Selasa, 11 Agustus 2015

Sebuah Kegelisahan dari Penganut Sosiological Jurisprudence


Sebuah Kegelisahan dari Penganut Sosiological Jurisprudence
 
Oleh : Taufik Rahman

Bahwa keadilan, kesamaan dan kemanfaatan haruslah menjadi bagian dari hukum. Ketiga hal tersebut adalah kebutuhan pokok dari manusia. Manusia yang rasa keadilannya tidak tersentuh saat terjadi ketidakadilan  bukanlah manusia. Tapi nyatanya hukum sebagai sarana mencapai keadilan, dinegeri ini justeru dijadikan permainan dan bisnis. Layaknya dalam perdagangan seorang yang bersalah karena telah melakukan perbuatan ammoral yang seharusnya dihukum bisa saja melakukan negosiasi yang lebih ammoral lagi tentang hukuman apa yang pantas untuknya, hukuman apa yang dia dapat jika membayar sejumlah uang dan kenikmatan apa yang akan didapat didalam penjara jika membayar lebih.
 
Dalam keadaan yang sudah sangat parah ini, aku masih tidak habis fikir dengan hukum di negeri ini. Bagaimana tidak, seorang nenek-nenek tua yang mengambil beberapa biji buah di sebuah lahan harus merasakan sakitnya meja hijau dan berbelitnya proses persidangan serta harus merasakan putusan dari pengadilan. Adilkah? Dalam kacamatan aliran positivistik hal itu bisa saja dikatakan adil karena menurut hukum yang tertulis setiap pencuri harus dihukum, tapi percayalah aku tidak pernah percaya kepada hukum jenis ini dalam kaitannya dengan menghukum nenek.

 Aku yang tidak tahu apa-apa ini hanya ingin berpendapat bahwa hukum itu adalah sebuah alat untuk mencapai keadilan. Dari apa yang kubaca dari berita-berita belakangan ini, banyak pejabat dari hasil penyidikan telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, jumlahnya beragam dimulai dari ratusan juta hingga puluhan miliar, tidak hanya korupsi sebagian lainnya telah nyata-nyata menerima atau memberikan suap. Tapi kasus-kasus yang kusebutkan belakangan sebagian besar hilang sebelum dimeja hijaukan, instansi terkait dengan mudah mengeluarkan SP3 (Surat Pemberhentian Proses Penyidikan) untuk mereka. Menurut kabar angin atau isu yang merebak si terdakwa memiliki cukup uang untuk menyuap para pejabat korup itu agar menghentikan kasusnya.
 
Kembali kepada kasus nenek. Dalam kasus nenek yang mencuri beberapa biji buah itu dalam perasaan batin terpelelajar yang mencintai keadilan aku sangat mengutuk semua orang yang terlibat didalamnya selain hakim yang memutuskan perkara. Kenapa? Seharusnya kasus semacam ini tidak perlu dibawa kemeja hijau, apa yang diambil itu tidak sebanding dengan berapa biaya untuk sekali persidangan, disinilah letak ketidak adilannya. Bagaimana mungkin hukum yang hidup dimasyarakat justru menjadi pembunuh terhadap masyarakat itu sendiri. Bandingkan kasus semacam ini dengan puluhan kasus pejabat korup yang dihentikan bahkan sebelum disidangkan, inilah letak ketidak adilan yang selama ini dirasakan oleh kebanyakan orang di republik ini. Asas equlity before the law adalah sebuah omong kosong yang tidak akan pernah menyamakan derajat manusia didepan hukum negeri ini. Hukum dinegeri ini mengenal kasta, hukum dinegeri ini membedakan antara si kaya dan si miskin. Oleh karenanya, dalam kegelisahan ini diperlukanlah lagi tinjauan dari dasar berpikir hukum negeri ini. Hukum tidak serta merta tentang aturan tertulis (rule of book) tapi hukum adalah menyangkut juga tentang bagaimana menggapai rasa keadilan dalam setiap nurani manusia. Adagium benar menurut huku belum tentu adil rasanya harus kita hilangkan, kenapa? Karena menurut Theo Hujabers, yang tidak adil itu bukanlah hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar