Minggu, 27 Desember 2015

Refleksi dari Bati-Bati




Refleksi dari Bati-Bati

Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga 2013, IAIN Antasari Banjarmasin)

Beberapa hari lalu saya pergi mengunjungi salah satu kebun karet investasi asing di Bati-Bati, saya sangat terkejut. Kenapa? karena pabrikan ban besar dunia yang merknya selalu menjadi iklan pada perhelatan MotoGP memperoleh karet –salah satunya dari daerah ini dan ironisnya dunia atau bahkan orang Indonesia sendiri tidak mengetahui hal ini. 


Tapi keterkejutan saya diatas bukanlah hal istimewa dibandingkan ketika saya berkunjung kerumah kerabat jauh rekan saya. Disana kami disambut oleh seorang nenek dan paman.
Setelah bersalaman kami dipersilakan masuk dan disuguhi teh, hingga kini cerita-cerita dan penalaran yang disuguhkan oleh kedua orang tuan rumah tersebut terus menjadi perenungan saya selama beberapa hari terakhir.


Yang pertama adalah nenek, saat berbincang beliau menceritakan bahwa dimasa mudanya dahulu beliau hidup dizaman Pemerintahan Jepang, dengan sangat jelas beliau mengingat detail kejadian saat tentara Jepang datang dan orang-orang menyanyikan lagu menyambut mereka. Saya pribadi semakin terkesan saat beliau menyanyikan lagu itu dengan lancar. Tidak ketinggalan juga beliau menceritakan keadaan rakyat yang sengsara ditengah suasana keterjajahan, memakan singkong yang tidak dimasak dan dedaunan hanya untuk bertahan hidup. Tapi suasana keterjajahan itu membuat orang-orang mempunyai rasa persaudaraan yang kuat satu sama lain. “Musuhnya cuma satu, Jepang.” Kata beliau.
Cerita beliau membuat saya semakin penasaran akan sejarah yang langsung dituturkan oleh pelaku sejarah itu sendiri, bukan oleh pemenang chaos politik ataupun buku sejarah yang dingin dan terpisah dari kenyataan.


Rasa penasaran tentang kondisi sosial kerakyatan saat peristiwa pemberontakan PKI pun akhirnya saya lontarkan, “Kalau zaman PKI, seperti apa mbah?” tanya saya ketika itu.
Setelah sempat diam beberapa saat, beliau menceritakan tentang adanya pembantaian besar-besaran. Saya kembali menanyakan siapa yang membantai siapa? Uniknya beliau tidak menjawab pertanyaan ini dan akhirnya malah mengatakan peristiwa ini lebih dahulu daripada penjajahan Jepang, tentu saja ini tidak benar. 


Akhirnya saya berhenti menanyai beliau tentang peristiwa tersebut, walaupun menurut saya pribadi saya terlalu cepat menyimpulkan, saya beranggapan saking sangat tidak jelas dan mencekamnya peristiwa G30S dan sesudahnya sampai membuat kesan dan gagasan nenek tersebut menjadi jungkir balik, chaos politik mengakibatkan fakta menjadi barang langka.


Kedua, setelah nenek pergi kebelakang untuk menyiapkan makan sore giliran paman yang mulai bertutur. Paman yang satu ini tidak menuturkan cerita sejarah melainkan kondisi pemerintahan bangsa. Pada penuturannya menanggapi berita-berita tentang kasus-kasus korupsi para pejabat dan skandal pencatutan nama presiden yang melibatkan PT.Freeport dengan cukup serius beliau mengamini kenapa banyak bermunculan gerakan separatis di timur Indonesia, hal itu tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh perilaku pemerintah kita yang menganak tirikan daerah mereka disatu sisi dan menjual kekayaan daerah itu kepada asing pada sisi lainnya. beliau juga mengkritik sikap para penguasa yang dalam kebiasaannya hanya ingin untung sendiri dan ingin persenannya saja, tanpa memperdulikan pengembangan SDM-SDM.
“Banyak yang pintar dan cerdas, tapi kemauan pemerintah kita yang tidak ada untuk memberikan biaya dan pembinaan.” Ungkapnya.


Selain itu beliau juga mengungkapkan pandangannya tentang korupsi yang ramai dilakukan oleh berbagai lembaga dinegara ini, mulai dari eksekutif, yudikatif hingga legislatif.
Dalam pandangannya bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi bisa diberantas, lembaga anti rasuah hanya untuk mengurangi tindakan korupsi bukan untuk membuat orang tidak lagi korupsi. Hal ini yang membuat saya tertegun, kemudian beliau memberikan contoh sederhana anak yang diberi uang jajan oleh orang tuanya 5000 untuk dua hari, ternyata belum sampai satu hari uang itu sudah habis. Kebiasaan-kebiasaan kecil seperti itulah yang kata beliau bibit dari korupsi dinegeri ini.


Akhirnya, saya pulang ke Banjarmasin dengan otak yang terus berpikir, hingga akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan percakapan dengan dua orang yang luar biasa tersebut.

Pertama saya menyadari bahwa transisi pemerintahan yang disebabkan oleh kondisi yang kacau menyebabkan kesan dan kondisi psikologis yang tidak baik untuk rakyat. Ditambah lagi sejarah yang kacau membuat seorang rakyat tidak tahu harus berada untuk posisi apa iya akan bercerita apakah untuk menguak kebenaran atau diam agar tidak diusik oleh siapapun yang berkepentingan menutup mulutnya.

Selanjutnya adalah cerita tentang musuh bersama yang dimiliki bangsa Indonesia saat zaman Jepang. Benar apa yang dikatakan oleh Bung Karno bahwa perjuangan kita jauh akan lebih berat karena akan melawan bangsa kita sendiri, jika saya boleh menambahkan saat ini lawan kita juga orang asing.

Hal ini mengingatkan saya kembali akan novel yang ditulis oleh Multatuli dalam novelnya Max Haveelar, dalam novel itu Multatuli menyinggung secara tersirat bahwa penderitaan orang Hindia Belanda bukan serta merta karena pemerintahan Belanda melainkan jug dikarenakan sikap para pengusa lokal yang berkelakuan sangat konsumtif dan suka pamer namun ingin mendapatkan kemewahan itu dengan meramaps dan menjarah barang atau tenaga rakyatnya sendiri, saya pikir hal ini masih sangat relevan dengan cerita paman tentang betapa kondisi mental yang korup dari pejabat bangsa ini tidak akan bisa diatasi lagi.


Ironis memang, namun semua itu adalah kenyataan. Bagaimana menyikapinya? Bahwa etika, kejujuran, tanggung jawab dan moral itu adalah karakter. Karakter tidak dimasukan dari luar, iya adalah sesuatu yang berasal dari dalam diri setiap orang. Hanya dengan kesadaran akan keharusan berlaku jujur, bertanggung jawab dan bermoral lah setiap orang akan menjadi manusia. Harus saya katakan tidak seperti kuda yang dilahirkan, untuk menjadi manusia seorang harus dibentuk. Bagaimana menmbentuknya? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing dan melakukan pembiasaan-pembiasaan akan kejujuran dan bertanggung jawab yang kita mulai dari hal kecil dan diri kita sendiri.


Menyikapi tentang KKN yang menjadi-jadi, saya pernah menghadiri seminar yang pematerinya adalah Mahfud MD, dalam seminar itu beliau menyampaiakan bahwa hanya dengan pemutihan lah politik oligarkis dan saling sandera dinegeri akan berhenti menghasilkan para koruptor. Bagaimana tidak, saling sandera dan ancam buka kartu menyebabkan suap, korupsi menjadi efek domino.

Rasanya hal ini bisa saya terima sebagai salah satu solusi konkrit memberantas korupsi, asalkan setelah pemutihan dosa dilakukan pejabat yang terindikasi korupsi saja harus langsung diberhentikan, dimiskinkan atau bahkan dihukum mati. Kenapa? Karena korupsi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sekarang, kita sebagai pengamat hanya bisa menganjurkan bahwa lawan kita adalah penguasa korup yang dalam prakteknya terkadang menjadi pembantu asing atau rela menjadi budak mereka dengan mengorup kekayaan bangsanya sendiri.

Akhirnya, korupsi bukanlah masalah kaya atau tidaknya seseorang, melainkan merasa cukup atau tidaknya ia akan sesuatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar