Jumat, 14 Agustus 2015

Manusia Sebagai Makhluk Semesta

Manusia Sebagai Makhluk Semesta

Oleh: Taufik Rahman





Manusia modern telah kehilangan banyak hal luhur yang dimiliki oleh orang-orang masa lalu. Manusia modern masa kini hidup dalam sebuah dunia yang terkotak-kotak menjadi jaringan dengan satuan bytes, mereka kehilangan etika cakrawalanya sebagai bagian dari alam semesta, atau sebagai satu-satunya organisme yang menyadari ia adalah makhluk universal. Namun kenyataannya, manusia lebih banyak memposisikan diri sebagai bagian dari sebuah dunia yang tidak berbatas. Menjadi bagian dari dunia yang tidak perlu dirawat, menjadi bagian dari dunia individual untuk meraih kekayaan sebanyak-banyaknya dari hasil eksploitasi terhadap sumber daya alam.

Dalam kesempatan ini, aku tidak ingin membahas manusia dari sisi moral ataupun akhlak. Tapi manusia sebagai makhluk universal (semesta) jauh lebih menarik untuk dibahas.

Pada setiap kesempatan. Manusia sering mempertanyakan apakah manusia adalah makhluk satu-satunya yang bisa berfikir dialam semesta? Apakah tugas dari eksistensi manusia? Dan bagaimana menjadi eksistensi itu?


Jawaban-jawaban dari pertanyaan itu hanya bisa dijawab saat kita benar-benar merasa sebagai bagian dari alam semesta itu sendiri. Menjadi bagian dari kosmik berarti kita mendapat tugas untuk memelihara mahakarya ini. Tetapi dalam pikiran sempit kita, menjaga berarti tidak bebas melakukan sesuatu terhadap apa yang kita miliki tersebut, lalu kita harus mengorbankan hasrat kita untuk menjadi kaya dengan memikirkan eksistensi kita sebagai mahkluk semesta.


Tentu saja, kepentingan ekonomi kebanyakan orang telah membuat sebagian kita buta terhadap apa yang seharusnya kita jaga, bukannya kita tidak boleh melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam bumi, namun terkadang kita lupa akan kata “cukup.” Hasrat untuk menjadi kaya membuat para eksploitor [kalau boleh saya istilahkan] lupa diri, lupa bahwa mereka sedang mengeruk tempat tinggalnya sendiri, lupa bahwa yang dibuatnya semakin dalam adalah rumahnya sendiri ketika ia menjadi mahkluk semesta.


Memang Pembakaran minyak, batu bara dan hasil fosil lainnya dipabrik pabrik telah memajukan roda perekonomian manusia –jauh lebih maju dibandingkan zaman manusia purba. Tapi kemajuan-kemajuan itu jika terus dibiarkan akan membuat generasi saat ini (generasiku juga) akan dikutuk oleh generasi berikutnya karena telah menjadi bagian dari perusakan terbesar sepanjang sejarah manusia terhadap alam. Dan akhirnya, kemajuan ekonomi apapun tidak akan pernah bisa berarti di bumi yang sudah rusak.


Ketidak sadaran manusia sebagai makhluk semesta juga membuat eksploitor-eksploitor itu rela membayar mahal kepada pejabat-pejabat suatu daerah untuk mengeruk hasil alamnya. Bayaran itu bukan untuk memperbaiki alam ataupun mengatasi kemeskinan tapi bayaran itu digunakan untuk melanggengkan kekuasaan pada pemilu selanjutnya, mereka Tidak peduli terhadap lingkungan, tidak peduli akan dampak jangka panjang dan mereka akan terus mengeruk, mengeruk dan mengeruk.

Dengan alasan bahwa manusia memerlukan energi untuk membangun peradaban, manusia membutuhkan energi untuk membangun pabrik-pabrik yang akan memproduksi makanan bagi orang miskin, manusia memerlukan energi untuk kesejahteraan. Orang-orang yang lupa akan eksistensinya sebagai makhluk semesta.

Seringkali para politisi berorasi tentang perlunya berhemat, menciptakan sebuah energi terbarukan, melakukan pembakaran dengan ramah lingkungan, penyelamatan spisies langka badak bercula satu atau bahkan komodo. Tetapi apa yang dibicarakannya hanya sebatas omong kosong diatas mimbar –setelahnya seringkali dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk menjadi kaya raya melalui eksploitasi besar-besaran.


Oleh karena itulah, kita memerlukan sebuah refleksi mendalam tentang apa arti eksistensi kita sebagai makhluk semesta dibumi ini. Kita secara individu memang tidak bisa melakukan penyelamatan spisies komodo yang hampir punah di Pulau Komodo atau menahan gumpalan es dikutub utara agar tidak mencair. Tapi kita sebagai makhluk universal sekaligus makhluk individu memerlukan sebuah keseimbangan untuk pemenuhan tanggung jawab itu. Caranya sederhana, yaitu dengan peduli terhadap hal-hal kecil disekeliling kita, menjaga agar kita sebagai individu tidak ikut mencemari tanah ataupun air dengan sembarangan membuang sampah.cara-cara sederhana seperti itulah yang bisa kita lakukan. Atau jika anda seorang yang senang menulis, anda bisa menulis sebuah artikel misalnya tentang penurunan jumlah populasi burung pipit. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk memenuhi tanggung jawab kita menjaga bumi.


Melakukan hal kecil saat ini memang kurang berarti apa-apa, tapi jika hal kecil itu dilakukan oleh banyak orang mungkin akan menajdi sesuatu yang lebih berarti. Daripada kita hanyut dalam ribuan bytes setiap hari dalam dunia virtual dan ikut dalam meriahnya kemajuan gawai, saya rasa peduli terhadap kondisi lingkungan kita saat ini dan mengkhawatirkan bagaimana orang dimasa depan akan hidup jauh lebih baik daripada semua kemajuan itu. caranya adalah berbuat sebaik mungkin kepada alam dan mengerti batas-batas eksploitasi. Karena aku tidak ingin generasi-generasi yang hidup setelah kita menyalahkan generasi kita sebagai generasi tamak, rakus dan egois.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar