Budaya Senioritas di Masa Pengenalan.
Oeh : Taufik Rahman (1301110068)
28/September/2013
Masa
awal bagi seorang siswa baru untuk bergaul di sebuah sekolah-sekolah baik itu
negeri maupun swasta tidak lepas dari apa yang namanya Masa Orientasi. Yang
mana disebut-sebut bahwa itu adalah masa pengenalan bagi sang siswa baru dari
sekolahnya agar siswa tersebut ketika sudah memasuki proses pembelajaran tidak canggung lagi dalam
beradaptasi.
Namun
kenyataannya, di Indonesia entah sejak kapan dan sampai kapan masa pengenalan
ini menjadi “momok”bagoi setiap siswa baru yang hendak memasuki jenjang sekolah
yang leboih tinggi. Dan yang celakanya Persepsi tentang ketakutan hanya
dirasakn oleh siswa baru yangada di negeri ini. Perasaan itu bukannya muncul
dengan sendirinya tetapi dipicu oleh sebuah “budaya ” yang bisa kita namankan
budaya perpeloncoan.
Di sekolah-sekolah siswa baru di jadikan objek senioritas
oleh kaka kelas nya disuruh membawa barang dengan nama teka-teki yang pada akhirnya diserahakan kepada kaka
kelas seperti dijarah namun mereka berdalih ini adalh bagian dari pengembangan
intelektual siswa baru itu sendiri, lalu pertanyaannya apakah itu sesui dengan
nilai ketimuran di Indonesia yang menganut saling menghargai antar sesama dan
normatif ?.
tidak hanya sampai disitu, banyak dari siswa lama atau
bahkan semuanya berteriak-teriak tidak jelas dengan nada yang mengejek, nada
kasar, dan lain sebagainya kepada siswa baru dan dalih mereka lagi-lagi “ini
untuk mengembangkan mental ” sang siswa. lalu pertanyaannya apakah itu sesui
dengan nilai ketimuran di Indonesia yang menganut saling menghargai antar
sesama dan paham normatif ?.
“Main fisik”, push-up , sit up , lari keliling lapangan
dsb. Apakah itu mendidik ? sama sekali tidak.
itu hanya memberikan efek jera tanpa adanya pemikiran dari sang siswa
baru bahwa disiplin itu adalah kewajiban personal bukan paksaan, dan hal itu
terbukti ketika kegiatan “MOS” yang menggunakan sistem terlambat & hukum
(push up .,dsb) juga tidak memberikan sikap disiplin itu kepada siswa, buktinya
ketika proses jam belajar aktif digalakan masih banyak siswa yang terlambat
tanpa sadar akan kewajiban .
Di zaman saya masih aktif jadi pengurus OSIS dahulu
kegiatan yang satu ini adalah kegiatan yang selalu masuk di program kerja
setiap tahunnya, di saat itu sayapun masih berpikir bahwa kegiatan ini adalah
penting untuk pendisiplinan dan juga disisi lain jadi ajang “senioritas” yang
mana bisa dikatakan saat itu saya masih terjebak di jaman jahiliyah. Namun
terlepas daripada kesalahan yang pernah saya lakukan dalam pengelolaan kegiatan
di tempo dulu itu , saya mengajak sekaligus menyarankan kepada pengurus OSIS yang sekaran untuk dapat
mengubah konsep kegiatn yang keras , kasar, dan sedikit sekali pemikiran
menjadi kegiatan yang berdasarkan kepada pendidikan intelektual, kompetisi, dan
normatif serta kekeluargaan sehingga hal itu akan berdampak kepada KBM yang
kondusif. Dengan menghilangkan unsur
kekerasan itu berarti kita telah juga menekan budaya kekerasan yang masih kental
di republik ini.
Namun disisi lain juga tentu hal ini bukan lah tanggung
jawab dari pengurus OSIS dan panitia pelaksana semata karena masih ada pihak
yang dikatakan bertanggung jawab atas terlaksananya kegiatan ini yaitu Kesiswaan,
dari bapak-ibu guru dapat mengkaji ulang kegiatan yang satu ini, karena hal ini
tentu akan sangat berpengaruh di KBM, berpengaruh kepada psikologi siswa , dan
seorang siswa yang psikologinya terganggu karena bentakan dan kekerasan pasti
akan sulit mencerna pelajaran yang di berikan dan juga akan memicu kekerasan lain diluar sekolah sebagaimana
kegiatn ini telah memberikan banyak hal yang berkaitan dengan perpeloncoan.
Pada akhirnya untuk menutup tulisan saya ini saya akan
mengutip sebuah kata-kata dari Plato
yang berbunyi : “Bagaimana anda belajar, maka seperti itu anda akan mengajar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar