Rabu, 23 Juli 2014

Blusukan :Metode Lama, Solusi Masa Depan



Blusukan :Metode Lama, Solusi Masa Depan
           

Oleh :
Taufik Rahman
Belawang, 22 Juli 2014
Terinspirasi dari cara yang di lakukan oleh tokoh fenomenal Joko Widodo dalam menjalankan roda pemerintahan, sebetulnya ada hal yang sangat menarik untuk kita amati dan pelajari dari gaya kepemimpinannya, dia mencoba memberikan perspektif berbeda terhadap rakyat tentang para aparatur negara yang selama ini dikenal arogan, dan terkesan buta, tuli, dan bisu dalam menghadapi persoalan kerakyatan bahkan jumud dan stagnan dewasa ini. Perspektif yang coba diberikan oleh Jokowi dalam memerintah di lakukan dengan cara yang sederhana, yaitu blusukan. Dalam setiap kali blusukan yang dilakukannya Jokowi memberikan kesan bahwa sebetulnya tidak ada gap antara rakyat dan pemimpinnya, yang ada hanyalah mau atau tidaknya seorang pemimpin itu melihat langsung kondisi real di bawah, bukan hanya menggunakan teori “katanya”.
            Fenomena blusukan ini sebetulnya bukanlah suatu hal baru ataupun aneh, tapi ini merupakan cara lama yang dalam blue print terbukti ampuh mengatasi berbagai macam persoalan yang menghambat berjalannya sistem secara efektif hingga ke bawah.
            Kata “keblusuk” berasal dari bahasa Jawa berarti “tersesat”. Sedangkan “blusukan” berarti “sengaja mencari tempat asing untuk mengetahui sesuatu”. Pemimpin tren “blusukan” dilakukan guna mengontrol kinerja bawahan sekaligus menampung aspirasi rakyat secara langsung.
Di dunia internasional, dua tahun lalu, CEO Randall House, Ron Hunter, dalam presidential letter-nya  mengutip anjuran Tom Peter yang bukunya menjadi New York Times Best Seller, In Search of Excellence. Di situ Tom Peter memperkenalkan istilah MWBA: management by walking around yang kalau di Indonesia kan ialah Blusukan.
Greg Gostanian, seorang pengelola-mitra pada ClearRock mengatakan, "MBWA adalah manajemen yang sejati." Namun, ia buru-buru menegaskan, untuk mendapatkan manfaat darinya, para manajer harus dilatih bagaimana mempraktikannya dengan benar. Kuncinya terletak pada kesiapan para pimpinan perusahaan untuk mendengarkan umpan balik dan pendapat dari karyawan. (Rhenaild Kasali Blog)
Jika kita membuka lagi buku dan catatan sejarah maka blusukan sebetulnya sudah dilakukan oleh para pemimpin di masa lalu, sebuh saja Hayam Wuruk dimasa memerintah Majapahit yang rela mengorbankan waktu dan tenaganya hanya untuk berkunjung ke daerah-daerah kekuasaannya untuk memantau langsung kondisi dan keadaandiwilayah kekuasaannya serta memastikan para bawahannya yang memimpin daerah tetap setiap untuk Majapahit.
Dulu, pada eranya, Pak Harto juga sesekali melakukan blusukan. Karena hanya ada TVRI, maka “turba” (istilahnya waktu itu "turun ke bawah") tidak banyak diikuti wartawan.Dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (Gramedia, Pustaka Utama, 2011) misalnya, bisa dibaca kisah blusukan-nya mengatasi penyakit kelaparan (HO) di Gunung Kidul (1972).           
Pada masa itu, pejabat-pejabat tinggi terbiasa membuat laporan ABS (asal bapak senang). "Tak ada HO, yang ada hanya KKM, kemungkinan kurang makan," begitulah laporanpejabat.
Selain itu, seorang Presiden Soeharto pada masa kepemimpinannya juga sering mengunjungi masyarakatnya dan menggagas sebuah acara bernama kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) yang bertujuan menampilkan para petani dan nelayan yang berprestasi untuk dapat berbagi ilmunya, sekaligus mengukur ilmu yang telah dimilikinya. (Rhenaild Kasali Blog)
Juga dengan apa yang di lakukan oleh Gus Dur ketika menjabat menjadi presiden di periode (1999-2001), hanya dengan 20 bulan masa jabatannya beliau telah dianggap sebagai  presiden yang senang “pleserin” karena 80 kali melakukan kunjungan ke luar negeri.
Namun, rasanya tidaklah pantas menyebut apa yang beliau lakukan adalah pleseran dan dalam hal ini saya lebih senang menyebutnya dengan istilah blusukan. Kenapa blusukan ?. Pasalnya ketika itu Indonesia baru saja menjadi negara demokrasi, karena itulah Indonesia rawan mendapat ancaman disentegrasi, baik itu pemberontakan, separatisme, dan perpecahan. Apalagi Timor Leste baru saja memerdekan diri dari NKRI, terlebih juga ancaman dari gerakan separatisme GAM, RMS, dan RPM yang mencoba melepaskan Aceh, Maluku, dan Papua dari Indonesia.
Dengan didasari adanya keinginan untuk mempertahankan stabilitas dan keamanan nasional, maka saat itu Gus Dur melakukan kunjungan keluar negeri dalam rangka melobi dan mengajak para pemimpin negara yang di kunjunginya agar tidak mendukung dan memberikan bantuan terhadap gerakan separatis yang ada di Indonesia.
Jadi, berkat metode yang kita sebut dengan blusukan tadi sebetulnya sudah ada cetak biru yang membuktikan dan di buktikan oleh para pemimpin masa lalu bahwa dengan turun langsung ke lapangan (walking around button) akan mampu memahami persoalan sebenarnya yang terjadi pada rakyat jelata dan tentu saja dengan hal itu pemerintah akan membuat kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kepentingan sesungguhnya dari rakyat.
Karena, jika tidak blusukan dan mengandalkan laporan dari staf semata saja serta hanya menggunakan teori “katanya”, pemimpin akan keliru dalam mengambil keputusan dan kebijakan serta hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Lantaran keputusan dan kebijakan yang di ambil dari metode blusukan terkadang kurang mempertimbang aspek laporan staf, belakangan di kalangan elit politik dan pemerintahan negara ini blusukan dianggap sebagai pencitraan diri semata dan di kritik oleh beberapa pihak yang tidak senang dengan metode model blusukan ini.
Setelah kita melihat aspek menjanjikan dari metode blusukan ini, maka seharusnya para pemimpin tidak hanya melakukannya saat musim kampanye. Dan apabila sudah menjabat menjadi pemimpin sebaiknya harus sering-sering mengontrol keadaan pegawai dan mengunjungi rakyat bawah (Buttom line).
Tapi, itu untuk kawasan seorang pemimpin di daerah. Bagaimana untuk RI-1 ?.
Indonesia, dengan terdiri dari 13.000 pulau, 33 Provinsi, ribuan kota, dan ratusan ribu desa, rasanya tidak akan  relevan dan efektif jika dalam masa jabatan lima tahun hanya sibuk blusukan, sedangkan sebagai seorang kepala negara dan kepala pemerintahan, persiden Indonesia kedepannya dituntut untuk menyelesaikan problema baik itu sosial, politik, hukum, HAM, pendidikan, kesehatan, kependudukan, hingga hubungan luar negeri baik itu menyangkut kerja sama bilateral, multilateral, trakat sampai ASEAN-China Free Trade 2015 nantinya.
Maka dari itu, sedianya siapapun RI-1 kedepannya di harapkan dalam hal ini untuk bisa membentuk sebuah kabinet yang solid, kabinet yang mau turun ke bawah,kabinet yang mau bekerja keras, kabinet yang memiliki kemampuan manajerial dalam hal ini management by walking around bisa menjadi salah satu opsi pertimbangan dalam menjalankan roda kebijakan nasional, sehingga masa jabatan lima tahun bisa di maksimal kan untuk memenuhi segala masalah dengan berbagai solusi.
Untuk menjalankan tugas berat tersebut, rasanya blusukan bukanlah sebuah jawaban penyelesaian, tetapi blusukan hanyalah cara yang di tempuh agar pemimpin mampu melihat keadaan yang sesungguhnya di masyarakat, melihat apakah kebijakan yang dibuat telah sampai hingga titik paling bawah dan menyeluruh.
Untuk itu semua, presiden harus membuat perencanaan program pembangunan negra, sebaiknya presiden harus melaksanakan evaluasi setiap tahun dalam mengwasi program kerja yang di rencanakan dan dibuat serta di jalankan.
Solusi terbaiknya adalah dengan melakukan sentesis terhadap blusukan, sistem birokrasi, dan kemapuan manajerial dan kepemimpinan dari presiden tersebut sehingga cita-cita dan tujuan negara yang tertuang di  prembule UUD 1945berupa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dapat diwujudkan.
Presiden juga harus memahami sistem birokrasi dan dengan ketegasannya mampu memerintahkan seluruh aparatur negara untuk dapat melakukan blusukan bersama guna dapat mengetahui permasalahan dan kebutuhan sesungguhnya dari rakyat, sekaligus memastikan program yang di usung telah menyentuh berbagai kalangan, atau minimal setiap aparatur negera bisa memantau dan mengawasi kebijakan yang di keluarkan tidak macet di tengah jalan.
Sehingga dengan begitu blusukan tak hanya dikatakan sebagai pencitraan dan hipokrisi semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar