Kamis, 04 Juni 2015

Apalah Arti Sebuah Nama


Apalah Arti Sebuah Nama?

Oleh: Taufik Rahman

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat popular. Pertama aliran Nativisme. Kedua, aliran Empirisme, dan ketiga aliran konvergensi.
Menurut aliran Nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecendrungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecendrungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.
Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia, da hal ini kelihatannyaerat kaitannya dengan pendapat aliran intuisisme dalam hal penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan diatas. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang memperhitungkan peranan pembinaan dan pendidikan.
Selanjutnya menurut aliran Empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian jika sebaliknya. Aliran ini tampak lebih begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.
Dalam pada itu aliran konvergensi berpendapat pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan sianak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial.[1]
Dari ketiga aliran tersebut maka dapat saya simpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi akhlak  ada 2 yaitu faktor internal dan faktor dari luar,
Faktor Internal antara lain seperti: Bakat, akal, pembawaan asal (gen keturunan)
Faktor Eksternal antara lain seperti : pendidikan, pembinaan, dan lingkungan sosial (keadaan kehidupan sosial).
Lalu belakangan selain dari beberapa faktor diatas ada pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa nama yang dimiliki seseorang juga berpengaruh terhadap perilaku dan dan akhlak seseorang. Bagi yang percaya, nama adalah doa dari orangtua sehingga jangan sembarangan memanggil orang dengan julukan aneh-aneh.[2]
Lalu jika hal tersebut kita lihat dari penelitian maka Seorang pengamat perilaku di Inggris, Dr. Pam Spurr mengakui bahwa tanpa disadari seseorang punya harapan-harapan tertentu ketika memanggil sebuah nama. Misalnya jika orang itu punya pengalaman baik dengan pemilik nama Abigail dan Jacob, ia pasti mengharapkan hal-hal baik dari orang lain yang juga memiliki nama tersebut.
Menurut Dr Pam, nama-nama tradisional yang telah mengakar dalam kebudayaan suatu daerah biasanya mengandung harapan-harapan positif meski terdengar kuno atau ketinggalan zaman. Si pemilik nama, tanpa sadar juga terpengaruh oleh harapan-harapan tersebut sehingga perilakunya cenderung menjadi lebih positif.[3]
Sebaliknya nama-nama yang singkat atau pendek yang hanya terdiri dari satu suku kata akan memberikan karakter keras bagi pemiliknya. Di kelas, murid yang dipanggil Beth atau Josh misalnya tumbuh menjadi murid yang paling nakal di kelas karena adanya harapan-harapan negatif dari yang memanggilnya.
Oleh karena itu Dr Pam menganjurkan guru dan orangtua untuk tidak membiasakan diri memendekkan nama murid sebagai nama panggilan. Memanggil dengan nama asli lebih memberikan harapan-harapan positif, misalnya Joshua yang artinya diselamatkan Tuhan atau Elizabeth  (takdir atau janji Tuhan)
Lalu ada juga dalil nash dari Hadits Rasulullah yang menyinggung tentang nama :
"Rasululloh SAW bersabda,“Seseorang datang kepada Nabi(SAW) dan bertanya,”Ya Rasululloh, apa hak anakku ini?” Nabi SAW menjawab,”Memberinya nama yg baik / bagus, mendidik adab yg baik, dan memberinya kedudukan yg baik (dalam hatimu)”.
-(HR Aththusi)"
Dari paparan, hasil penelitian, dan hadits diatas maka pendapat saya adalah nama bisa saja  menentukan perilaku seseorang/ nama adalah faktor tidak menentu (Relatif), yaitu apabila namanya baik maka akan cenderung menjadi pribadi yang baik, dan begitu juga apabila makna dari nama seseorang buruk maka akan cenderung juga menjadi pribadi yang buruk dikarenakan nama adalah tanda identitas pertama seseorang dari hidupnya dan juga menjadi pengharapan dari pemberi nama kepada yang diberi nama,
Tetapi dari hadits rasulullah diatas bahwa nama tidak dijelaskan secara eksplisit akan membawa dampak perilaku yang pasti baik apabila dinamai dengan nama yang baik namun untuk menjadikan seseorang yang berperilaku baik maka mendidik adab yang baik dan memberinya kedudukan yang baik itulah yang akan menentukan akhlak seseorang, dan tentunya juga lingkungan yang menjadi faktor penentu pasti, bagi akhlak seseorang. Pun juga dengan Bakat, akal, pembawaan asal (gen keturunan) yang baik secara langsung atapun tidak langsung juga pasti memberikan peranan yang penting bagi akhlak seseorang.
Dari semua rincian pendapat saya diatas, saya beranggapan bahwa nama adalah lebih cenderung kepada semacam doa yang berbentuk identitas yang di lafalkan setiap hari oleh setiap orang yang memberikakan sedikit pengaruh kepada tindak tanduk dan perilaku seseorang, dan penentu pokok yang paling berpengaruh dari perilaku seseorang adalah kembali kepada; pendidikan, didikan orang tua, masyarakat, bakat, akal, keturunan dan keadaan kehidupan yang mana semuanya itu pasti akan mempengaruhi akhlak dan perilaku seseorang.



[1] http://diyanshintaweecaihadiansyah.blogspot.com/2012/01/faktor-faktor-pembentukan-akhlak.html (Diakses pada : 13 Januari 2014)
[2] http://www.indospiritual.com/artikel_pengaruh-nama-panggilan-terhadap-perilaku-anak-di-sekolah.html#.UtNWPbTObcc (Diakses Pada : 13 Januari 2014)
[3] Ibid

Rabu, 03 Juni 2015

Peran Mahasiswa Sebagai Katalisator Mencapai Tujuan Reformasi di tengah Krisis Multidimensi Nasional Sebuah Tinjauan Historis



Peran Mahasiswa Sebagai Katalisator Mencapai Tujuan Reformasi di tengah Krisis Multidimensi Nasional Sebuah Tinjauan Historis

Oleh: Taufik Rahman
Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga IAIN Antasari Banjarmasin


Secara harfiah reformasi berarti sebuah gerakan untuk memformasi ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuia dengan nilai dan ide-ide yang dicita-citakan rakyat. Dalam konteks Indonesia, reformasi ditandai dengan mengundurkannya presiden Soeharto dan hancurnya orde baru di tahun 1998 oleh desakan dari mahasiswa dan rakyat Indonesia, dan terus berlangsung hingga saat ini.
Oleh karena itu, reformasi baru akan sampai pada tujuannya ketika praktek-praktek pemerintahan di zaman orde baru yang korupsi, kolusi, dan nepotisme telah hilang dari Indonesia. Juga saat semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum tidak ada lagi katabelece dari pejabat terhadap para hakim di pengadilan untuk memenangkan suatu perkara khusus atau hukum yang tajam kebawah dan tumpul keatas. Adanya perlindungan HAM untuk setiap warga negara dari suku, agama dan ras apapun, SDA yang diberdayakan dibidang ekonomi digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, dan lain-lain sesuai dengan apa yang di inginkan oleh rakyat Indonesia yang telah dikejewantahkan oleh founding father kedalam Pancasila.
Krisis Multidimensi: Tantangan dan Ancaman.
Namun, dalam perkembangannya reformasi seolah telah kehilangan ruh dan tujuannya. Reformasi yang digadang-gadang sebagai tonggak awalnya pembaharuan yang bersih dengan berlandaskan demokrasi kini terasa hambar dan menemui jalan buntu. Kenapa? Saat ini jika kita sadari 17 tahun setelah 1998, hampir sedikit sekali reformasi memberikan perbaikan terhadap nasib bangsa. Reformasi yang di idam-idamkan sebagai wahana perbaikan sistem terkesan mandul dan jalan ditempat.
Di bidang politik, jika dibandingkan dengan masa orde baru maka korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi dimasa reformasi masih tetap terjadi. Di kutip dari survey yang dilakukan oleh kantor berita DW pada tahun 2015 Indonesia menempati urutan 107 dari 175 negara dengan pemerintahan terbersih didunia. Artinya, kita masih dijerat oleh perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Hal ini semakin ironis ketika beberapa pejabat semua lapisan pemegang kekuasaan di Indonesia pernah melakukan korupsi, baik itu Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif.
Dibidang Ekonomi, dewasa ini pemerintah baru Joko Widodo terkesan tidak mempedulikan imbas dari kebijakannya menaik-turunkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), padahal dengan kebijakan seperti itu rakyat golongan menengah ke bawah akan semakin menderita karena harga barang pokok yang menjadi melonjak tajam walaupun harga minyak diturunkan. Kebijakan-kebijakan jenis ini diakui atau tidak tentulah bukan tujuan awal dari reformasi yang menginginkan perbaikan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan faktor atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi.
Setali tiga uang dengan kondisi politik dan ekonomi saat ini, hukum pun masih terkesan tumpul keatas dan tajam kebawah. Persamaan kedudukan setiap warga negara di hadapan hukum masih sulit didapatkan. Terbukti lewat kasus nenek Minah yang dihukum 1 bulan 15 hari hanya karena 3 buah Kakao, bandingkan dengan pejabat-pejabat yang korupsi ratusan atau bahkan miliaran rupiah menurut data ICW (Indonesian Corruption Watch) 78,64 % mendapat hukuman kategori ringan yaitu 1 sampai 4 tahun penjara dari pengadilan. Tidak hanya sampai disitu, bahkan Akil Mochtar  yang merupakan hakim Mahkamah Konstitusi juga terlibat dalam kasus suat pada oktober 2013 lalu. Kejadian ini mengindikasikan adanya mafia peradilan yang mengendalikan hukum demi kepentingan pribadi dan kelompok..
Kondisi yang demikian bobrok sudah melenceng jauh dari apa yang dicita-citakan oleh reformasi. Kondisi krisis multidimensi yang melanda negeri ini sejatinya masih mirip dengan apa yang dipraktikan oleh rezim orde baru. Jika krisis ini terus dibiarkan maka akumulasi dari semua masalah itu yang berpeluang menciptakan disentegrasi nasional
Maka mengutip Eep Saefullah Fatah dalam bukunya Catatan 1998-1999: Menuntaskan Perubahan bahwa dengan mengingat semua itu diakui bahwa reformasi yang bergulir selama 1998-1999 memang telah menghasilkan banyak suasana baru namun belum ditandai oleh upaya seksama kearah penataan hubungan negara masyarakat pasca orde baru. Autotarianisme yang berjalan terlampau lama –selama empat dekade Soekrno-Soeharto –tampaknya menciptakan banyak kesulitan kearah itu. Diarus atas, negosiasi elit banyak menghasilkan kompromi yang menimbulkan banyak kecemasan. Diarus bawah, masyarakat kita masih terlelap dalam pola pikir lama yang cenderung pasif dan tidak merasa perlu dalam urusan politik pemerintahan.
Tetapi kondisi tersebut terkesan mendapat pembiaran dari dari pihak yang bertanggung jawab, baik itu pemerintah, anggota dewan, mahasiswa, dan masyarakat secara umum.
Disadari atau tidak, reformasi sedang mengadapi masalah yang jauh lebih kompleks daripada sekedar penguasa otoriter. Masalah yang kalau terus dibiarkan berlarut sedang dan akan menghancurkan satu persatu sendi penopang bangsa.


Pemuda, Mahasiswa dan Sejarah yang Selalu Berulang
Kenapa mahasiswa menjadi salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam proses pencapaian tujuan reformasi dan penataan hubungan negara-masyarakat? Karena diawal terjadinya, reformasi di gebrak oleh aksi dan gerakan dari mahasiswa yang mendesak turunnya presiden Soeharto dari jabatannya. Lebih jauh pemuda telah memegang peranan penting sepanjang zaman pergerakan nasional dari zaman kolonialisme hingga reformasi. Oleh karena peran yang begitu urgen dalam sejarahnya, maka penting bagi kita untuk sejenak menengok bagaimana peranan pemuda (baca: mahasiswa) dalam memberikan sumbangsih dan kemajuan negeri ini untuk menentukan bagaimana sikap dan peran mahasiswa untuk mempercepat tercapainya tujuan reformasi berdasarkan nilai-nilai dan karakter bangsa indonesia sendiri.
Perjalanan Panjang Peran Mahasiswa: Tinjauan Historis
Saat berbicara tentang peran mahasiswa dalam ranah pergerakan maka kita harus melihatnya secara integral yaitu sejak awal zaman pergerakan nasional, pendekatan yang bisa kita gunakan untuk memahami dan menggali nilai didalamnya adalah pendekatan sejarah atau Historical Truth (kenyataan sejarah).
Faktanya, zaman pergerakan nasional tidak dimotori oleh para ambtenar ataupun kelompok etis kolonia Hindia Belanda. Tetapi oleh kaum pribumi itu sendiri lebih tepatnya mahasiswa-mahasiswa yang bersekolah di sekolah kedokteran jawa pribumi (STOVIA), para mahasiswanya saat itu dimotori oleh Dr. Sutomo, Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji mendirikan sebuah organisasi pribumi modern pertama di Hindia Belanda dengan nama Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini tidak bergerak dibidang politik, tetapi berjuang untuk memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, dagang dan kebudayaan yang dimiliki oleh pribumi. Selain itu Boedi Utomo juga menerbitkan buletin, selebaran, dan surat kabar untuk menyebarkan pemikiran gerakan.
Pada tahun 1926 Soekarno mendirikan Algemene Studie Club (ASC), dia berpendapat bahwa perjuangan tidak hanya bertumpu kepada organisasi tetapi kepada kemampuan intelektual. Sejak saat itu Soekarno aktif menyuarakan kritiknya terhadap pemerintah kolonial Belanda. Karena itu, Soekarno ditangkap dengan tuduhan makar pada tahun 1929. Lalu pada tahun 1931 Soekarno menyampaikan pidato berupa pledoi yang ditulisnya sendiri dihadapan Pengadilan Kolonial Belanda dengan judul Indonesia Menggugat. Disini Soekarno menyampaikan kritik tajamnya kepada Pemerintah Kolonial yang dianggapnya murtad dan tidak beradab.
Selanjutnya perjuangan mahasiswa/pemuda tidak pernah berhenti, pada tahun 1928 dikarenakan rasa kecewa terhadap kondisi situasi politik tanah air yang memperlihatkan jalannya organisasi-organisasi atas nama suku dan ideologi tunggal yang tidak bisa menyatu sebagai kekuatan suatu bangsa, maka kelompok mahasiswa seperti Moh Hatta, Nazir Datoek Pamuntjak, Sutan Sjahrir, Ali Sostroamidjojo menggagas pertemuan pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi politik untuk mengatasi masalah itu. Akkhirnya, pada tanggal 26-28 oktober terjadilah pertemuan nasional para pemuda yang dimotori oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yaitu Kongres Pemuda II di Jakarta. Kongres ini menghasilkan sebuah rumusan yang belakangan disebut Sumpah Pemuda.
Pasca kemerdekaan mahasiswa tidak begitu terlihat, walau demikian mahasiswa dan pemuda saat itu mempelopori terbitnya beberapa surat kabar pembawa suara rakyat sebagai bagian dari kegiatan pers mahasiswa. Para mahasiswa ini banyak membuat tulisan-tulisan tuntutan kemerdekaan Indonesia yang disebarkan dibeberapa media.
Bahkan pada tahun 1955, untuk menyalurkan pikiran dan aspirasi mahasiswa timbullah gagasan untuk mengembangkan kegiatan pers mahasiswa dan terbukti di berbagai daerah bak cendawan dimusin hujan muncullah banyak pers mahasiswa (Lihat : Dody Riyanto, Gerakan Mahasiswa,2010).
Saat terjadi pemberontakan PKI pada tahun 1965, Presiden Soekarno enggan membubarkan PKI karena menganggap bahwa G30S/PKI, bukan kesalahan PKI sebagai institusi, tetapi ada beberapa pimpinan PKI yang keblinger harus diganti. Bahkan presiden Soekarno mengganti istilah Gestapu (G30S/PKI) menjadi Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965. Tidak hanya itu, diakhir tahun pemerintah menerapkan kebijakan senering (pemotongan nilai uang) dan menaikan harga bahan pokok.
Kebijakan ekonomi dan tidak maunya pemerintah membubarkan PKI mendapat reaksi keras dari Mahasiswa yang tergabung di KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang merupakan gabungan  dari HMI, PMII, GMKI, SOMAI, Mapancas, dan IPMI. Dari KAMI inilah muncul istilah Angkatan 66.
Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa pun mengangkat dua isu diatas yang dituangkan dalam Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).
Dalam perjuangannya di fase ini mahasiswa selain melakukannya lewat aksi demonstrasi turun kejalan dan diplomasi kepada pemerintah juga dengan melakukan propaganda pergerakan melalui tulisan lewat pers mahasiswa untuk mengimbangi pemberitaan dari media umum yang berpihak pada salah satu kekuatan politik tertentu. Media-media itu seperti Mahasiswa Indonesia,Mimbar Mahasiswa, Mingguan KAMI, dan lain-lain di daerah-daerah di Indonesia.
Setalah berkuasanya Orde Baru, mahasiswa direduksi peran politiknya. Pemerintah berusa mengeliminasi peranan mahasiswa dalam urusan pemerintahan dengan mengeluarkan konsep back to campus.
Tetapi dengan konsep yang demikian, mahasiswa tidak pernah membiarkan pemerintah berbuat semena-mena. Mahasiswa di periode ini tetap memperlihatkan sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah orde baru. Gerakan mahasiswa pada awal tahun 70-an ini muncul sebagai reaksi terhadap beberapa kebijakan pemirintahan  Soeharto yang dianggap menyimpang dari idealisme yang ditegakkan Orde Baru diwal 1966. Sepak terjang mahasiswa tempo ini terbukti dengan adanya Gema 77/78 yaitu sebuah gerakan mahasiswa yang menyatakan perlawanan terhadap rezim Soeharto dan melahirkan Ikrar Mahasiwa pada perayaan Sumpah Pemuda1977 di Bandung. Perjuangan dizaman ini salah satunya dengan “gerakan ekstraparlementer” yaitu gerakan yang dapat didefinisikan sebagai tindakan politik yang dilakukan secara sistematis, melalui cara-cara diluar proses politik pada lembaga politik formal misalnya parlemen. Tindakan yang terwujud dalam gerakan seperti aksi massa, pemogokan, pelbagai kajian, diskusi, seminar, baik di dalam maupun luar kampus yang bertujuan untuk melakukan perubahan kekuasaan atau menuntut perubahan kebijakan publik.
Selanjutnya, peranan mahasiswa sangat dibatasi dan dikekang pada tahun 1980-1990 an. Didalam buku Gerakan Mahasiswa Dody Rudianto menggambarkan kondisi ketika itu:
Pada awal 1980, merupakan saat paling sulit bagi mahasiswa. Bagaikan suasana berkabung, kampus-kampus di seluruh Indonesia menjadi vakum total, sepi dari kegiatan ekstra kurikuler. Iklim perpolitikan nasional menunjukan menguatnya rezim orde baru, dan makin melemahnya peran penantangnya.
Ditengah kungkungan itu, muncul pergerakan pasif dari beberapa kalangan mahasiswa untuk mencari solusi alternatif baru sebagai perjuangan mahasiswa dalam tataran ideologis. Imbasnya adalah mahasiswa “keranjingan” membaca buku-buku dari berbagai faham dan ideologis. Aktivitas mahasiswa dan peranannya dalam bernegara saat itu terfokus pada diskusi, penerbitan pers mahasiswa dan kontemplasi (perenungan). Hal ini menjadi penting karena hanya dengan merenung dan mengintrospeksi kembali peran mahasiswa dimasa lalu, maka dengan mencari benang merah dan cetak birunya mahasiswa pada masa itu bisa menentukan sikap terhadap kondisi yang tidak memungkinkan untuk berjuang secara nyata.
Akhirnya, krisis ekonomi nasional dan adanya penyimpangan amanah serta praktek KKN yang semakin menjadi-jadi, membuat sebuah gelombang demostrasi mahasiswa yang sangat besar terjadi, kegiatan di detik-detik yang menentukan itu dilakukan dengan berdemonstrasi dan menduduki gedung DPR-RI dan mendesak Pimpinan MPR ketika itu, Harmoko agar meminta Presiden mundur dari jabatannya. perjuangan panjang mahasiswa itu berhasil membuat presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 menyatakan mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Merunut benang merah yang terus tersambung dari awal reformasi kembali ke masa pergerakan nasional, dalam konteks perjuangan dan peranan mahasiswa dengan pendekatan sejarah penulis berkesimpulan ada empat unsur yang mewarnai dan harus selalu ada dalam setiap zaman pergerakan mahasiswa guna menunjang kemampuan peran, yaitu:
 pertama, Organisasi, tanpa adanya organisasi yang mewadahi kegiatan, mahasiswa tidak akan bisa bergerak secara terstruktur, sistematis, masif. Organisasi merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama dalam memberikan peranan dan kontribusi kepada negeri.
Kedua, Korespondensi dan Konsolidasi antar organisasi. Hal ini menjadi penting dalam menekan pemerintah ataupun korporasi yang tidak berpihak kepada rakyat.
Ketiga, Media. Dalam melakukan praktik perjuangan dan peranan kepada masyarakat mahasiswa harus mempunyai alat penyampai maksud salah satunya adalah dengan berkecimpung dalam Pers Mahasiswa.
Keempat, kemampuan membaca, menulis, berbicara. Ketiga unsur ini selalu mewarnai perjuangan mahasiswa dari awal hingga hari ini.

Katalis : Menghapus Krisis Multidimensi dan Mencapai Tujuan Reformasi
Tujuan adanya reformasi dapat dituliskan sebagai berikut:
Pertama, melakukan perubahan secara serius dan bertahap untuk menemukan nilai-nilai baru dalam kehidupan berbangsaan bernegara.
Kedua, menata kembali seluruh struktur kenegaraan, termasuk perundangan dan konstitusi yang menyimpang dari arah perjuangan dan cita-cita seluruh masyarakat bangsa
Ketiga, melakukan perbaikan di segenap bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan.
Keempat, menghapus dan menghilangkan cara-cara hidup dan kebiasaan dalam masyarakat bangsa yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi, seperti KKN, kekuasaan sewenang-wenang/otoriter, penyimpangan dan penyelewengan yang lain dan sebagainya.
Sebagaimana perannya sepanjang perjalanan bangsa, maka di era reformasi ini mahasiswa juga harus berusaha mewujudkan tujuan awal dari gerakan reformasi. Bagaimana caranya? Sebenarnya tidak ada konsep baku dalam perjuangan dan peranan mahasiswa guna membangun bangsa, artinya setiap masa yang dilalui mahasiswa itu menentukan jenis dan cara menurut masalah-masalah yang terjadi. Dalam tataran ini mahasiswa harus bersifat reaktif terhadap segala masalah.
Namun, untuk era reformasi sekarang ini mahasiswa tidak boleh hanya reaktif dan menunggu masalah muncul kepermukaan lalu dikritisi atau ditekan. Tetapi mahasiswa harus bersifat proaktif. Proaktif adalah orang yang relatif tidak terpengaruh oleh kekuatan situasi di sekitarnya, bahkan orang tersebut mampu mempengaruhi timbulnya perubahan dalam lingkungannya. Orang dengan proaktivitas tinggi mampu mengidentifikasi kesempatan dan mengambil tindakan yang tepat untuk memanfaatkan kesempatan tersebut, menampakkan inisiatif dan mempertahankannya sampai perubahan yang bermakna terjadi. Sikap inilah yang harus dimiliki mahasiswa di era reformasi ini. Kenapa? Karena kondisi di era reformasi cenderung dinamis dan tidak bisa diprediksi perjalanannya. Kalau mahasiswa hanya bersifat reaktif (memberikan respon terhadap peristiwa), maka dikhawatirkan mahasiswa akan mudah terbawa arus.
Lebih jauh Stephen R. Covey dalam bukunya The Habits of Hoghly Effective People meringkas ciri-ciri individu proaktif menjadi lima, yaitu:
1. Orang proaktif selalu bertanggung jawab. Mereka tidak menyalahkan keadaan, kondisi, atau pengkondisian untuk perilaku mereka. Perilaku adalah produk dari pilihan sadar, berdasarkan nilai, dan bukan produk dari suasana hati, kondisi, atau tekanan sosial yang diterima.
2. Orang proaktif menfokuskan upaya mereka pada lingkaran pengaruh (mencakup segala hal yang dapat dipengaruhi). Mereka mengerjakan hal-hal yang terhadapnya mereka dapat perbuat sesuatu. Sifat dari energi mereka adalah positif, memperluas dan memperbesar, yang menyebabkan lingkaran pengaruh mereka meningkat.
3. Berfokus pada lingkaran pengaruh, orang proaktif bekerja dari dalam ke luar (in side – out), yaitu berusaha memulai perubahan dengan mengubah dirinya lebih dahulu, bahkan dari yang paling dalam dari dirinya, yaitu dengan memeriksa kebenaran paradigma dan persepsi-persepsinya.
4. Orang proaktif hidup berpusat pada prinsip (principle centered) kemudian ia menerjemahkan prinsip-prinsip itu kedalam seperangkat nilai-nilai (values) yang telah dipilihnya dengan sadar. Berdasarkan nilai-nilai itulah ia mengarahkan pilihan sikap dan perilakunya.
5. Orang proaktif mengembangkan dan menggunakan kesadaran diri, hati nurani, imajinasi kreatif dan kebebasan kehendak secara optimal.
Dengan memiliki sikap proaktif dengan kelima unsurnya mahasiswa akan bisa lebih memberikan peranan dalam menghapus krisis multidimensi dan mewujudkan tujuan reformasi.
Selain bersikap proaktif, mahasiswa harus memiliki “kemampuan genetis” para aktivis pergerakan, yaitu : pertama organisasi, kedua kemampuan korespondensi dan konsolidasi, ketiga memiliki media propaganda, dan yang terakhir kemampuan membaca, menulis, dan berbicara.
Menilik masalah di era reformasi merupakan krisis multidimensi maka “kemampuan genetis” yang dimiliki mahasiswa saat ini bukan hanya terbatas dibidang politik dan kritik terhadap pemerintahan tetapi lebih dalam ia harus bersinggungan langsung kepada kepentingan rakyat secara umum meliputi bidang ekonomi, sosial, hukum, lingkungan, budaya, dan moral.
Maka dalam tataran ini mahasiswa harus bisa mengarahkan organisasi-organisasi yang di ikutinya berkontribusi aktif  dibidang tersebut (ekonomi, sosial, hukum, lingkungan, budaya, dan moral.) secara spesifik.
Organisasi, untuk berperan aktif dalam mencapai tujuan reformasi mahasiswa harus berkecimpung aktif di organisasi bidang ekonomi, sosial,hukum, lingkungan, budaya, dan moral untuk memberikan kemajuan dibidang tersebut atau mendirikan organisasi untuk bid   ang-bidang tersebut.
Korespondensi dan konsolidasi penting untuk membuat sebuah gerakan yang lebih besar, menghimpun orang-orang yang sama bidang fokusnya untuk berkumpul, lalu mencoba mencapai  kepentingan bersama yang jauh lebih besar.
Media digunakan sebagai sarana untuk memberitahukan, mempromosikan, dan mempropagandakan pergerakan yang kita lakukan. Baik itu untuk aksi demonstrasi, bakti sosial masyarakat, penyuluhan hukum dan moral, dan lain-lain.
Kemudian kemampuan personal, yaitu membaca, menulis, dan berbicara. Akan sangat mustahil 3 unsur “kemampuan genetis” diatas berperan dan berfungsi secara optimal untuk mewujudkan tujuan reformasi jika mahasiswa-mahasiswanya tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan intelektual yang mempuni karena kurangnya membaca buku dan tidak beres dan dunia perkuliahan. Atau tidak bisa beropini secara lisan dan tulisan karena kurangnya minat terhadap kedua hal itu.
Maka untuk itu setiap mahasiswaa dituntut untuk memiliki pengetahuan intelektual dan wawasan yang luas melalui membaca buku dan tidak bermasalah dalam studinya di perkuliahan. Pun dengan menulis dan berbicara, kemampuan ini bisa diperoleh dengan aktif berdiskusi dan mencoba menulis semua yang kita ketahui. kedua hal ini merupakan hal dasar yang mutlak harus dimiliki mahasiswa jika ingin berperan mewujudkan tujuan reformasi ditengah krisis multidimensi sekarang ini selain tiga unsur utama diatas.
Selanjutnya, selain berkecimpung proaktif dalam pergerakan melalui “kemampuan genetis” mahasiswa saat ini seperti yang dikemukakan Covey diatas harus hidup berpusat pada prinsip (principle centered) kemudian ia menerjemahkan prinsip-prinsip itu kedalam seperangkat nilai-nilai (values) yang telah dipilihnya dengan sadar. Berdasarkan nilai-nilai itulah ia mengarahkan pilihan sikap dan perilakunya. Prinsip-prinsip itu harus hidup dalam diri seorang aktivis untuk bisa mencapai tujuan reformasi ditengah zaman globalisasi yang banyak menawarkan kesenangan dan keterlenaan.
Sebagai bangsa Indonesia secara umum, maka nilai yang bisa menjadi acuan pokok dalam bersikap adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai ideologi. Pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai yang diusung pancasila itu akan membuat keseimbangan dalam diri aktivis perjuangan. Pemahaman nilai spiritual yang dikandung oleh sila pertama, kemanusian oleh sila kedua, persatuan dan musyawarah di sila ketiga dan keempat, serta keadilan disila kelima jika dimiliki oleh mahasiswa akan memberikan pemahaman yang benar dan mendalam serta arah dalam pencapaian tujuan reformasi.
Akhirnya dalam menjalankan peranannya untuk menghapus krisis multidimensi dan mencapai tujuan reformasi mahasiswa harus mempunyai tiga konsep, yaitu : 1. Sikap Proaktif 2. “kemampuan genetis” berupa organisasi, korespondensi dan konsolidasi, Pers Mahasiswa, dan tulis, baca, dan bicara. 3. Pendalaman nilai pancasila untuk mencerminkan sikap sebagai bangsa Indonsia.
Paduan tiga hal itu akan membuat mahasiswa memiliki karakter kuat dan tujuan yang jelas untuk mewujudkan dan mempercepat apa yang dicita-citakan reformasi diawal kehadirannya.
Peran Konkrit: Sebuah Implementasi dan Kesimpulan
Konsep peranan yang dimiliki mahasiswa diatas jika tidak diterapkan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hanya akan menjadi sebuah omong kosong, maka untuk itu dalam hal ini penulis berdasarkan paparan dan konsep diatas, memberikan saran dan peranan yang harus dilakukan oleh mahasiswa untuk mempercepat mewujudkan tujuan reformasi adalah dengan:
1.      Ikut dan menjalankan organisasi yang berkecimpung dalam perjuangan untuk kemasyarakatan, baik itu untuk memajukan ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan lain-lain. Dibidang ekonomi seperti pengembangan mental dan jiwa berwirausaha, memberikan pemberantasan buta aksara dikalangan anak dan orang dewasa dibidang pendidikan, mengontrol dan mengawasi jalannya kebijakan pemerintah melalui “ektra parlementer” untuk memenuhi fungsi agen of social control, melakukan aktivitas seperti bakti sosial dan membersihkan lingkungan dibidang sosial dan lingkungan, dan lain-lain.
2.      Mahasiswa harus bersatu dalam satu visi bersama untuk membenahi krisis ini sebagai masalah bersama dan tidak terjebak dalam paham sempit golongan dan suku.
3.      Mendorong dan mempropagandakan persatuan bangsa, mengkritisi kebijakan pemerintah, dan menjalin komunikasi antar mahasiswa melalui pers mahasiswa ataupun media internet.
4.      Tidak menunggu isu publik dilempar ke permukaan tetapi melacak dan mencari tahu hal itu kesumber asal diketahui publik, baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif hal ini hanya bisa akan terwujud dengan;
5.      Menjalin korespondensi dan konsolidasi dengan  pihak pemerintah tetapi tidak berpihak sepenuhnya kepada mereka, melainkan menjadi pengontrol dan mengoreksi jika mereka berbuat kekeliruan.
6.      Pandai berdiplomasi dan melobi dalam artian bahwa perjuangan dan peranan mahasiswa saat ini tidak hanya di buktikan melalui demonstrasi tetapi harus dijalankan dengan cara-cara yang lebih halus tetapi memiliki dampak yang jauh lebih besar dan menunjukan karakter bangsa yang sopan dan beradab.
7.      Memiliki pengetahuan dan kemampuan intelektual yang baik dengan banyak membaca buku.
8.      Mengamalkan pancasila sebagai nilai dalam bertindak, hal ini penting sebagai wahana proteksi dari faham-faham garis keras dan sikap dalam berbangsa dan bernegara. Artinya dengan mengamalkan sila pertama seharusnya bisa menjadi lebih dilandasi nilai spiritual dalam mengemban perannya, lebih bertoleransi terhadap perbedaan dan kemanusiaan, menjunjung persatuan sebagai hal mutlak, dan tidak berbuat diskriminasi terhadap golongan tertentu.
Artinya, untuk mempercapat tujuan reformasi maka mutlak mahasiswa harus menjalankan peran-peran yang diperah melalui pendekatan historis diatas dan ketiga konsep yang mutlak ada untuk menjadi katalisator mencapai tujuan reformasi yaitu, Proaktif, “Kemampuan Genetis”, dan Nilai Pancasila. Paduan ketiganya akan menjadikan mahasiswa sebagai agen mempercepat tercapainya tujuan reformasi dengan berdasar kepada karakter dan nilai Pancasila. Jika usaha-usaha diatas terus dilakukan secara berkesinambungan maka dimasa depan kita akan sampai pada negara yang berdaulat dan berkarakter Pancasila.