Rabu, 23 Desember 2015

Menyoal Budaya Lisan, Membangun Karakter.

Menyoal Budaya Lisan, Membangun Karakter. 
(Tulisan ini sebelumnya telah dimuat dan dipublis diharian Kalimantan Post edisi 9 Des 15)


Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin)



Dalam sebuah gagasannya Bung Karno Pernah mengemukakan sebuah visi Indonesia dimasa depan yakni National and Character Building. Konsep tersebut menitik beratkan kepada penyiapan mental manusia Indonesia (mental investment). Pembangunan mental ini bertujuan melahirkan manusia Indonesia baru, yang mental politiknya berdaulat, mental ekonominya berdikari, dan mental kebudayaannya berkepribadian bangsa Indonesia.


Manusia baru ini harus anti-imperialisme dan anti-kapitalisme. Dengan demikian, jiwa manusia baru ini bisa sejalan dengan pembangunan sosialisme Indonesia alias masyarakat adil dan makmur.
Bung Karno sering berseru-seru “nation and character building”. Katanya, keahlian atau pengetahuan teknik, jikalau tak dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mungkin mencapai tujuannya. Ilmu pun harus dilandasi oleh sebuah jiwa. Ilmu harus didedikasikan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.


Dalam konteks pembangunan mental dan karakter manusia-manusia Indonesia itu maka ada tiga institusi yang berperan dan menjadi ujung tombak yakni, kelurga, masyarakat dan pendidikan. Ketiga institusi ini saling tertaut satu sama lain dalam ikatan budaya kebudayaan.


Budaya sebuah Agama?

Disadari ataupun tidak, budaya merupakan unsure fundamen dalam suatu masyarakat. Budaya hidup didalam keluarga, memengaruhi pola, fikir dan tindak tanduk masyarakat. Hnay dari budaya yang baiklah sebuah peradaban  yang baik dibangun. Sebaliknya, budaya yang buruk akan membentuk budaya yang tidak baik. Budaya adalah semacam cipta, rasa, pola, paradigm yang dilakukakn suatu masyarakat secara berulang ulang dan berlangsung dalam waktu yang lama. Ia berperan dalam membentuk karakter kemanusiaan. Sama seperti peradaban –karakter yang baik hanya dibentuk oleh kebudayaan yang baik.


Dalam beberapa sisi, budaya hamper sama seperti agama yakni: memegang hamper seluruh sendi perilaku masyarakat. Namun, jika agama diklaim oleh para pemeliknya secara sengaja diturunkan olehTuhan untuk mengatur bagaimana cara manusia hidup, menurut penulis budaya dalam hal ini merupakan sebuah tindakan sengaja atau tidak sengaja yang secara perlahan mengendap dan membentuk karakter. Walupun sama-sama mempengaruhi pola fikir dan perbuatan manusia, agama dan budaya merupakan dua hal yang jauh berbeda. Jika agama mempunyai batasan dan kemutlakan dalam doktrinnya. Maka budaya bisa saja menembus batasajaran itu, dia bisa lebih luas dari agama. Tapi budaya tidak memiliki tingkat kemutlakan dia bisa saja dihapus, diubah, diperbaiki atau bahkan dihancurkan.


Budaya Lisan: Pembentuk Karakter Bangsa

Salah satu budaya yang paling besar peran dan pengaruhnay untuk kondisi mental dan kejiwaan bangsa Indonesia adalah: budaya lisan. Buday lisan adalah budaya bertutur atau bercerita dari satu generasi kegenerasi selanjutnya dengan cerita-cerita yang beragam. Buday lisan seringkali dituturkan dari orang tua kepada anaknya. Penulis yakin hamper setiap generasi baru akan mendapat cerita dari budaya semacam ini. Tutur cerita yang diberikan ini biasanya mengandung nilai moral didalamnya untuk diteladani oleh seorang anak. Anak secara tidak sadar juga menyimpan kesan-kesan dari cerita itu kedalam pikiran bawah sadarnya. Kenapa? Kerana, pertama cerita biasanya diceritakan secar berulang-ulang. Kedua, anak memiliki daya gambar dan imajinasi yang masih sangat bagus.
Alhasil, sedikit banyak suatu generasi yang mendapat cerita dari budaya lisan itu akan terpengaruh. Entah itu dari pikiran , tindakan dan ucapannya baik sadar ataupun tidak.

Moral Bangsa

Kini, setelah 70 Thaun merdeka, bangsa Indonesia sekan-akan masih terbelenggu dalam dunia kolonialisme. Bangsa yang mengklaim sebagai bangsa pemilik kebudayaan paling kaya sejagat ini hingga saat ini belum juga mampu untuk membangun peradaban sebesar kebudayaan yang diakuinya. Hal ini menjukan ada yang salah dengan kebudayaan kita. Bagaiman tidak


Jangankan membangun peradaban yang besar, membentuk mental dan watak manusianya saja budaya kita tidak sanggup. Indikasinya adalah korupsi yang menjangkiti hamper seluruh institusi pemerintahan dinegeri ini mengindikasikan bahwa mental dan watak bangsa kita secara komunal masih terbelakang. Maka wajar bila Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia mengemukakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa munafik.


Oleh karena hal-hal itulah, penulis merasa bahwa budaya kita khususnya buday lisan bukanlah budaya yang baik untuk membentuk cita-cita awal yakni Nation and Character Building.
Menurut penulis salah satu penyebab dasar maslah oral dan krisis nilai yang dialami bangsa Indonesia saat ini salah satunya bermula dari cerita-cerita ataupun dongeng yang didapat oleh seseorang melalui budaya lisan sewaktu kecil.
Bagaimana bisa?


Masalah Nilai yang Ambigu

Secara psikologis cerita yang diulang-ulangkan untuk diperdengarkan oelh seseorang akan masuk kalam bawah sadar, lalu secara tidak laangsung akan mempengaruhi tindakan dan pola fikir.
Selanjutnya, saya akan mengajak pembaca untuk merefleksikan dongeng ataupun cerita rakyat yang disuguhkan kepada kita sewaktu kecil.


Menurut survey kecil-kecilana yang saya buat dengan bertanya kepada beberapa teman dongeng-dongen yang menghiasi masa kecil seseorang berkisar antara cerita tentang kancil, kura-kura, buaya, monyet dan binatang lain. Ceriat-cerita itu jika ditanaykan kepada setiap orang dewasa saat ini pasti semua mereka mengetahui alur dan akhir dari donegn-donegng tersebut. Cerita itu telah hidup dan mengilhami semua pikiran orang yang diceritakan akan sebuah kecerdasan, kepintaran dan strategi.
Pun dengan cerita rakyat yang sering disuguhkan, hamper selurh orang dewasa mengetahui cerita malin kundang, sangkuriang, dll. Sekali lagi, cerita-cerita tersebut diklaim oleh bangsa Indonesia sebagai sumber moral dan nilai yang berasal dari budaya yang luhur.


Namu, menurut hemat penulis cerita-cerita ataupun dongen dongeng itu telah berhasil membentuk karakter dan watak manusia Indonesia –bukan karakter yang luhur yang penulis maksud tetapi sebaliknya karakter culas, licik, korup dan ambigu.


Refleksi Anti Kemapanan

Dalam pada ini, penulis akan merefleksikan beberapa cerita rakyat, dongen maupun fable yang menurut penulis pengaruhnya sangat  besar terhadap perkembangan mental bangsa Indonesia dewasa ini.


Dongeng kancil, semua orang yang menuturkan dongeng itu tentu akan membanggakan kecerdasan kancil dalam memperoleh mentimun dikebun pak petani tau saat kancil menipu para buaya lapar yang hendak memakannya dan berhasil menyeberang sungai. Pun dengan orang akan mengangumi bagaimana para siput mengalahkan kancil dalam perlombaan lari.


Disinilah letak paradoks nilai yang disguhkan oleh fable-fabel kita. Posisi kancil sebagai tokoh utama cerita yang mengandalakan kecerdasannya untuk megalahkan lawan-lawannya demi keuntungan pribadi lalu mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan tepat janji telah mempengaruhi pola pikir dan tindakan manusia Indoensia. Alhasil, terciptakan manusia-manusia yang mengabaikan nilai-nilai kejujuran demi keuntungan pribadi. Manusia yang menggunakan kecerdasanya untuk mengelabui orang-orang, lalu terciptlah manusia bermental korup.


Juga saat kancil mencuri mentimun, alih laih kancil yang disalahkan. Justru petanilah yang dianggap salah oleh cerita dan sekali lagi kancil menjadi pencuri yang dilindungi.


Timun Mas, jika kita renungkan secara mendalamdongeng ini menyguhkan sebuah nilai yang mengajarkan ingkar janji. Bagaimana seharusnya dua orang tua memberikan timun mas yang sudah besar kepada raksasa dalam tataran idealism malah justeru melarikannya. Pun dengan penyelesaian masalah diakhir cerita, timun mas lari dari masalh. Tidak ada solusi yang ditawarkans elain lari dari masalah dan menaburkan hal-hal ajaib untuk bisa mengalahkan raksasa.


Juga tentang Malin Kundang yang rela berbohong untuk menyelamatkan nama baiknya, ataupun kelicikan yang dilakukan oleh Roro Jongrang dan Dayang Sumbi.
Jika bangsa sebesar bangsa ini dibangun melalui cerita-cerita yang didalamnya mengaqngdung paradox nilai seperti itu maka jangan heran bila kita oleh Mochtar Lubis adalah manusia munafik.
Saat budaya lisan telah membangun karakter mental yang sedemikian rapuh dan runyam maka jangan salahlan generasi-generasi korup, tidak jujur, lari dari tanggung jawab hadir setiap saat dinegeri ini. 


Titik penting ini akan sangat bertolak belakang jika kita bandingkan dengan cerita dari bangsa Jepang yang salah satunya mengajarkan hara-kiri bagi setiap samurai yang gagal melaksanakan tugas. Bagaimana tidak, budaya cerita lisan dari jepang tentang samurai itu telah menyuguhkan budaya malu yang akhirnya mengilhami setiap orang jepang yang gagal dalam tugasnya untuk bertanggung jawab sepenuhnya.

Revolusi Kebudayaan

Menjadi bagian-bagianpenutup tulisan ini, maka jika bangsa Indonesia hendak bangkit secara komunal dalam keasadaran berbudaya yang tinggi, maka bangsa ini harus segera melakukan revolusi budaya, khususnya budaya lisan.


Para guru semestinya tidak lagi mencertakan cerita-cerita yang mengandung nilai yang paradox seperti itu. Pun dengan orang tua.


Dan dalam konteks ini sudah seharusnyalah para budayawan dan sastrawan duduk bersama mebahas masalah ini secara serius.


Akhirnya, bukankan semua kemajuan Eropa masa kini dimulai dari Rennaisance yang semua itu dimulai dari sebuah gelombang kebudayaan terbarukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar