Nilai dan Sebuah Kegelisahan: Bank Sampah, Kini dan Esok
Oleh: Taufik Rahman
“Setahunya,
tikus dan hamster hutan bertahan hidup pada musim dingin di antara
pepohonan perdu dan berlindung dibawahlapisan salju yang lembut
dipegunungan. Namun, ketika lapisan salju lembut itu tidak ada lagi
–mereka jadi sulit untuk bertahan hidup.”
-Dunia Anna
“Ketidaksadaran
manusia sebagai makhluk semesta juga membuat eksploitor-eksploitor itu
rela membayar mahal kepada pejabat-pejabat suatu daerah untuk mengeruk
hasil alamnya. Bayaran itu bukan untuk memperbaiki alam ataupun
mengatasi kemeskinan tapi bayaran itu digunakan untuk melanggengkan
kekuasaan pada pemilu selanjutnya, mereka Tidak peduli terhadap
lingkungan, tidak peduli akan dampak jangka panjang dan mereka akan
terus mengeruk, mengeruk dan mengeruk.”
-Taufik Rahman
Berbagai
penelitian tentang lingkungan dan iklim telah banyak dilakukan oleh
ilmuan masa kini. Hasilnya menunjukan fakta sederhana, yaitu manusia
telah melakukan hal-hal yang merusak sendiri tempat tinggalnya, manusia
telah menggerakan kehidupan kearah kepunahan bersama –termasuk dirinya
sendiri.
Fakta sederhana diatas telah banyak disadari oleh setiap
orang, bahwa bumi pada tahun 2015 bukan lagi bumi sebelum revolusi
industri –dan bumi pada tahun 2100 nanti bukan lagi bumi dihari ini
–jikalau masih bertahan dari kerusakan lingkungan.
Seperti yang
saya tulis pada beberapa artikel sebelumnya bahwa menjaga bumi dari
kerusakan merupakan salah misi kemanusiaan sebagai makhluk semesta, sama
seperti rasa lapar yang dimiliki oleh seseorang, dia bukan milik agama
kristen, islam, yahudi ataupun agama lainnya. oleh karena itulah konsep
ini berlaku untuk semua orang.
Ada banyak cara bagi manusia untuk
menyelamatkan lingkungannya. Cara itu tergantung dimana iya berada,
bagaimana tingkat pendidikannya, kapan iya ada, dan bagaimana kondisi
lingkungan tempatnya tinggal. Cara-cara itu hanyalah manifestasi dari
sebuah perasaan dalam batin, cara itu bukanlah hal yang patut untuk
dibahas ataupun dikrtisi satu sama lain, karena tujuannya sama: untuk
menyelamatkan lingkungan.
Bicara tentang perasaan batin dalam diri
seseorang, inilah yang paling urgen dan penting untuk dikemukakan. Hal
itu adalah nilai. Semua orang yang tergerak untuk menyelamatkan
lingkungan bagaimanapum caranya tergerak oleh sebuah prinsip nilai yang
berasal dari dalam hati dan pikirannya. Prinsip nilai inilah yang bisa
membuat seseorang bertahan begitu lama dalam menekuni suatu bidang
penyelamatan lingkungan. Kesadaran akan nilai dalam diri sendiri akan
sulit untuk digoyahkan.
Maka, untuk membentuk pemahaman nilai yang
komprehensif tentang manusia sebagai makhluk semesta penyelamat bumi
diperlukanlah sebuah praktik langsung yang akan memelihara nilai itu.
Bank Sampah: Realitas tanpa Tradisi Sejarah
Salah
satu cara saya untuk menyelamatkan lingkungan [walaupun terdengar muluk
dan begitu imaji] adalah bergabung dengan Bank Sampah Green Antasari
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam. Saya masih ingat bagaimana ketika
itu saya dengan lugu meminta menjadi bagian dari Bank Sampah, tidak
hanya sekali tapi berkali-kali permintaan itu saya ajukan kepada salah
satu pengurus Bank Sampah. Tujuan awal saya meminta bergabung ke Bank
Sampah saat itu memang betul-betul digerakan oleh nilai, saya ingin
menjadi bagian dari sebuah generasi yang menghargai sampah dan tidak
membuangnya sembarangan sehingga merusak lingkungan. Saya hanya ingin
dimasa depan –jika memang terjadi, generasi-generasi masa depan tidak
menuliskan atau mengingat saya sebagai generasi serakah, egois dan tidak
peduli kepada lingkungan. Dengan bergabung dalam organisasi ini,
tanggung jawab moril saya kepada lingkungan dan masyarakat bisa sedikit
berkurang. Apakah terlalu idealis? Apakah terlalu muluk? Apakah terlalu
naif? Apakah sebuah pemikiran konyol? Atau sebuah paradigma bodoh di era
fragmatis seperti sekarang? Tidak. Saya meyakini hal ini karena kita
sebagai penghuni sebuah lingkungan secara langsung atau tidak akan
bertanggung jawab terhadap baik atau rusaknya lingkungan itu.
Selanjutnya,
kegelisahan menghinggapi penulis untuk beberapa waktu? Perasaan
fragmatisme memang selalu ada, lalu muncul pertanyaan-pertanyaan
seperti, jadi apa aku jika terus menjadi pengurus bank sampah?
Terkenalkah? Populerkah? Apakah ini bisa menjadikan aku birokrat kampus?
Penguasa?.
Jawabannya, tentu saja tidak. Kita harus menyadari
bahwa Bank Sampah bukan seperti organisasi lain yang sudah memiliki
sejarah panjang ataupun tradisi yang kuat. Saya meyakini bahwa senior
saya seperti ka Aida dan Bang Arif merupakan orang-orang yang juga
digerakan oleh nilai, nilai untuk menjaga lingkungan. Nilai yang
mengatakan bahwa sampah harus diubah menjadi berkah.
Walaupun kita
secara organisasi tidak memiliki tradisi ataupun sejarah yang panjang,
tapi saya meyakini Bank Sampah Green Antasari sedang membangun tradisi
dan sejarahnya sendiri, menjadi pionir dalam pengelolaan sampah yang
bermanajemen perbankan. Itulah hal yang harus kita bangun.
Diperlukanlah
oleh segenap sivitas akademika untuk bisa mendorong kemajuan bank
sampah itu dengan sesegeranya mendaftarkan diri menjadi nasabah aktif.
Masa Depan, Sampah=Uang
Apakah
terlalu dini bagi kita untuk bicara masa depan? Apakah terlalu muluk
bagi kita untuk meramal kerusakan lingkungan karena sampah? Tentu saja
tidak karena Alan Kay pernah berucap bahwa Cara terbaik untuk
memprediksi masa depan adalah menemukannya sekarang juga.
Dimasa
yang akan datang diperlukan ideologi yang mendasari setiap pengurus Bank
Sampah bahwa dasar kita menggerakan roda dan manajemen organisasi ini
adalah semata untuk menjadi bagian penyelamat lingkungan, menjadi bagian
dari generasi yang menghargai sampah sekaligus mencintai temapt
tinggalnya. Hal itu hanya bisa diwujudkan dengan pemahaman dan
penumbuhan nilai dari dalam diri manusia. Sekali lagi, nilai, nilai dan
nilai.
Dengan berorintasi kepada nilai itu, kita akan terus aktif
menyuarakan penyelamatan lingkungan dengan menabung sampah itu dan
menjadikannya uang.