Blusukan :Metode Lama, Solusi Masa Depan
Oleh :
Taufik Rahman
Belawang, 22 Juli
2014
Terinspirasi dari
cara yang di lakukan oleh tokoh fenomenal Joko Widodo dalam menjalankan roda
pemerintahan, sebetulnya ada hal yang sangat menarik untuk kita amati dan
pelajari dari gaya kepemimpinannya, dia mencoba memberikan perspektif berbeda
terhadap rakyat tentang para aparatur negara yang selama ini dikenal arogan,
dan terkesan buta, tuli, dan bisu dalam menghadapi persoalan kerakyatan bahkan
jumud dan stagnan dewasa ini. Perspektif yang coba diberikan oleh Jokowi dalam
memerintah di lakukan dengan cara yang sederhana, yaitu blusukan. Dalam setiap kali blusukan
yang dilakukannya Jokowi memberikan kesan bahwa sebetulnya tidak ada gap antara rakyat dan pemimpinnya, yang
ada hanyalah mau atau tidaknya seorang pemimpin itu melihat langsung kondisi real di bawah, bukan hanya menggunakan
teori “katanya”.
Fenomena blusukan ini sebetulnya bukanlah suatu hal baru ataupun aneh, tapi
ini merupakan cara lama yang dalam blue
print terbukti ampuh mengatasi berbagai macam persoalan yang menghambat
berjalannya sistem secara efektif hingga ke bawah.
Kata
“keblusuk” berasal dari bahasa Jawa berarti “tersesat”. Sedangkan “blusukan”
berarti “sengaja mencari tempat asing untuk mengetahui sesuatu”. Pemimpin tren
“blusukan” dilakukan guna mengontrol kinerja bawahan sekaligus menampung
aspirasi rakyat secara langsung.
Di dunia internasional, dua tahun lalu, CEO
Randall House, Ron Hunter, dalam presidential letter-nya
mengutip anjuran Tom Peter yang bukunya menjadi New York Times Best Seller, In
Search of Excellence. Di situ Tom Peter memperkenalkan istilah MWBA: management
by walking around yang kalau di Indonesia kan ialah Blusukan.
Greg Gostanian, seorang pengelola-mitra pada
ClearRock mengatakan, "MBWA adalah manajemen yang sejati." Namun, ia
buru-buru menegaskan, untuk mendapatkan manfaat darinya, para manajer harus
dilatih bagaimana mempraktikannya dengan benar. Kuncinya terletak pada kesiapan
para pimpinan perusahaan untuk mendengarkan umpan balik dan pendapat dari
karyawan. (Rhenaild Kasali Blog)
Jika kita membuka
lagi buku dan catatan sejarah maka blusukan
sebetulnya sudah dilakukan oleh para pemimpin di masa lalu, sebuh saja
Hayam Wuruk dimasa memerintah Majapahit yang rela mengorbankan waktu dan
tenaganya hanya untuk berkunjung ke daerah-daerah kekuasaannya untuk memantau
langsung kondisi dan keadaandiwilayah kekuasaannya serta memastikan para
bawahannya yang memimpin daerah tetap setiap untuk Majapahit.
Dulu, pada eranya, Pak Harto juga sesekali
melakukan blusukan. Karena hanya ada TVRI, maka “turba” (istilahnya
waktu itu "turun ke bawah") tidak banyak diikuti wartawan.Dalam buku
Pak Harto: The Untold Stories (Gramedia, Pustaka Utama, 2011) misalnya, bisa dibaca kisah blusukan-nya
mengatasi penyakit kelaparan (HO) di Gunung Kidul (1972).
Pada masa itu, pejabat-pejabat tinggi
terbiasa membuat laporan ABS (asal bapak senang). "Tak ada HO, yang ada hanya KKM, kemungkinan kurang
makan," begitulah laporanpejabat.
Selain itu, seorang Presiden Soeharto pada masa
kepemimpinannya juga sering mengunjungi masyarakatnya dan menggagas sebuah
acara bernama kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) yang
bertujuan menampilkan para petani dan nelayan yang berprestasi untuk dapat
berbagi ilmunya, sekaligus mengukur ilmu yang telah dimilikinya. (Rhenaild Kasali
Blog)
Juga dengan apa yang
di lakukan oleh Gus Dur ketika menjabat menjadi presiden di periode
(1999-2001), hanya dengan 20 bulan masa jabatannya beliau telah dianggap sebagai
presiden yang senang “pleserin” karena
80 kali melakukan kunjungan ke luar negeri.
Namun, rasanya
tidaklah pantas menyebut apa yang beliau lakukan adalah pleseran dan dalam hal
ini saya lebih senang menyebutnya dengan istilah blusukan. Kenapa blusukan ?.
Pasalnya ketika itu Indonesia baru saja menjadi negara demokrasi, karena itulah
Indonesia rawan mendapat ancaman disentegrasi, baik itu pemberontakan,
separatisme, dan perpecahan. Apalagi Timor Leste baru saja memerdekan diri dari
NKRI, terlebih juga ancaman dari gerakan separatisme GAM, RMS, dan RPM yang
mencoba melepaskan Aceh, Maluku, dan Papua dari Indonesia.
Dengan
didasari adanya keinginan untuk mempertahankan stabilitas dan keamanan
nasional, maka saat itu Gus Dur melakukan kunjungan keluar negeri dalam rangka
melobi dan mengajak para pemimpin negara yang di kunjunginya agar tidak
mendukung dan memberikan bantuan terhadap gerakan separatis yang ada di
Indonesia.
Jadi, berkat metode yang kita sebut dengan blusukan tadi
sebetulnya sudah ada cetak biru yang membuktikan dan di buktikan oleh para
pemimpin masa lalu bahwa dengan turun langsung ke lapangan (walking around
button) akan mampu memahami persoalan sebenarnya yang terjadi pada rakyat
jelata dan tentu saja dengan hal itu pemerintah akan membuat
kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kepentingan sesungguhnya dari rakyat.
Karena, jika tidak blusukan dan mengandalkan laporan dari staf
semata saja serta hanya menggunakan teori “katanya”, pemimpin akan keliru dalam
mengambil keputusan dan kebijakan serta hanya menguntungkan pihak-pihak
tertentu saja.
Lantaran keputusan dan kebijakan yang di ambil dari metode blusukan
terkadang kurang mempertimbang aspek laporan staf, belakangan di kalangan elit
politik dan pemerintahan negara ini blusukan dianggap sebagai pencitraan
diri semata dan di kritik oleh beberapa pihak yang tidak senang dengan metode
model blusukan ini.
Setelah kita melihat aspek menjanjikan dari metode blusukan ini,
maka seharusnya para pemimpin tidak hanya melakukannya saat musim kampanye. Dan
apabila sudah menjabat menjadi pemimpin sebaiknya harus sering-sering
mengontrol keadaan pegawai dan mengunjungi rakyat bawah (Buttom line).
Tapi, itu untuk kawasan seorang pemimpin di daerah. Bagaimana untuk
RI-1 ?.
Indonesia, dengan terdiri dari 13.000 pulau, 33 Provinsi, ribuan kota,
dan ratusan ribu desa, rasanya tidak akan
relevan dan efektif jika dalam masa jabatan lima tahun hanya sibuk
blusukan, sedangkan sebagai seorang kepala negara dan kepala pemerintahan,
persiden Indonesia kedepannya dituntut untuk menyelesaikan problema baik itu
sosial, politik, hukum, HAM, pendidikan, kesehatan, kependudukan, hingga
hubungan luar negeri baik itu menyangkut kerja sama bilateral, multilateral,
trakat sampai ASEAN-China Free Trade 2015 nantinya.
Maka dari itu, sedianya siapapun RI-1 kedepannya di harapkan dalam hal
ini untuk bisa membentuk sebuah kabinet yang solid, kabinet yang mau turun ke
bawah,kabinet yang mau bekerja keras, kabinet yang memiliki kemampuan
manajerial dalam hal ini management by walking around bisa menjadi salah
satu opsi pertimbangan dalam menjalankan roda kebijakan nasional, sehingga masa
jabatan lima tahun bisa di maksimal kan untuk memenuhi segala masalah dengan
berbagai solusi.
Untuk menjalankan tugas berat tersebut, rasanya blusukan bukanlah sebuah jawaban
penyelesaian, tetapi blusukan hanyalah
cara yang di tempuh agar pemimpin mampu melihat keadaan yang sesungguhnya di
masyarakat, melihat apakah kebijakan yang dibuat telah sampai hingga titik
paling bawah dan menyeluruh.
Untuk itu semua, presiden harus membuat perencanaan
program pembangunan negra, sebaiknya presiden harus melaksanakan evaluasi
setiap tahun dalam mengwasi program kerja yang di rencanakan dan dibuat serta
di jalankan.
Solusi terbaiknya adalah dengan melakukan sentesis
terhadap blusukan, sistem birokrasi,
dan kemapuan manajerial dan kepemimpinan dari presiden tersebut sehingga
cita-cita dan tujuan negara yang tertuang di prembule UUD 1945berupa
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial dapat diwujudkan.
Presiden juga harus memahami sistem birokrasi dan
dengan ketegasannya mampu memerintahkan seluruh aparatur negara untuk dapat
melakukan blusukan bersama guna dapat
mengetahui permasalahan dan kebutuhan sesungguhnya dari rakyat, sekaligus
memastikan program yang di usung telah menyentuh berbagai kalangan, atau
minimal setiap aparatur negera bisa memantau dan mengawasi kebijakan yang di
keluarkan tidak macet di tengah jalan.
Sehingga dengan begitu blusukan tak hanya dikatakan sebagai pencitraan dan hipokrisi
semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar