Kamis, 20 Agustus 2015

Rekayasa Kebudayaan: Untuk Mencapai Hukum Yang Berkeadilan


Rekayasa Kebudayaan: Untuk Mencapai Hukum Yang Berkeadilan
Oleh: Taufik Rahman

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Q.S Al-Maidah: 8)

Ada adagium berbunyi “banyak orang bicara keadilan, tetapi hanya sedikit orang yang berlaku adil.” Benarkah? Jika hal ini ditanyakan kepada orang-orang yang menjalani pesakitan karena tidak adilnya suatu putusan pengadilan atau tidak puasnya seseorang terhadap putusan itu maka hal itu bisa dijadikan ukuran. tetapi, apakah adigium seperti itu menutup pintu bagi kita untuk menuliskan hal-hal tentang keadilan. Karena seseorang tidak akan pernah bertindak adil jika iya tidak pernah membicarakannya.

 Dalam ranah hukum kita yang banyak dipengaruhi oleh aliran positivistik ala Hens Kelsen dan John Austin lalu mengambil sedikit pemahaman  sosiological jurisprudence –nya ala Roscoe Pond, maka seharusnya secara das sollen  kita sebagai warga negara Indonesia tidak lagi perlu mengkhawatirkan akan makna keadilan dalam penegakan hukum kita. Dalam konteks ini hukum memang terpisah dari nilai moral tapi dilain sisi iya akan selalu memperhatikan gejala apa yang hidup dalam masyarakat untuk dijadikan sebuah hukum.

Tapi nyatanya, (das sein) masyarakat kita masa kini telah kehilangan kepercayaan kepada hukum. Hukum tidak lagi dianggap sebagai alat mencapai keadilan orang banyak ataupun membuat masyarakat bahagia. Hukum dijadikan sebagai alat untuk kepentingan-kepentingan kelompok dan perseorangan. Sudah tidak menjadi rahasia lagi bahwa dalam sistem hukum di tanah air dikenal istilah makelar kasus, mafia peradilan, projek, negosiasi putusan, suap jalanan, panjar pemerikasaan, katabelece bagi para saksi dan yang paling parah suap untuk hakim. Semua istilah itu cukup untuk menggambarkan betapa kekuasaan kehakiman yang kita harapkan sebagai kekuasaan yang merdeka dan bebas dari unsur apapun telah kehilangan ruhnya. Memang, tidak semua hakim dipengadilan melakukan praktik-praktik kotor diatas, tetapi adanya praktik-praktik semacam itu dilembaga penegak hukum sudah cukup membuat perasaan kita terhadap keadilan hukum menjadi tercederai.

Menariknya, negara yang mengklaim sebagai negara hukum ini sepanjang perjalanannya tidak pernah bisa menegakan hukum dengan baik. Harapan akan tegaknya hukum yang memihak kepada keadilan dari awal kedatangan belanda yang membawa hukum warisan Prancis masih tidak bisa memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Hindia Belanda kala itu. Bagaimana tidak? Sejarah kita mencatat bahwa hukum antara orang pribumi dan Eropa dibedakan dengan sangat tajam. Hukum yang seharusnya dipraktikan untuk menegakan keadilan oleh pemerintah kolonial saat itu digunakan untuk merampas tanah milik pribumi, dengan dalih tanah pribumi tersebut tidak memiliki surat tanah. Belakangan kita mengenal cara kotor melalui hukum yang dilakukan pemerintah kolonial tersebut dengan politik Demand Var Claring. Tidak hanya itu, setiap gubernur jendral saat itu juga memiliki hak yang disebut hak exxorbitant, dengan hak itu sang gubernur jendral tanpa proses pengadilan bisa saja mengasingkan seseorang yang dianggap membahayakan pengadilan.

Pun dengan saat era kemerdekaan, pemerintahan Soekarno dan Soeharto, Peradilan yang seharusnya jika menurut teori kekuasaan Montesqiau harus terpisah dari dua kekuasaan lain (Eksekutif dan Legislatif) nyatanya berada dibawah langsung kekuasaan presiden. Presiden bisa saja suatu saat mengintervensi suatu persidangan dengan dalih menjaga stabilitas nasional.

Akhirnya, walaupun diera reformasi kekuasaan kehakiman secara tekstual lepas dan tidak terpengaruh dengan dua kekuasaan lainnya, nyatanya hukum yang digadang-gadang sebagai pimpinan diera reformasi justru memiliki masalah dengan para aparatnya sendiri.
Berbagai pihak saling tuding, semua orang bicara keadilan, tapi sedikit orang yang benar-benar melakukan keadilan.
Akhirnya, kita terjebak dalam stigma bahwa keadilan sudah tidak bisa diharapkan dari hukum yang demikian.

Menurut Lawrience M. Friedman bahwa penegakan hukum (law inforcement) hanya bisa akan ditegakan apabila tiga hal ini baik, yaitu: Substansi, Struktur dan Kultur.

Substansi yang dimaksud oleh Friedman mengacu pada isi hukum, pada konteks positivistik adalah bagaimana isi peraturan perundang-undangan itu bisa mengatur dengan baik warga negara. bicara tentang bagaimana lahirnya sebuah undang-undang yang baik, maka kita akan berbicara tentang hal itu dari para legislatif yang baik. Legislatif yang baik dipilih dari pemilu yang baik. Pemilu dengan money politic akan sulit mengharapkan adanya legislatif yang baik, dan akhirnya kita akan mendapati produk aturan yang buruk –sebagai hasil dari pemilu yang buruk tersebut.

Selanjutnya, struktur. Struktur adalah bagian-bagian yang terlibat secara struktural dalam penegakan hukum. Seperti hakim, jaksa, polisi, advokat dan penyidik. Orang-orang yang duduk sebagai aparat ini adalah individu-individu yang lahir dari masyarakat. Masyarakat yang buruk akan menghasilkan individu-individu yang buruk pula. Diantara kedua faktor penegakan hukum lain, struktur inilah yang paling berperan untuk menegakan hukum, bahkan Lawrience M. Friedman mengatakan bahwa dengan hakim dan jaksa yang baik, iya akan mampu menegakan hukum yang baik walaupun memakai undang-undang yang buruk.

Terakhir, yaitu kultur. Budaya dari sebuah masyarakat akan ikut memengaruhi penegekan hukum. Sebut saja misalnya undang-undang telah mengatur tentang bagaimana untuk berkendara dengan benar dan memakai pengaman, lalu aparatpun telah menangkap dan menghentikan para pengendara yang tidak menggunakan helm misalnya. Dalam konteks ini dua faktor telah bekerja dengan baik, tapi sebut saja pengendara tersebut mengatakan “saya mau damai saja pak, gak usah disidangkan, nih uang.” Nah, inilah yang disebut dengan kultur.
Maka dari itu semua, untuk mendapatkan keadilan yang benar-benar kita impikan, mutlak rasanya mewujudkan atau memperbaiki tiga faktor diatas. Faktor itu hanya bisa dibentuk melalui rekayasa kebudayaan.

Rekayasa kebudayaan adalah sebuah doktrin yang diberikan kepada anak-anak bahwa kita adalah bangsa yang taat hukum dan membenci setiap ketidak adilan. Kenapa harus melalui kebudayaan? Karena budaya akan membentuk struktur dan subtansi hukum sebuah negara.

Sementara itu Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Maka dari itulah rekayasa kebudayaan dengan menyerang pola pikir dan membentuk paradigma baru kepada setiap anak didik bahwa kita adalah bangsa yang mencintai keadilan dan menolak semua bentuk kejahatanlah kita bisa berharap akan mendapati sebuah penegakan hukum yang ideal.

Rekayasa kebudayaan ini bukanlah visi lembaga pendidikan semata, tetapi untuk menerapkannya diperlukanlah perjuangan dari semua pihak, terutama keluarga.
Semoga tulisan ini bisa menjadi awal dari sebuah konsep pembangun rasa keadilan dan  membangun hukum yang benar-benar berkeadilan.

FIAT JUSTICIA RUAT CAELUM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar