Peran Mahasiswa
Sebagai Katalisator Mencapai Tujuan Reformasi di tengah Krisis Multidimensi
Nasional Sebuah Tinjauan Historis
Oleh: Taufik Rahman
Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga IAIN Antasari
Banjarmasin
Secara harfiah reformasi berarti sebuah
gerakan untuk memformasi ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang
menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuia dengan
nilai dan ide-ide yang dicita-citakan rakyat. Dalam konteks Indonesia,
reformasi ditandai dengan mengundurkannya presiden Soeharto dan hancurnya orde
baru di tahun 1998 oleh desakan dari mahasiswa dan rakyat Indonesia, dan terus
berlangsung hingga saat ini.
Oleh karena itu, reformasi baru akan
sampai pada tujuannya ketika praktek-praktek pemerintahan di zaman orde baru
yang korupsi, kolusi, dan nepotisme telah hilang dari Indonesia. Juga saat
semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum tidak ada lagi katabelece
dari pejabat terhadap para hakim di pengadilan untuk memenangkan suatu perkara
khusus atau hukum yang tajam kebawah dan tumpul keatas. Adanya perlindungan HAM
untuk setiap warga negara dari suku, agama dan ras apapun, SDA yang
diberdayakan dibidang ekonomi digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat,
dan lain-lain sesuai dengan apa yang di inginkan oleh rakyat Indonesia yang
telah dikejewantahkan oleh founding
father kedalam Pancasila.
Krisis
Multidimensi: Tantangan dan Ancaman.
Namun, dalam perkembangannya reformasi
seolah telah kehilangan ruh dan tujuannya. Reformasi yang digadang-gadang
sebagai tonggak awalnya pembaharuan yang bersih dengan berlandaskan demokrasi kini
terasa hambar dan menemui jalan buntu. Kenapa? Saat ini jika kita sadari 17
tahun setelah 1998, hampir sedikit sekali reformasi memberikan perbaikan
terhadap nasib bangsa. Reformasi yang di idam-idamkan sebagai wahana perbaikan
sistem terkesan mandul dan jalan ditempat.
Di bidang politik, jika dibandingkan
dengan masa orde baru maka korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi dimasa
reformasi masih tetap terjadi. Di kutip dari survey yang dilakukan oleh kantor berita DW pada tahun 2015
Indonesia menempati urutan 107 dari 175 negara dengan pemerintahan terbersih
didunia. Artinya, kita masih dijerat oleh perilaku Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Hal ini semakin ironis ketika beberapa pejabat semua lapisan
pemegang kekuasaan di Indonesia pernah melakukan korupsi, baik itu Eksekutif, Legislatif,
maupun Yudikatif.
Dibidang Ekonomi, dewasa ini pemerintah
baru Joko Widodo terkesan tidak mempedulikan imbas dari kebijakannya
menaik-turunkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), padahal dengan kebijakan
seperti itu rakyat golongan menengah ke bawah akan semakin menderita karena
harga barang pokok yang menjadi melonjak tajam walaupun harga minyak
diturunkan. Kebijakan-kebijakan jenis ini diakui atau tidak tentulah bukan
tujuan awal dari reformasi yang menginginkan perbaikan tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok
merupakan faktor atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi.
Setali tiga uang dengan kondisi politik
dan ekonomi saat ini, hukum pun masih terkesan tumpul keatas dan tajam kebawah.
Persamaan kedudukan setiap warga negara di hadapan hukum masih sulit
didapatkan. Terbukti lewat kasus nenek Minah yang dihukum 1 bulan 15 hari hanya
karena 3 buah Kakao, bandingkan dengan pejabat-pejabat yang korupsi ratusan
atau bahkan miliaran rupiah menurut data ICW (Indonesian Corruption Watch) 78,64 % mendapat hukuman kategori
ringan yaitu 1 sampai 4 tahun penjara dari pengadilan. Tidak hanya sampai
disitu, bahkan Akil Mochtar yang
merupakan hakim Mahkamah Konstitusi juga terlibat dalam kasus suat pada oktober
2013 lalu. Kejadian ini mengindikasikan adanya mafia peradilan yang
mengendalikan hukum demi kepentingan pribadi dan kelompok..
Kondisi yang demikian bobrok sudah
melenceng jauh dari apa yang dicita-citakan oleh reformasi. Kondisi krisis
multidimensi yang melanda negeri ini sejatinya masih mirip dengan apa yang
dipraktikan oleh rezim orde baru. Jika krisis ini terus dibiarkan maka
akumulasi dari semua masalah itu yang berpeluang menciptakan disentegrasi
nasional
Maka mengutip Eep Saefullah Fatah dalam
bukunya Catatan 1998-1999: Menuntaskan
Perubahan bahwa dengan mengingat semua itu diakui bahwa reformasi yang
bergulir selama 1998-1999 memang telah menghasilkan banyak suasana baru namun
belum ditandai oleh upaya seksama kearah penataan hubungan negara masyarakat
pasca orde baru. Autotarianisme yang berjalan terlampau lama –selama empat
dekade Soekrno-Soeharto –tampaknya menciptakan banyak kesulitan kearah itu.
Diarus atas, negosiasi elit banyak menghasilkan kompromi yang menimbulkan
banyak kecemasan. Diarus bawah, masyarakat kita masih terlelap dalam pola pikir
lama yang cenderung pasif dan tidak merasa perlu dalam urusan politik
pemerintahan.
Tetapi kondisi tersebut terkesan mendapat
pembiaran dari dari pihak yang bertanggung jawab, baik itu pemerintah, anggota
dewan, mahasiswa, dan masyarakat secara umum.
Disadari atau tidak, reformasi sedang
mengadapi masalah yang jauh lebih kompleks daripada sekedar penguasa otoriter.
Masalah yang kalau terus dibiarkan berlarut sedang dan akan menghancurkan satu
persatu sendi penopang bangsa.
Pemuda,
Mahasiswa dan Sejarah yang Selalu Berulang
Kenapa mahasiswa menjadi salah satu
pihak yang bertanggung jawab dalam proses pencapaian tujuan reformasi dan
penataan hubungan negara-masyarakat? Karena diawal terjadinya, reformasi di
gebrak oleh aksi dan gerakan dari mahasiswa yang mendesak turunnya presiden
Soeharto dari jabatannya. Lebih jauh pemuda telah memegang peranan penting
sepanjang zaman pergerakan nasional dari zaman kolonialisme hingga reformasi.
Oleh karena peran yang begitu urgen dalam sejarahnya, maka penting bagi kita
untuk sejenak menengok bagaimana peranan pemuda (baca: mahasiswa) dalam
memberikan sumbangsih dan kemajuan negeri ini untuk menentukan bagaimana sikap
dan peran mahasiswa untuk mempercepat tercapainya tujuan reformasi berdasarkan
nilai-nilai dan karakter bangsa indonesia sendiri.
Perjalanan
Panjang Peran Mahasiswa: Tinjauan Historis
Saat berbicara tentang peran mahasiswa
dalam ranah pergerakan maka kita harus melihatnya secara integral yaitu sejak
awal zaman pergerakan nasional, pendekatan yang bisa kita gunakan untuk
memahami dan menggali nilai didalamnya adalah pendekatan sejarah atau Historical Truth (kenyataan sejarah).
Faktanya, zaman pergerakan nasional
tidak dimotori oleh para ambtenar
ataupun kelompok etis kolonia Hindia Belanda. Tetapi oleh kaum pribumi itu
sendiri lebih tepatnya mahasiswa-mahasiswa yang bersekolah di sekolah
kedokteran jawa pribumi (STOVIA), para mahasiswanya saat itu dimotori oleh Dr.
Sutomo, Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji mendirikan sebuah organisasi
pribumi modern pertama di Hindia Belanda dengan nama Boedi Utomo pada tanggal
20 Mei 1908. Organisasi ini tidak bergerak dibidang politik, tetapi berjuang
untuk memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, dagang dan kebudayaan yang
dimiliki oleh pribumi. Selain itu Boedi Utomo juga menerbitkan buletin,
selebaran, dan surat kabar untuk menyebarkan pemikiran gerakan.
Pada tahun 1926 Soekarno mendirikan Algemene Studie Club (ASC), dia
berpendapat bahwa perjuangan tidak hanya bertumpu kepada organisasi tetapi
kepada kemampuan intelektual. Sejak saat itu Soekarno aktif menyuarakan
kritiknya terhadap pemerintah kolonial Belanda. Karena itu, Soekarno ditangkap
dengan tuduhan makar pada tahun 1929. Lalu pada tahun 1931 Soekarno
menyampaikan pidato berupa pledoi yang ditulisnya sendiri dihadapan Pengadilan
Kolonial Belanda dengan judul Indonesia Menggugat. Disini Soekarno menyampaikan
kritik tajamnya kepada Pemerintah Kolonial yang dianggapnya murtad dan tidak
beradab.
Selanjutnya perjuangan mahasiswa/pemuda
tidak pernah berhenti, pada tahun 1928 dikarenakan rasa kecewa terhadap kondisi
situasi politik tanah air yang memperlihatkan jalannya organisasi-organisasi
atas nama suku dan ideologi tunggal yang tidak bisa menyatu sebagai kekuatan
suatu bangsa, maka kelompok mahasiswa seperti Moh Hatta, Nazir Datoek
Pamuntjak, Sutan Sjahrir, Ali Sostroamidjojo menggagas pertemuan pemuda yang
tergabung dalam berbagai organisasi politik untuk mengatasi masalah itu.
Akkhirnya, pada tanggal 26-28 oktober terjadilah pertemuan nasional para pemuda
yang dimotori oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yaitu Kongres
Pemuda II di Jakarta. Kongres ini menghasilkan sebuah rumusan yang belakangan
disebut Sumpah Pemuda.
Pasca kemerdekaan mahasiswa tidak begitu
terlihat, walau demikian mahasiswa dan pemuda saat itu mempelopori terbitnya
beberapa surat kabar pembawa suara rakyat sebagai bagian dari kegiatan pers
mahasiswa. Para mahasiswa ini banyak membuat tulisan-tulisan tuntutan
kemerdekaan Indonesia yang disebarkan dibeberapa media.
Bahkan pada tahun 1955, untuk
menyalurkan pikiran dan aspirasi mahasiswa timbullah gagasan untuk mengembangkan
kegiatan pers mahasiswa dan terbukti di berbagai daerah bak cendawan dimusin
hujan muncullah banyak pers mahasiswa (Lihat : Dody Riyanto, Gerakan
Mahasiswa,2010).
Saat terjadi pemberontakan PKI pada
tahun 1965, Presiden Soekarno enggan membubarkan PKI karena menganggap bahwa
G30S/PKI, bukan kesalahan PKI sebagai institusi, tetapi ada beberapa pimpinan
PKI yang keblinger harus diganti.
Bahkan presiden Soekarno mengganti istilah Gestapu (G30S/PKI) menjadi Gestok
(Gerakan Satu Oktober) 1965. Tidak hanya itu, diakhir tahun pemerintah
menerapkan kebijakan senering
(pemotongan nilai uang) dan menaikan harga bahan pokok.
Kebijakan ekonomi dan tidak maunya
pemerintah membubarkan PKI mendapat reaksi keras dari Mahasiswa yang tergabung
di KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang merupakan gabungan dari HMI, PMII, GMKI, SOMAI, Mapancas, dan
IPMI. Dari KAMI inilah muncul istilah Angkatan 66.
Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa pun
mengangkat dua isu diatas yang dituangkan dalam Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).
Dalam perjuangannya di fase ini
mahasiswa selain melakukannya lewat aksi demonstrasi turun kejalan dan
diplomasi kepada pemerintah juga dengan melakukan propaganda pergerakan melalui
tulisan lewat pers mahasiswa untuk mengimbangi pemberitaan dari media umum yang
berpihak pada salah satu kekuatan politik tertentu. Media-media itu seperti Mahasiswa Indonesia,Mimbar Mahasiswa, Mingguan KAMI, dan lain-lain di daerah-daerah di
Indonesia.
Setalah berkuasanya Orde Baru, mahasiswa
direduksi peran politiknya. Pemerintah berusa mengeliminasi peranan mahasiswa
dalam urusan pemerintahan dengan mengeluarkan konsep back to campus.
Tetapi dengan konsep yang demikian,
mahasiswa tidak pernah membiarkan pemerintah berbuat semena-mena. Mahasiswa di
periode ini tetap memperlihatkan sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah
orde baru. Gerakan mahasiswa pada awal tahun 70-an ini muncul sebagai reaksi
terhadap beberapa kebijakan pemirintahan
Soeharto yang dianggap menyimpang dari idealisme yang ditegakkan Orde
Baru diwal 1966. Sepak terjang mahasiswa tempo ini terbukti dengan adanya Gema
77/78 yaitu sebuah gerakan mahasiswa yang menyatakan perlawanan terhadap rezim
Soeharto dan melahirkan Ikrar Mahasiwa pada perayaan Sumpah Pemuda1977 di
Bandung. Perjuangan dizaman ini salah satunya dengan “gerakan
ekstraparlementer” yaitu gerakan yang dapat didefinisikan sebagai tindakan
politik yang dilakukan secara sistematis, melalui cara-cara diluar proses
politik pada lembaga politik formal misalnya parlemen. Tindakan yang terwujud
dalam gerakan seperti aksi massa, pemogokan, pelbagai kajian, diskusi, seminar,
baik di dalam maupun luar kampus yang bertujuan untuk melakukan perubahan
kekuasaan atau menuntut perubahan kebijakan publik.
Selanjutnya, peranan mahasiswa sangat
dibatasi dan dikekang pada tahun 1980-1990 an. Didalam buku Gerakan Mahasiswa Dody Rudianto
menggambarkan kondisi ketika itu:
Pada awal 1980, merupakan saat paling sulit bagi
mahasiswa. Bagaikan suasana berkabung, kampus-kampus di seluruh Indonesia
menjadi vakum total, sepi dari kegiatan ekstra kurikuler. Iklim perpolitikan
nasional menunjukan menguatnya rezim orde baru, dan makin melemahnya peran
penantangnya.
Ditengah kungkungan itu, muncul
pergerakan pasif dari beberapa kalangan mahasiswa untuk mencari solusi alternatif
baru sebagai perjuangan mahasiswa dalam tataran ideologis. Imbasnya adalah
mahasiswa “keranjingan” membaca buku-buku dari berbagai faham dan ideologis.
Aktivitas mahasiswa dan peranannya dalam bernegara saat itu terfokus pada
diskusi, penerbitan pers mahasiswa dan kontemplasi (perenungan). Hal ini
menjadi penting karena hanya dengan merenung dan mengintrospeksi kembali peran
mahasiswa dimasa lalu, maka dengan mencari benang merah dan cetak birunya
mahasiswa pada masa itu bisa menentukan sikap terhadap kondisi yang tidak
memungkinkan untuk berjuang secara nyata.
Akhirnya, krisis ekonomi nasional dan
adanya penyimpangan amanah serta praktek KKN yang semakin menjadi-jadi, membuat
sebuah gelombang demostrasi mahasiswa yang sangat besar terjadi, kegiatan di
detik-detik yang menentukan itu dilakukan dengan berdemonstrasi dan menduduki
gedung DPR-RI dan mendesak Pimpinan MPR ketika itu, Harmoko agar meminta
Presiden mundur dari jabatannya. perjuangan panjang mahasiswa itu berhasil
membuat presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 menyatakan mundur dari
jabatannya sebagai presiden.
Merunut benang merah yang terus
tersambung dari awal reformasi kembali ke masa pergerakan nasional, dalam
konteks perjuangan dan peranan mahasiswa dengan pendekatan sejarah penulis
berkesimpulan ada empat unsur yang mewarnai dan harus selalu ada dalam setiap
zaman pergerakan mahasiswa guna menunjang kemampuan peran, yaitu:
pertama, Organisasi, tanpa adanya organisasi
yang mewadahi kegiatan, mahasiswa tidak akan bisa bergerak secara terstruktur,
sistematis, masif. Organisasi merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama
dalam memberikan peranan dan kontribusi kepada negeri.
Kedua, Korespondensi dan Konsolidasi
antar organisasi. Hal ini menjadi penting dalam menekan pemerintah ataupun
korporasi yang tidak berpihak kepada rakyat.
Ketiga, Media. Dalam melakukan praktik
perjuangan dan peranan kepada masyarakat mahasiswa harus mempunyai alat
penyampai maksud salah satunya adalah dengan berkecimpung dalam Pers Mahasiswa.
Keempat, kemampuan membaca, menulis,
berbicara. Ketiga unsur ini selalu mewarnai perjuangan mahasiswa dari awal
hingga hari ini.
Katalis
: Menghapus Krisis Multidimensi dan Mencapai Tujuan Reformasi
Tujuan adanya reformasi dapat dituliskan
sebagai berikut:
Pertama, melakukan perubahan secara
serius dan bertahap untuk menemukan nilai-nilai baru dalam kehidupan
berbangsaan bernegara.
Kedua, menata kembali seluruh struktur
kenegaraan, termasuk perundangan dan konstitusi yang menyimpang dari arah
perjuangan dan cita-cita seluruh masyarakat bangsa
Ketiga, melakukan perbaikan di segenap
bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan
keamanan.
Keempat, menghapus dan menghilangkan
cara-cara hidup dan kebiasaan dalam masyarakat bangsa yang tidak sesuai lagi
dengan tuntutan reformasi, seperti KKN, kekuasaan sewenang-wenang/otoriter,
penyimpangan dan penyelewengan yang lain dan sebagainya.
Sebagaimana perannya sepanjang
perjalanan bangsa, maka di era reformasi ini mahasiswa juga harus berusaha
mewujudkan tujuan awal dari gerakan reformasi. Bagaimana caranya? Sebenarnya
tidak ada konsep baku dalam perjuangan dan peranan mahasiswa guna membangun
bangsa, artinya setiap masa yang dilalui mahasiswa itu menentukan jenis dan
cara menurut masalah-masalah yang terjadi. Dalam tataran ini mahasiswa harus
bersifat reaktif terhadap segala masalah.
Namun, untuk era reformasi sekarang ini
mahasiswa tidak boleh hanya reaktif dan menunggu masalah muncul kepermukaan
lalu dikritisi atau ditekan. Tetapi mahasiswa harus bersifat proaktif. Proaktif
adalah orang yang relatif tidak terpengaruh oleh kekuatan situasi di
sekitarnya, bahkan orang tersebut mampu mempengaruhi timbulnya perubahan dalam
lingkungannya. Orang dengan proaktivitas tinggi mampu mengidentifikasi
kesempatan dan mengambil tindakan yang tepat untuk memanfaatkan kesempatan
tersebut, menampakkan inisiatif dan mempertahankannya sampai perubahan yang
bermakna terjadi. Sikap inilah yang harus dimiliki mahasiswa di era reformasi
ini. Kenapa? Karena kondisi di era reformasi cenderung dinamis dan tidak bisa
diprediksi perjalanannya. Kalau mahasiswa hanya bersifat reaktif (memberikan
respon terhadap peristiwa), maka dikhawatirkan mahasiswa akan mudah terbawa
arus.
Lebih jauh Stephen R. Covey dalam
bukunya The Habits of Hoghly Effective
People meringkas ciri-ciri individu proaktif menjadi lima, yaitu:
1. Orang proaktif selalu bertanggung
jawab. Mereka tidak menyalahkan keadaan, kondisi, atau pengkondisian untuk
perilaku mereka. Perilaku adalah produk dari pilihan sadar, berdasarkan nilai,
dan bukan produk dari suasana hati, kondisi, atau tekanan sosial yang diterima.
2. Orang proaktif menfokuskan upaya
mereka pada lingkaran pengaruh (mencakup segala hal yang dapat dipengaruhi).
Mereka mengerjakan hal-hal yang terhadapnya mereka dapat perbuat sesuatu. Sifat
dari energi mereka adalah positif, memperluas dan memperbesar, yang menyebabkan
lingkaran pengaruh mereka meningkat.
3. Berfokus pada lingkaran pengaruh,
orang proaktif bekerja dari dalam ke luar (in side – out), yaitu berusaha
memulai perubahan dengan mengubah dirinya lebih dahulu, bahkan dari yang paling
dalam dari dirinya, yaitu dengan memeriksa kebenaran paradigma dan
persepsi-persepsinya.
4. Orang proaktif hidup berpusat pada
prinsip (principle centered) kemudian
ia menerjemahkan prinsip-prinsip itu kedalam seperangkat nilai-nilai (values) yang telah dipilihnya dengan
sadar. Berdasarkan nilai-nilai itulah ia mengarahkan pilihan sikap dan
perilakunya.
5. Orang proaktif mengembangkan dan
menggunakan kesadaran diri, hati nurani, imajinasi kreatif dan kebebasan
kehendak secara optimal.
Dengan memiliki sikap proaktif dengan
kelima unsurnya mahasiswa akan bisa lebih memberikan peranan dalam menghapus
krisis multidimensi dan mewujudkan tujuan reformasi.
Selain bersikap proaktif, mahasiswa
harus memiliki “kemampuan genetis” para aktivis pergerakan, yaitu : pertama
organisasi, kedua kemampuan korespondensi dan konsolidasi, ketiga memiliki
media propaganda, dan yang terakhir kemampuan membaca, menulis, dan berbicara.
Menilik masalah di era reformasi
merupakan krisis multidimensi maka “kemampuan genetis” yang dimiliki mahasiswa
saat ini bukan hanya terbatas dibidang politik dan kritik terhadap pemerintahan
tetapi lebih dalam ia harus bersinggungan langsung kepada kepentingan rakyat
secara umum meliputi bidang ekonomi, sosial, hukum, lingkungan, budaya, dan
moral.
Maka dalam tataran ini mahasiswa harus
bisa mengarahkan organisasi-organisasi yang di ikutinya berkontribusi
aktif dibidang tersebut (ekonomi,
sosial, hukum, lingkungan, budaya, dan moral.) secara spesifik.
Organisasi, untuk berperan aktif dalam
mencapai tujuan reformasi mahasiswa harus berkecimpung aktif di organisasi
bidang ekonomi, sosial,hukum, lingkungan, budaya, dan moral untuk memberikan
kemajuan dibidang tersebut atau mendirikan organisasi untuk bid ang-bidang tersebut.
Korespondensi dan konsolidasi penting
untuk membuat sebuah gerakan yang lebih besar, menghimpun orang-orang yang sama
bidang fokusnya untuk berkumpul, lalu mencoba mencapai kepentingan bersama yang jauh lebih besar.
Media digunakan sebagai sarana untuk
memberitahukan, mempromosikan, dan mempropagandakan pergerakan yang kita
lakukan. Baik itu untuk aksi demonstrasi, bakti sosial masyarakat, penyuluhan
hukum dan moral, dan lain-lain.
Kemudian kemampuan personal, yaitu
membaca, menulis, dan berbicara. Akan sangat mustahil 3 unsur “kemampuan
genetis” diatas berperan dan berfungsi secara optimal untuk mewujudkan tujuan
reformasi jika mahasiswa-mahasiswanya tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan
intelektual yang mempuni karena kurangnya membaca buku dan tidak beres dan
dunia perkuliahan. Atau tidak bisa beropini secara lisan dan tulisan karena
kurangnya minat terhadap kedua hal itu.
Maka untuk itu setiap mahasiswaa
dituntut untuk memiliki pengetahuan intelektual dan wawasan yang luas melalui
membaca buku dan tidak bermasalah dalam studinya di perkuliahan. Pun dengan
menulis dan berbicara, kemampuan ini bisa diperoleh dengan aktif berdiskusi dan
mencoba menulis semua yang kita ketahui. kedua hal ini merupakan hal dasar yang
mutlak harus dimiliki mahasiswa jika ingin berperan mewujudkan tujuan reformasi
ditengah krisis multidimensi sekarang ini selain tiga unsur utama diatas.
Selanjutnya, selain berkecimpung
proaktif dalam pergerakan melalui “kemampuan genetis” mahasiswa saat ini
seperti yang dikemukakan Covey diatas harus hidup berpusat pada prinsip (principle centered) kemudian ia
menerjemahkan prinsip-prinsip itu kedalam seperangkat nilai-nilai (values) yang telah dipilihnya dengan
sadar. Berdasarkan nilai-nilai itulah ia mengarahkan pilihan sikap dan
perilakunya. Prinsip-prinsip itu harus hidup dalam diri seorang aktivis untuk
bisa mencapai tujuan reformasi ditengah zaman globalisasi yang banyak
menawarkan kesenangan dan keterlenaan.
Sebagai bangsa Indonesia secara umum,
maka nilai yang bisa menjadi acuan pokok dalam bersikap adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila sebagai ideologi. Pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai
yang diusung pancasila itu akan membuat keseimbangan dalam diri aktivis
perjuangan. Pemahaman nilai spiritual yang dikandung oleh sila pertama,
kemanusian oleh sila kedua, persatuan dan musyawarah di sila ketiga dan
keempat, serta keadilan disila kelima jika dimiliki oleh mahasiswa akan
memberikan pemahaman yang benar dan mendalam serta arah dalam pencapaian tujuan
reformasi.
Akhirnya dalam menjalankan peranannya
untuk menghapus krisis multidimensi dan mencapai tujuan reformasi mahasiswa
harus mempunyai tiga konsep, yaitu : 1. Sikap Proaktif 2. “kemampuan genetis”
berupa organisasi, korespondensi dan konsolidasi, Pers Mahasiswa, dan tulis,
baca, dan bicara. 3. Pendalaman nilai pancasila untuk mencerminkan sikap
sebagai bangsa Indonsia.
Paduan tiga hal itu akan membuat
mahasiswa memiliki karakter kuat dan tujuan yang jelas untuk mewujudkan dan
mempercepat apa yang dicita-citakan reformasi diawal kehadirannya.
Peran
Konkrit: Sebuah Implementasi dan Kesimpulan
Konsep peranan yang dimiliki mahasiswa diatas
jika tidak diterapkan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
hanya akan menjadi sebuah omong kosong, maka untuk itu dalam hal ini penulis
berdasarkan paparan dan konsep diatas, memberikan saran dan peranan yang harus
dilakukan oleh mahasiswa untuk mempercepat mewujudkan tujuan reformasi adalah
dengan:
1.
Ikut dan menjalankan
organisasi yang berkecimpung dalam perjuangan untuk kemasyarakatan, baik itu
untuk memajukan ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan lain-lain. Dibidang
ekonomi seperti pengembangan mental dan jiwa berwirausaha, memberikan
pemberantasan buta aksara dikalangan anak dan orang dewasa dibidang pendidikan,
mengontrol dan mengawasi jalannya kebijakan pemerintah melalui “ektra
parlementer” untuk memenuhi fungsi agen
of social control, melakukan aktivitas seperti bakti sosial dan
membersihkan lingkungan dibidang sosial dan lingkungan, dan lain-lain.
2.
Mahasiswa harus
bersatu dalam satu visi bersama untuk membenahi krisis ini sebagai masalah
bersama dan tidak terjebak dalam paham sempit golongan dan suku.
3.
Mendorong dan
mempropagandakan persatuan bangsa, mengkritisi kebijakan pemerintah, dan
menjalin komunikasi antar mahasiswa melalui pers mahasiswa ataupun media
internet.
4.
Tidak menunggu
isu publik dilempar ke permukaan tetapi melacak dan mencari tahu hal itu
kesumber asal diketahui publik, baik itu legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif hal ini hanya bisa akan terwujud dengan;
5.
Menjalin
korespondensi dan konsolidasi dengan
pihak pemerintah tetapi tidak berpihak sepenuhnya kepada mereka,
melainkan menjadi pengontrol dan mengoreksi jika mereka berbuat kekeliruan.
6.
Pandai
berdiplomasi dan melobi dalam artian bahwa perjuangan dan peranan mahasiswa
saat ini tidak hanya di buktikan melalui demonstrasi tetapi harus dijalankan
dengan cara-cara yang lebih halus tetapi memiliki dampak yang jauh lebih besar
dan menunjukan karakter bangsa yang sopan dan beradab.
7.
Memiliki
pengetahuan dan kemampuan intelektual yang baik dengan banyak membaca buku.
8.
Mengamalkan
pancasila sebagai nilai dalam bertindak, hal ini penting sebagai wahana
proteksi dari faham-faham garis keras dan sikap dalam berbangsa dan bernegara.
Artinya dengan mengamalkan sila pertama seharusnya bisa menjadi lebih dilandasi
nilai spiritual dalam mengemban perannya, lebih bertoleransi terhadap perbedaan
dan kemanusiaan, menjunjung persatuan sebagai hal mutlak, dan tidak berbuat
diskriminasi terhadap golongan tertentu.
Artinya, untuk mempercapat tujuan
reformasi maka mutlak mahasiswa harus menjalankan peran-peran yang diperah
melalui pendekatan historis diatas dan ketiga konsep yang mutlak ada untuk
menjadi katalisator mencapai tujuan reformasi yaitu, Proaktif, “Kemampuan
Genetis”, dan Nilai Pancasila. Paduan ketiganya akan menjadikan mahasiswa
sebagai agen mempercepat tercapainya tujuan reformasi dengan berdasar kepada
karakter dan nilai Pancasila. Jika usaha-usaha diatas terus dilakukan secara
berkesinambungan maka dimasa depan kita akan sampai pada negara yang berdaulat
dan berkarakter Pancasila.