Senin, 17 Agustus 2015

Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan: Wikilieaks, Pers dan Sebuah Arus Besar Perubahan

 Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan: Wikilieaks, Pers dan Sebuah Arus Besar Perubahan
 
Oleh: Taufik Rahman
 

Penyakit yang parah memerlukan obat berbahaya.
-Guy Fawkes (1570-1606)

Dibalik pemerintahan yang nyata, bertakhta pemerintahan siluman yang tidak memiliki kesetiaan dan tanggung jawab kepada rakyat. Tugas utama negarawan adalah menghancurkan pemerintahan bayangan ini, menistakan persekutuan antara bisnis dan politik yang korup ini.”
-Theodore Roosvelt

Selamat sore, salam sejahtera bagi kawan-kawab bloger dan selamat hari kemerdekaan, 17 Agustus 2015.

Memoir Citra Awal Pergerakan Nasion

Berbicara kemerdekaan Indonesia saat ini berarti berbicara pula tentang panjangnya sejarah bangsa ini jika kita hitung dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda pertama. Melihat perjuangan bangsa Indonesia jika dibandingkan dengan perjuangan bangsa lain penulis kira tidak kalah rumit dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang hendak merdeka dari kekuasaan imperialisme. Namun, jika dibandingkan dengan perjuangan bangsa lain perjuangan di Indonesia dalam kerangka kesatuan bangsa tergolong cukup cepat dibandingkan negara-negara lain, seperti Filipina yang kembali dijajah Amerika setelah lepas dari Spanyol ataupun Malaysia yang kemerdekaannya dikontrak selama 1000 tahun.

Tempo waktu 70 tahun bisa dikatakan sebentar dan sangat pendek jika dibandingkan dengan durasi 350 tahun diduduki oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Jika kita mengenal kebangsaan sebagai nasion ini baru 70 tahun atau 100 tahun jika dimulai dari pergerakan nasional, orang-orang kolonial sudah lama mengantisipasi kesatuan nasion itu sejak awa kedatangannya. Dimulai dengan politik demand far claring, cultur-steelsel, divede et empera, hingga politik etis pemerintahan kolonial mencoba berkuasa selamanya atas orang-orang pribumi di Hindia Belanda.

Dalam perkembangannya saat itu, Hindia Belanda tidak bisa lepas dari gelombang kebudayaan yang diciptakan Eropa sendiri yaitu nasionalisme, perasaan mencintai dan bangga terhadap kebangsaannya. Arus besar nasionalisme telah membuat muncul gerakan-gerakan kebangsaan ataupun kesukuan, seperti Sjarikat Dagang Islam yang bersifat kebangsaan Indonesia dan Boedi Utomo yang lebih cenderung kepada suku Jawa –priyayi Jawa. Uniknya arus besar naionalisme itu tidak berjalan sendiri seperti apa yang melanda negara-negara Eropa, tetapi di Hindia Belanda ia berjalan bersama dengan sebuah gerakan lain dari timut-tengah, yaitu Pan-Islamisme. Nasionalisme dan Pan-Islamisme telah menciptakan keresahan dikalangan pejabat Gubermen, dan akhirnya beberapa tokoh perjuangan pergerakan dibuang untuk diasingkan agar tidak mempengaruhi gerakan pribumi lebih jauh, seperti R. M Suwardi Sorjoningrat, Danurja Setiabudi, Tjipto Mangunkusomo, hingga Tirtho Adhi Soerjo.

Berbicara nama terakhir diatas, yaitu R. M Tirtho Adhi Soerjo –beberapa pendapat, salah satunya Sejarawan , Sastrawan, dan Novelis Pramoedya Ananta Toer mengemukakan bahwa R.M Tirtho Adhi Soerjo adalah “Sang Pemula” dari sebuah arus gerakan besar di Hindia Belanda. Dia adalah orang yang pertama-pertama menyadarkan bangsanya sebagai sebuah bangsa. Bersama dengan Kyai Haji Samanhudi, RM. Tirtho Adhi Soerjo mendirikan salah satu organisasi pertama pribumi di Hindia Belanda –SDI. Organisasi inilah yang pertama-tama menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan. R.M Tirtho Adhi Soerjo menyadari bahwa bahasa Melayu tidak seperti bahasa Jawa yang mengenal kasta, bahasa melayu tidak mengenal kasta apapun dan semua orang di kawasan Hindia Belanda memahami dan bisa berbahasa melayu, sejak itulah bahasa Melayu dijadikan sebuah Lingua Franca secara resmi hingga diakui oleh para pemuda dalam sumpah pemuda.

Dalam masa-masa awal pergerakannya, Titho menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan mencari masa. Tirtho mendirikan sebuah percetakan dan menerbitkan koran pribumi pertama di Hindia Belanda yang berbahasa Melayu, koran inilah yang kita kenal saat ini dengan Medan Prijaji. Lewat koran yang diterbitkannya Tirtho menyuarakan ketidak adilan, pemerasan, kemiskinan yang ditindas, dan hukum yang menyimpang di Hindia Belanda. Melalui koran ia juga memberikan bantuan hukum kepada rakyat pribumi melalui soeloh pengadilan.

Dari tindakan R.M Tirtho Adhi Soerjo kita mengetahui bahwa diawal keberadaannya pers di Indonesia adalah perlawanan terhadap kekuasaan yang semena-mena dan timpang, pers adalah alat untuk membangun rasa nasionalisme, alat yang begitu ampuh untuk menggoyangkan kekuasaan yang korup dan culas. Pers adalah sebuah instrumen perlindungan terakhir kepada rakyat jika hukum tidak memberikan keadilan. Lebih jauh, perjuangan kita sebagai bangsa nyatanya tidak langsung dimulai dengan pertempuran senjata ataupun duduk satu meja berdiplomasi, langkah untuk menyatarakan kita sebagai inlander  sebagai sebuah bangsa dimulai melaui tulisan-tulisan pers dan penghimpunan masa melalui propagandanya untuk berorganisasi. Pers adalah ruh kebangsaan.
 
Dilema Pers, Bisnis dan Politik

Medio beberapa tahun lalu isu terburuk yang menjadi diskursus dimana-mana adalah perselingkuhan antara bisnis dengan politik. Pada iklim demokrasi, bisnis dijadikan senjata untuk menyokong kekuatan finansial seorang politisi dalam merebut kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan akan menjadikan bisnis bertahan dan kuat karena didukung kekuasaan.

Sekarang isunya jauh lebih buruk lagi bahwa pers pun ikut dalam “perselingkuhan” itu. Jika dimasa Orde Baru pers yang kritis akan dibredel oleh pemerintah dimasa kini saat kemerdekaan pers itu dijamin oleh undang-undang, justeru pers itu sendiri yang tunduk dan mengabdikan dirinya kepada salah satu kekuatan politik, pers tidak lagi berpihak kepada kebenaran tapi ia tempo kini berubah menjadi pembohong publik yang rapi, buktinya saat pemilu 2014 lalu –publik disuguhkan sebuah drama baru bernama keberpihakan pers. Benarkah ini?

Dalam sebuah teori, demokrasi akan bisa tercapai jika negara tidak didasarkan atas negara kekuasaan (Machstaat) tapi negara harus didasarkan pada pembagian kekuasaan yang terpisah dan tidak saling terpengaruh, yaitu: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lebih jauh ada yang menambahkan jika pers yang netral adalah bagian dari negara atas pembagian kekuasaan itu.

Dalam kondisi untuk mencapai ke ideal an itu, maka mutlak bagi pers untuk tidak tunduk dan patuh terhadap pengaruh kekuasaan apapun. Keterbukaan informasi dalam iklim demokrasi merupakan sebuah keharusan, keterbukaan informasi adalah hak publik, yang tidak terbuka bukanlah demokrasi, yang tertutup biasanya rahasia penindasan. Membiarkan kekuasaan menutupi kebohongan kepada publik jauh lebih buruk dari keburukan itu sendiri. Dan itu bukan cita-cita dari demokrasi.
Wikileaks: kebocoran rahasia paling besar sepanjang sejarah

Saat ini, khususnya di Indonesia –sangat sedikit sekali pers yang mencoba menggoyangkan praktek korupsi yang terjadi ditanah air. Menginvestigasi dan menggali fakta secara langsung.
Wikileaks, Pada Juli 2010, situs ini mengundang kontroversi karena pembocoran dokumen Perang Afganistan. Selanjutnya, pada Oktober 2010, hampir 400.000 dokumen Perang Irak dibocorkan oleh situs ini.Pada November 2010, WikiLeaks mulai merilis pembocoran kawat diplomatik Amerika Serikat. Dan lebih dari 247 data, fakta dan dokumen dari Kedutaan Besar AS disejumlah negara. wikileaks membongkar habis keburukan AS, kejahatan perangnya di Afganistan dan Irak. Menurut beberapa analis peristiwa ini merupakan kebocoran data intelejen paling besar yang pernah terjadi. Keburukan AS ditelanjangi habis-habisan dari laporan-laporan yang seharusnya menurut kepentingan Amerika tidak boleh diketahui oleh publik. Tidak hanya AS, seluruh dunia dikejutkan dengan laporan-laporan dan data yang dipublikasikan.

Jurnalisme investigatif dan menggoyang kekuasaan korup inilah esensi sebenarnya dari pers. Pers harus menjadi sebuah motor gerakan untuk demokrasi yang sebenarnya.
Menyoroti wikileaks kita dapat belajar beberapa hal:
Pertama, wikileaks hadir disaat pers masa kini sedang menundukan diri pada kekuasaan politik. Wikileaks sebagai anak rohani dari kebebasan itu telah membuat sang inang dalam hal ini Amerika Serikat yang disatu sisi menggaungkan kesamaan dan dilain sisi melakukan penindasan telah di hajar habis. Inilah cita-cita kebebasan yang sesungguhnya, kebebasan yang tidak mementingkan lagi kewarganegaraan suatu bangsa, tapi kebebasan sebagai suatu bagian dari dunia. Wikileaks telah memulainya dengan membuka aib Amerika tehadap orang-orang timur tengah. Melalui semua tindakannya wikileaks mengajarkan kita tentang pers yang brutal dan menentang setiap ketidak adilan.

Kedua, Wkileaks tidak lagi berorientasi kepada media cetak, mereka memanfaatkan internet sebagai sebuah jaringan besar global. Pers masakini –terlebih yang berjuang untuk idealisme dan pergerakan harus menjadikan internet sebagai medianya. Menurut Eric Schmidt, nantinya internet akan tersemat di seluruh lini kehidupan manusia. Internet adalah media efektif yang sangat murah untuk pergerakan.
 
Pers Mahasiswa

Saat dunia jurnalistik telah ternoda soal “perselingkuhannya” dengan bisnis dan politik. Saat ini harapan kita hanya bisa bertumpu pada pers mahasiswa, pers mahasiswa yang pemikirannya masih murni dan jauh dari kepentingan apapun seharusnya bisa membangun sebuah opini publik melalui tulisan, ulasan yang mendalam terhadap suatu peristiwa dengan objektif dengan internet sebagai media paling ampuh masa kini.

 Akhirnya, dimasa 70 tahun kemerdekaan Indonesia ini, perlulah pers mahasiswa untuk ikut serta menjadi instrumen perubahan sosial seperti yang dicontohkan R.M Tirtho Adhi Soerjo. Pers yang merdeka dan bebas dari kepentingan apapun. Sebuah alat melawan kekuasaan yang korup.

Rumusan melawan kekuasaan: Konsep Pembentukan Kader yang Militan
[Tidak bijak rasanya untuk memposting sebuah konsep itu dalam tulisan ini] konsep itu akan saya kemukakan dalam diskusi PJTD LPM SUKMA 2015.

Semoga refleksi 70 tahun Kemerdekaan yang singkat ini bisa menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pers yang merdeka dari kepentingan apapun untuk menyampaikan kita pada cita-cita kemerdekaan sejati: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar