Menyoal Budaya Lisan, Membangun Karakter.
(Tulisan ini sebelumnya telah dimuat dan dipublis diharian Kalimantan Post edisi 9 Des 15)
Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN
Antasari Banjarmasin)
Dalam sebuah gagasannya Bung Karno
Pernah mengemukakan sebuah visi Indonesia dimasa depan yakni National and
Character Building. Konsep tersebut menitik beratkan kepada penyiapan
mental manusia Indonesia (mental investment). Pembangunan mental ini bertujuan
melahirkan manusia Indonesia baru, yang mental politiknya berdaulat, mental
ekonominya berdikari, dan mental kebudayaannya berkepribadian bangsa Indonesia.
Manusia baru ini harus
anti-imperialisme dan anti-kapitalisme. Dengan demikian, jiwa manusia baru ini
bisa sejalan dengan pembangunan sosialisme Indonesia alias masyarakat adil dan
makmur.
Bung Karno sering berseru-seru “nation
and character building”. Katanya, keahlian atau pengetahuan teknik, jikalau
tak dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mungkin mencapai tujuannya. Ilmu pun
harus dilandasi oleh sebuah jiwa. Ilmu harus didedikasikan untuk kemajuan dan
kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks pembangunan mental dan
karakter manusia-manusia Indonesia itu maka ada tiga institusi yang berperan
dan menjadi ujung tombak yakni, kelurga, masyarakat dan pendidikan. Ketiga
institusi ini saling tertaut satu sama lain dalam ikatan budaya kebudayaan.
Budaya sebuah
Agama?
Disadari ataupun tidak, budaya
merupakan unsure fundamen dalam suatu masyarakat. Budaya hidup didalam
keluarga, memengaruhi pola, fikir dan tindak tanduk masyarakat. Hnay dari
budaya yang baiklah sebuah peradaban
yang baik dibangun. Sebaliknya, budaya yang buruk akan membentuk budaya
yang tidak baik. Budaya adalah semacam cipta, rasa, pola, paradigm yang
dilakukakn suatu masyarakat secara berulang ulang dan berlangsung dalam waktu
yang lama. Ia berperan dalam membentuk karakter kemanusiaan. Sama seperti
peradaban –karakter yang baik hanya dibentuk oleh kebudayaan yang baik.
Dalam beberapa sisi, budaya hamper
sama seperti agama yakni: memegang hamper seluruh sendi perilaku masyarakat.
Namun, jika agama diklaim oleh para pemeliknya secara sengaja diturunkan
olehTuhan untuk mengatur bagaimana cara manusia hidup, menurut penulis budaya
dalam hal ini merupakan sebuah tindakan sengaja atau tidak sengaja yang secara
perlahan mengendap dan membentuk karakter. Walupun sama-sama mempengaruhi pola
fikir dan perbuatan manusia, agama dan budaya merupakan dua hal yang jauh
berbeda. Jika agama mempunyai batasan dan kemutlakan dalam doktrinnya. Maka
budaya bisa saja menembus batasajaran itu, dia bisa lebih luas dari agama. Tapi
budaya tidak memiliki tingkat kemutlakan dia bisa saja dihapus, diubah,
diperbaiki atau bahkan dihancurkan.
Budaya Lisan:
Pembentuk Karakter Bangsa
Salah satu budaya yang paling besar
peran dan pengaruhnay untuk kondisi mental dan kejiwaan bangsa Indonesia
adalah: budaya lisan. Buday lisan adalah budaya bertutur atau bercerita dari
satu generasi kegenerasi selanjutnya dengan cerita-cerita yang beragam. Buday
lisan seringkali dituturkan dari orang tua kepada anaknya. Penulis yakin hamper
setiap generasi baru akan mendapat cerita dari budaya semacam ini. Tutur cerita
yang diberikan ini biasanya mengandung nilai moral didalamnya untuk diteladani
oleh seorang anak. Anak secara tidak sadar juga menyimpan kesan-kesan dari
cerita itu kedalam pikiran bawah sadarnya. Kenapa? Kerana, pertama cerita
biasanya diceritakan secar berulang-ulang. Kedua, anak memiliki daya gambar dan
imajinasi yang masih sangat bagus.
Alhasil, sedikit banyak suatu
generasi yang mendapat cerita dari budaya lisan itu akan terpengaruh. Entah itu
dari pikiran , tindakan dan ucapannya baik sadar ataupun tidak.
Moral Bangsa
Kini, setelah 70 Thaun merdeka,
bangsa Indonesia sekan-akan masih terbelenggu dalam dunia kolonialisme. Bangsa
yang mengklaim sebagai bangsa pemilik kebudayaan paling kaya sejagat ini hingga
saat ini belum juga mampu untuk membangun peradaban sebesar kebudayaan yang
diakuinya. Hal ini menjukan ada yang salah dengan kebudayaan kita. Bagaiman
tidak
Jangankan membangun peradaban yang
besar, membentuk mental dan watak manusianya saja budaya kita tidak sanggup.
Indikasinya adalah korupsi yang menjangkiti hamper seluruh institusi
pemerintahan dinegeri ini mengindikasikan bahwa mental dan watak bangsa kita
secara komunal masih terbelakang. Maka wajar bila Mochtar Lubis dalam bukunya
Manusia Indonesia mengemukakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa munafik.
Oleh karena hal-hal itulah, penulis
merasa bahwa budaya kita khususnya buday lisan bukanlah budaya yang baik untuk
membentuk cita-cita awal yakni Nation and Character Building.
Menurut penulis salah satu penyebab
dasar maslah oral dan krisis nilai yang dialami bangsa Indonesia saat ini salah
satunya bermula dari cerita-cerita ataupun dongeng yang didapat oleh seseorang
melalui budaya lisan sewaktu kecil.
Bagaimana bisa?
Masalah Nilai
yang Ambigu
Secara psikologis cerita yang
diulang-ulangkan untuk diperdengarkan oelh seseorang akan masuk kalam bawah
sadar, lalu secara tidak laangsung akan mempengaruhi tindakan dan pola fikir.
Selanjutnya, saya akan mengajak
pembaca untuk merefleksikan dongeng ataupun cerita rakyat yang disuguhkan
kepada kita sewaktu kecil.
Menurut survey kecil-kecilana yang
saya buat dengan bertanya kepada beberapa teman dongeng-dongen yang menghiasi
masa kecil seseorang berkisar antara cerita tentang kancil, kura-kura, buaya,
monyet dan binatang lain. Ceriat-cerita itu jika ditanaykan kepada setiap orang
dewasa saat ini pasti semua mereka mengetahui alur dan akhir dari
donegn-donegng tersebut. Cerita itu telah hidup dan mengilhami semua pikiran
orang yang diceritakan akan sebuah kecerdasan, kepintaran dan strategi.
Pun dengan cerita rakyat yang sering
disuguhkan, hamper selurh orang dewasa mengetahui cerita malin kundang,
sangkuriang, dll. Sekali lagi, cerita-cerita tersebut diklaim oleh bangsa
Indonesia sebagai sumber moral dan nilai yang berasal dari budaya yang luhur.
Namu, menurut hemat penulis
cerita-cerita ataupun dongen dongeng itu telah berhasil membentuk karakter dan
watak manusia Indonesia –bukan karakter yang luhur yang penulis maksud tetapi
sebaliknya karakter culas, licik, korup dan ambigu.
Refleksi Anti
Kemapanan
Dalam pada ini, penulis akan
merefleksikan beberapa cerita rakyat, dongen maupun fable yang menurut penulis
pengaruhnya sangat besar terhadap
perkembangan mental bangsa Indonesia dewasa ini.
Dongeng kancil, semua orang yang
menuturkan dongeng itu tentu akan membanggakan kecerdasan kancil dalam
memperoleh mentimun dikebun pak petani tau saat kancil menipu para buaya lapar
yang hendak memakannya dan berhasil menyeberang sungai. Pun dengan orang akan
mengangumi bagaimana para siput mengalahkan kancil dalam perlombaan lari.
Disinilah letak paradoks nilai yang
disguhkan oleh fable-fabel kita. Posisi kancil sebagai tokoh utama cerita yang
mengandalakan kecerdasannya untuk megalahkan lawan-lawannya demi keuntungan
pribadi lalu mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan tepat janji telah
mempengaruhi pola pikir dan tindakan manusia Indoensia. Alhasil, terciptakan
manusia-manusia yang mengabaikan nilai-nilai kejujuran demi keuntungan pribadi.
Manusia yang menggunakan kecerdasanya untuk mengelabui orang-orang, lalu
terciptlah manusia bermental korup.
Juga saat kancil mencuri mentimun,
alih laih kancil yang disalahkan. Justru petanilah yang dianggap salah oleh
cerita dan sekali lagi kancil menjadi pencuri yang dilindungi.
Timun Mas, jika kita renungkan
secara mendalamdongeng ini menyguhkan sebuah nilai yang mengajarkan ingkar
janji. Bagaimana seharusnya dua orang tua memberikan timun mas yang sudah besar
kepada raksasa dalam tataran idealism malah justeru melarikannya. Pun dengan
penyelesaian masalah diakhir cerita, timun mas lari dari masalh. Tidak ada
solusi yang ditawarkans elain lari dari masalah dan menaburkan hal-hal ajaib
untuk bisa mengalahkan raksasa.
Juga tentang Malin Kundang yang rela
berbohong untuk menyelamatkan nama baiknya, ataupun kelicikan yang dilakukan
oleh Roro Jongrang dan Dayang Sumbi.
Jika bangsa sebesar bangsa ini
dibangun melalui cerita-cerita yang didalamnya mengaqngdung paradox nilai
seperti itu maka jangan heran bila kita oleh Mochtar Lubis adalah manusia
munafik.
Saat budaya lisan telah membangun
karakter mental yang sedemikian rapuh dan runyam maka jangan salahlan
generasi-generasi korup, tidak jujur, lari dari tanggung jawab hadir setiap
saat dinegeri ini.
Titik penting ini akan sangat bertolak belakang jika kita
bandingkan dengan cerita dari bangsa Jepang yang salah satunya mengajarkan
hara-kiri bagi setiap samurai yang gagal melaksanakan tugas. Bagaimana tidak,
budaya cerita lisan dari jepang tentang samurai itu telah menyuguhkan budaya
malu yang akhirnya mengilhami setiap orang jepang yang gagal dalam tugasnya
untuk bertanggung jawab sepenuhnya.
Revolusi
Kebudayaan
Menjadi bagian-bagianpenutup tulisan
ini, maka jika bangsa Indonesia hendak bangkit secara komunal dalam keasadaran
berbudaya yang tinggi, maka bangsa ini harus segera melakukan revolusi budaya,
khususnya budaya lisan.
Para guru semestinya tidak lagi
mencertakan cerita-cerita yang mengandung nilai yang paradox seperti itu. Pun
dengan orang tua.
Dan dalam konteks ini sudah
seharusnyalah para budayawan dan sastrawan duduk bersama mebahas masalah ini
secara serius.
Akhirnya, bukankan semua kemajuan
Eropa masa kini dimulai dari Rennaisance yang semua itu dimulai dari sebuah
gelombang kebudayaan terbarukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar