Refleksi dari Bati-Bati
Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga 2013, IAIN
Antasari Banjarmasin)
Beberapa hari lalu saya
pergi mengunjungi salah satu kebun karet investasi asing di Bati-Bati, saya
sangat terkejut. Kenapa? karena pabrikan ban besar dunia yang merknya selalu
menjadi iklan pada perhelatan MotoGP memperoleh karet –salah satunya dari daerah
ini dan ironisnya dunia atau bahkan orang Indonesia sendiri tidak mengetahui
hal ini.
Tapi keterkejutan saya
diatas bukanlah hal istimewa dibandingkan ketika saya berkunjung kerumah
kerabat jauh rekan saya. Disana kami disambut oleh seorang nenek dan paman.
Setelah bersalaman kami
dipersilakan masuk dan disuguhi teh, hingga kini cerita-cerita dan penalaran
yang disuguhkan oleh kedua orang tuan rumah tersebut terus menjadi perenungan
saya selama beberapa hari terakhir.
Yang pertama adalah
nenek, saat berbincang beliau menceritakan bahwa dimasa mudanya dahulu beliau
hidup dizaman Pemerintahan Jepang, dengan sangat jelas beliau mengingat detail
kejadian saat tentara Jepang datang dan orang-orang menyanyikan lagu menyambut
mereka. Saya pribadi semakin terkesan saat beliau menyanyikan lagu itu dengan
lancar. Tidak ketinggalan juga beliau menceritakan keadaan rakyat yang sengsara
ditengah suasana keterjajahan, memakan singkong yang tidak dimasak dan dedaunan
hanya untuk bertahan hidup. Tapi suasana keterjajahan itu membuat orang-orang
mempunyai rasa persaudaraan yang kuat satu sama lain. “Musuhnya cuma satu,
Jepang.” Kata beliau.
Cerita beliau membuat
saya semakin penasaran akan sejarah yang langsung dituturkan oleh pelaku
sejarah itu sendiri, bukan oleh pemenang chaos
politik ataupun buku sejarah yang dingin dan terpisah dari kenyataan.
Rasa penasaran tentang
kondisi sosial kerakyatan saat peristiwa pemberontakan PKI pun akhirnya saya
lontarkan, “Kalau zaman PKI, seperti apa mbah?” tanya saya ketika itu.
Setelah sempat diam
beberapa saat, beliau menceritakan tentang adanya pembantaian besar-besaran.
Saya kembali menanyakan siapa yang membantai siapa? Uniknya beliau tidak
menjawab pertanyaan ini dan akhirnya malah mengatakan peristiwa ini lebih
dahulu daripada penjajahan Jepang, tentu saja ini tidak benar.
Akhirnya saya berhenti
menanyai beliau tentang peristiwa tersebut, walaupun menurut saya pribadi saya
terlalu cepat menyimpulkan, saya beranggapan saking sangat tidak jelas dan
mencekamnya peristiwa G30S dan sesudahnya sampai membuat kesan dan gagasan
nenek tersebut menjadi jungkir balik, chaos
politik mengakibatkan fakta menjadi barang langka.
Kedua, setelah nenek
pergi kebelakang untuk menyiapkan makan sore giliran paman yang mulai bertutur.
Paman yang satu ini tidak menuturkan cerita sejarah melainkan kondisi
pemerintahan bangsa. Pada penuturannya menanggapi berita-berita tentang
kasus-kasus korupsi para pejabat dan skandal pencatutan nama presiden yang
melibatkan PT.Freeport dengan cukup serius beliau mengamini kenapa banyak
bermunculan gerakan separatis di timur Indonesia, hal itu tidak lain dan tidak
bukan disebabkan oleh perilaku pemerintah kita yang menganak tirikan daerah
mereka disatu sisi dan menjual kekayaan daerah itu kepada asing pada sisi
lainnya. beliau juga mengkritik sikap para penguasa yang dalam kebiasaannya
hanya ingin untung sendiri dan ingin persenannya saja, tanpa memperdulikan
pengembangan SDM-SDM.
“Banyak yang pintar dan
cerdas, tapi kemauan pemerintah kita yang tidak ada untuk memberikan biaya dan
pembinaan.” Ungkapnya.
Selain itu beliau juga
mengungkapkan pandangannya tentang korupsi yang ramai dilakukan oleh berbagai
lembaga dinegara ini, mulai dari eksekutif, yudikatif hingga legislatif.
Dalam pandangannya
bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi bisa diberantas, lembaga anti rasuah
hanya untuk mengurangi tindakan korupsi bukan untuk membuat orang tidak lagi
korupsi. Hal ini yang membuat saya tertegun, kemudian beliau memberikan contoh
sederhana anak yang diberi uang jajan oleh orang tuanya 5000 untuk dua hari,
ternyata belum sampai satu hari uang itu sudah habis. Kebiasaan-kebiasaan kecil
seperti itulah yang kata beliau bibit dari korupsi dinegeri ini.
Akhirnya, saya pulang
ke Banjarmasin dengan otak yang terus berpikir, hingga akhirnya saya memutuskan
untuk menuliskan percakapan dengan dua orang yang luar biasa tersebut.
Pertama saya menyadari
bahwa transisi pemerintahan yang disebabkan oleh kondisi yang kacau menyebabkan
kesan dan kondisi psikologis yang tidak baik untuk rakyat. Ditambah lagi
sejarah yang kacau membuat seorang rakyat tidak tahu harus berada untuk posisi
apa iya akan bercerita apakah untuk menguak kebenaran atau diam agar tidak
diusik oleh siapapun yang berkepentingan menutup mulutnya.
Selanjutnya adalah
cerita tentang musuh bersama yang dimiliki bangsa Indonesia saat zaman Jepang.
Benar apa yang dikatakan oleh Bung Karno bahwa perjuangan kita jauh akan lebih
berat karena akan melawan bangsa kita sendiri, jika saya boleh menambahkan saat
ini lawan kita juga orang asing.
Hal ini mengingatkan
saya kembali akan novel yang ditulis oleh Multatuli dalam novelnya Max
Haveelar, dalam novel itu Multatuli menyinggung secara tersirat bahwa
penderitaan orang Hindia Belanda bukan serta merta karena pemerintahan Belanda
melainkan jug dikarenakan sikap para pengusa lokal yang berkelakuan sangat
konsumtif dan suka pamer namun ingin mendapatkan kemewahan itu dengan meramaps
dan menjarah barang atau tenaga rakyatnya sendiri, saya pikir hal ini masih
sangat relevan dengan cerita paman tentang betapa kondisi mental yang korup
dari pejabat bangsa ini tidak akan bisa diatasi lagi.
Ironis memang, namun
semua itu adalah kenyataan. Bagaimana menyikapinya? Bahwa etika, kejujuran,
tanggung jawab dan moral itu adalah karakter. Karakter tidak dimasukan dari luar,
iya adalah sesuatu yang berasal dari dalam diri setiap orang. Hanya dengan
kesadaran akan keharusan berlaku jujur, bertanggung jawab dan bermoral lah
setiap orang akan menjadi manusia. Harus saya katakan tidak seperti kuda yang
dilahirkan, untuk menjadi manusia seorang harus dibentuk. Bagaimana
menmbentuknya? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing dan melakukan
pembiasaan-pembiasaan akan kejujuran dan bertanggung jawab yang kita mulai dari
hal kecil dan diri kita sendiri.
Menyikapi tentang KKN
yang menjadi-jadi, saya pernah menghadiri seminar yang pematerinya adalah
Mahfud MD, dalam seminar itu beliau menyampaiakan bahwa hanya dengan pemutihan
lah politik oligarkis dan saling sandera dinegeri akan berhenti menghasilkan
para koruptor. Bagaimana tidak, saling sandera dan ancam buka kartu menyebabkan
suap, korupsi menjadi efek domino.
Rasanya hal ini bisa
saya terima sebagai salah satu solusi konkrit memberantas korupsi, asalkan
setelah pemutihan dosa dilakukan pejabat yang terindikasi korupsi saja harus
langsung diberhentikan, dimiskinkan atau bahkan dihukum mati. Kenapa? Karena
korupsi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sekarang, kita sebagai
pengamat hanya bisa menganjurkan bahwa lawan kita adalah penguasa korup yang
dalam prakteknya terkadang menjadi pembantu asing atau rela menjadi budak
mereka dengan mengorup kekayaan bangsanya sendiri.
Akhirnya, korupsi
bukanlah masalah kaya atau tidaknya seseorang, melainkan merasa cukup atau
tidaknya ia akan sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar