuk membangun pabrik-pabrik yang akan memproduksi makanan bagi orang miskin, manusia memerlukan energi untuk kesejahteraan. Orang-orang yang lupa akan eksistensinya sebagai makhluk semesta.

Seringkali para politisi berorasi tentang perlunya berhemat, menciptakan sebuah energi terbarukan, melakukan pembakaran dengan ramah lingkungan, penyelamatan spisies langka badak bercula satu atau bahkan komodo. Tetapi apa yang dibicarakannya hanya sebatas omong kosong diatas mimbar –setelahnya seringkali dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk menjadi kaya raya melalui eksploitasi besar-besaran.


Oleh karena itulah, kita memerlukan sebuah refleksi mendalam tentang apa arti eksistensi kita sebagai makhluk semesta dibumi ini. Kita secara individu memang tidak bisa melakukan penyelamatan spisies komodo yang hampir punah di Pulau Komodo atau menahan gumpalan es dikutub utara agar tidak mencair. Tapi kita sebagai makhluk universal sekaligus makhluk individu memerlukan sebuah keseimbangan untuk pemenuhan tanggung jawab itu. Caranya sederhana, yaitu dengan peduli terhadap hal-hal kecil disekeliling kita, menjaga agar kita sebagai individu tidak ikut mencemari tanah ataupun air dengan sembarangan membuang sampah.cara-cara sederhana seperti itulah yang bisa kita lakukan. Atau jika anda seorang yang senang menulis, anda bisa menulis sebuah artikel misalnya tentang penurunan jumlah populasi burung pipit. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk memenuhi tanggung jawab kita menjaga bumi.


Melakukan hal kecil saat ini memang kurang berarti apa-apa, tapi jika hal kecil itu dilakukan oleh banyak orang mungkin akan menajdi sesuatu yang lebih berarti. Daripada kita hanyut dalam ribuan bytes setiap hari dalam dunia virtual dan ikut dalam meriahnya kemajuan gawai, saya rasa peduli terhadap kondisi lingkungan kita saat ini dan mengkhawatirkan bagaimana orang dimasa depan akan hidup jauh lebih baik daripada semua kemajuan itu. caranya adalah berbuat sebaik mungkin kepada alam dan mengerti batas-batas eksploitasi. Karena aku tidak ingin generasi-generasi yang hidup setelah kita menyalahkan generasi kita sebagai generasi tamak, rakus dan egois.

Selasa, 11 Agustus 2015

Sebuah Kegelisahan dari Penganut Sosiological Jurisprudence


Sebuah Kegelisahan dari Penganut Sosiological Jurisprudence
 
Oleh : Taufik Rahman

Bahwa keadilan, kesamaan dan kemanfaatan haruslah menjadi bagian dari hukum. Ketiga hal tersebut adalah kebutuhan pokok dari manusia. Manusia yang rasa keadilannya tidak tersentuh saat terjadi ketidakadilan  bukanlah manusia. Tapi nyatanya hukum sebagai sarana mencapai keadilan, dinegeri ini justeru dijadikan permainan dan bisnis. Layaknya dalam perdagangan seorang yang bersalah karena telah melakukan perbuatan ammoral yang seharusnya dihukum bisa saja melakukan negosiasi yang lebih ammoral lagi tentang hukuman apa yang pantas untuknya, hukuman apa yang dia dapat jika membayar sejumlah uang dan kenikmatan apa yang akan didapat didalam penjara jika membayar lebih.
 
Dalam keadaan yang sudah sangat parah ini, aku masih tidak habis fikir dengan hukum di negeri ini. Bagaimana tidak, seorang nenek-nenek tua yang mengambil beberapa biji buah di sebuah lahan harus merasakan sakitnya meja hijau dan berbelitnya proses persidangan serta harus merasakan putusan dari pengadilan. Adilkah? Dalam kacamatan aliran positivistik hal itu bisa saja dikatakan adil karena menurut hukum yang tertulis setiap pencuri harus dihukum, tapi percayalah aku tidak pernah percaya kepada hukum jenis ini dalam kaitannya dengan menghukum nenek.

 Aku yang tidak tahu apa-apa ini hanya ingin berpendapat bahwa hukum itu adalah sebuah alat untuk mencapai keadilan. Dari apa yang kubaca dari berita-berita belakangan ini, banyak pejabat dari hasil penyidikan telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, jumlahnya beragam dimulai dari ratusan juta hingga puluhan miliar, tidak hanya korupsi sebagian lainnya telah nyata-nyata menerima atau memberikan suap. Tapi kasus-kasus yang kusebutkan belakangan sebagian besar hilang sebelum dimeja hijaukan, instansi terkait dengan mudah mengeluarkan SP3 (Surat Pemberhentian Proses Penyidikan) untuk mereka. Menurut kabar angin atau isu yang merebak si terdakwa memiliki cukup uang untuk menyuap para pejabat korup itu agar menghentikan kasusnya.
 
Kembali kepada kasus nenek. Dalam kasus nenek yang mencuri beberapa biji buah itu dalam perasaan batin terpelelajar yang mencintai keadilan aku sangat mengutuk semua orang yang terlibat didalamnya selain hakim yang memutuskan perkara. Kenapa? Seharusnya kasus semacam ini tidak perlu dibawa kemeja hijau, apa yang diambil itu tidak sebanding dengan berapa biaya untuk sekali persidangan, disinilah letak ketidak adilannya. Bagaimana mungkin hukum yang hidup dimasyarakat justru menjadi pembunuh terhadap masyarakat itu sendiri. Bandingkan kasus semacam ini dengan puluhan kasus pejabat korup yang dihentikan bahkan sebelum disidangkan, inilah letak ketidak adilan yang selama ini dirasakan oleh kebanyakan orang di republik ini. Asas equlity before the law adalah sebuah omong kosong yang tidak akan pernah menyamakan derajat manusia didepan hukum negeri ini. Hukum dinegeri ini mengenal kasta, hukum dinegeri ini membedakan antara si kaya dan si miskin. Oleh karenanya, dalam kegelisahan ini diperlukanlah lagi tinjauan dari dasar berpikir hukum negeri ini. Hukum tidak serta merta tentang aturan tertulis (rule of book) tapi hukum adalah menyangkut juga tentang bagaimana menggapai rasa keadilan dalam setiap nurani manusia. Adagium benar menurut huku belum tentu adil rasanya harus kita hilangkan, kenapa? Karena menurut Theo Hujabers, yang tidak adil itu bukanlah hukum.