Selasa, 29 Desember 2015

Menjaga Kearifan Lokal di 2016



(Sumber Ilustrasi: Wisesatravel.com)
Menjaga Kearifan Lokal di 2016

Oleh: Taufik Rahman
(Pemuda Asal Kecamatan Belawang)
Belawang, 28 Desember 2016

Hari minggu kemaren saya untuk pertama kalinya setelah satu minggu terakhir kembali membaca koran karena ada beberapa kesibukan dan aktivitas yang menuntut saya pulang kampung dan meninggalkan rutinitas saya sebagai mahasiswa di Banjarmasin.


Selain membaca tentang kekhawatiran Bre Redana terhadap ancaman dunia virtual dan wartawan multitask yang dituntut menyajikan berita secara cepat terhadap perkembangan dunia surat kabar dan wartawan konvensional yang selalu mewawancara si narasumber, yang dalam proses wawancaranya dengan menggunakan notes,  bolpoint dsb, yang dalam hal ini menurutnya bukan semata penampungan omongan orang melainkan sebuah konfrontasi kesadaran berupa nilai moral, etik dan kemanusiaan. Saya juga tertarik terhadap tulisan Jean Couteau yang berjudul “Traumatis”, saya pikir inilah tulisan paling mengesankan saya selama satu minggu terakhir ini.


Dalam tulisannya, Jean Coeteau memperbandingkan seorang turis asing sebutlah bule yang berkunjung ke Indonesia dan sebaliknya seorang Indonesia yang berkunjung ke mancanegara taruhlah Prancis.

Traumatis

Berikut tulisan Jean yang menurut saya penting untuk kita renungkan bersama:

 Orang bule yang baru menginjak bumi Pertiwi akan selalu dan seketika merasa “enak”. Lihat saja daftar kesenangan potensial itu. cuaca? Tak perlu memakai mantel. Hujan? Jarang Hujan sepanjang hari. Kepanasan? Ke mal atau toko pasti ada AC. Duit? Aman-aman saja: tak mungkin dibiarkan tinggal di bawah kolong jembatan. Lalu bagaimana manusianya.. Waah!"

"Bagus". Entah kenapa, orang-orang senyum melulu, bahkan tak jarang sambil membungkuk-bungkuk. Baru si bule minta minum, langsung "ditawarin" bir. Lalu mau belanja? Semua serba murah-biarpun "dimahalin sedikit" dulu. Tetapi ini baru awal. Kalau mulai bergaul, biarpun bule itu bodoh tak ketulungan, pasti dianggap cerdas; baru dia mengucapkan satu-dua patah kata dalam "Bahasa", sudah dikatakan lancar.

Semua kagum. Oh, ya, saya lupa. Si bule boleh marah: yang dimarahi selalu diam-dianggap wajar orang bule marah.... Yang maha penting, kalau dia "naksir" cewek, kemungkinan besar gol, biarpun dia sendiri gembrot atau kudisan. Dianggap pangeran. Enak kan, bagi bule itu? Melihat itu semua, siapa yang tidak mau jadi bule di negeri dongeng Indonesia? Biarpun dituduh imperialis, dianggap tidak kenal moral dan ditipu, bule itu tidak perlu peduli. Bahkan dia pun bisa belajar untuk tersenyum.

Lalu, bagaimana kalau Anda, sebagai orang Indonesia, menginjakkan kaki di bumi para "hidung panjang", katakanlah Perancis. Lain sekali! Awalnya berat. Harus siap menggigil karena dingin. Kalau tidak ada teman Indonesia untuk membantu, pasti susah. Siapa yang bisa diajak ngomong? Orang-orang bergegas-gegas "lagaknya persis robot". Kalau tidak ada "robot" itu, biasanya tidak ada siapa pun: jalan-jalan kosong. Lalu, bila sempat bertemu orang, pasti Anda akan tersenyum, kan? Seperti orang Indonesia pada umumnya. Tapi justru keliru: 50 persen kemungkinan bahwa si bule yang Anda sapa dengan senyum, akan bermuka mesem atau bergaya sombong.

Tak jelas sebabnya, tapi memang begitulah orang bule! Pokoknya jangan tersenyum, apalagi dengan menatap mata. Bisa-bisa diganggu, dipikir menantang berkelahi, atau kalau perempuan, dikira mengajak mesum. Membingungkan. Tetapi camkanlah di otak: harus cuek, bahkan rada arogan, baru "dipandang". Dan jangan dikira bahasa Inggris akan membantu! Apalagi bila sebatas "cas-cus" saja: bisa-bisa Anda dikira imigran gelap.

Lalu, bila berani naik angkutan umum, dan terutama bila tetap berani tersenyum, bisa jadi kecopetan dompetnya oleh sesama "imigran". Apakah lebih aman kalau belanja? Ya! Tetapi, jangan kaget bila dianggap kere dan tak dihiraukan oleh pramuniaga. Frustrasi!


Bersyukur Jadi Indonesia


Dan akhir tulisannya, Couteau menuliskan –Sialan: yang dikira jelek selalu juga ada baiknya dan kebalikannya (pen- yang kita kira baik ada juga keburukannya.)


Membaca tulisan Jean Couteau diatas seharusnya menjadi bahan perenungan kita sebagai bangsa dan manusia. Kita terkadang selalu fokus kepada perkembangan di Eropa –bukan ilmu dan pengetahuannya. Melainkan gayanya, fashionnya, busananya, tidak acuhnya dan lain-lain yang semua itu hanyalah atribut dari sebuah kemajuan, kita mengenal Barat dari apa yang dipakainya bukan dari apa yang dipikirkannya? Dan bagaimana pola fikirnya? di kepalanya yang yang merupakan substansi sebenarnya dari kemajuan mereka.


Kita terlalu sibuk mengkritik negeri sendiri lantaran oligarki politik yang tak kunjung reda walaupun sudah reformasi, sementara itu kita terkesan latah dan lupa bagaimana nikmatnya menjadi orang dan tinggal di Indonesia yang merupakan tempat yang bersahaja. Keramahan kita sebagai bangsa yang selalu tersenyum kepada sesama, menjalin hubungan akrab dengan tetangga dan anak-anak yang berlarian disepanjang jalan dengan bebasnya.


Kita mungkin juga lupa menyukuri betapa di Indonesia kita bisa membaca yasin, tahlilan dengan mengumpulkan orang banyak atau berkumpul sambil menikmati kopi berdiskusi ria semalaman suntuk dan tidak ada yang merasa terganggu atau aparat yang menangkap kita lantaran dianggap membawa agama keranah publik atau mengganggu ketertiban umum. Menganggumkan.


Tetapi, dalam tulisan Couetau ada beberapa hal yang semestinya menjadi perbaikan orang Indonesia, apa itu? sikap kita terhadap orang asing dalam tulisan Coueteau terlihat sangat ramah tetapi terkesan menghamba dilain sisi. Apa yang semestinya dirubah dari pola pandang ini? Pola pandang yang terlalu mengagungkan bule yang datang ke tanah air itulah menurut penulis harus diubah. Mengapa? Memang sebagai tuan rumah sudah selayaknya berlaku baik terhadap tamu, tetapi berlaku seolah derajat kemanusiaan mereka lebih tinggi dari kita itulah yang salah. Ketidak mampuan seseorang dalam memandang kesamaan derajat manusia hanya akan menciptakan kelas sosial. Saat kelas sosial sudah terbentuk, maka siap-siaplah menuai neofeodalism.


Alhasil, tulisan Couteau yang sebenarnya hanya membandingkan kebudayaan menyambut orang asing diatas menuntut kita untuk memperbaiki paradigma serta kualitas diri sehingga tidak lagi ketinggalan baik itu dari segi bahasa ataupun yang lainnya.


Modernitas dan Westernisasi


Memang, sudah tidak bisa lagi dipungkiri bahwa Barat dewasa ini telah menjadi semacam kiblat dari apa yang kita namakan kemajuan, benarkah? Dalam konstelasi ilmu, metode, peradaban, ekonomi hingga politik harus kita akui bahwa Barat secara komunal adalah arah semua manusia dalam berkaca. Tetapi kemajuan dalam berbagai bidang itu tidak menggambarkan semua bidang, taruhlah moral, agama dan etika orang Barat. Bagaimana di Prancis yang katanya merupakan negara paling menjunjung kebebasan ternyata tidak memperbolehkan atribut keagamaan dsb dipakai dihadapan umum atau free sex yang merajalela. Semua yang dilakukan oleh Barat tidak mesti kita sebut modern, modern adalah kemajuan bukan ketidakberaturan, modern adalah toleransi bukan pencampur adukan, modern adalah menikah bukan perzinaan, modern adalah kesaling bergantungan bukan ketergantungan.


Selain itu modernisasi dapat terwujud apabila masyarakatnya memiliki individu yang mempunyai sikap modern. Menurut Alex Inkeles seperti dikutip oleh Faisal Ismail  terdapat 9 ciri manusia modern. ciri-ciri itu sebagai berikut:
1. memiliki sikap hidup untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka untuk perubahan.
2. Memiliki keberanian untuk menyatakan pendapat dan demokratis
3. Menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi ke masa depan
4. Memiliki perencanaan dan pengorganisasian.
5. Percaya diri.
6. Perhitungan.
7. Menghargai harkat hidup manusia lain.
8. Percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
9. Menjunjung tinggi suatu sikap dimana imbalan yang diterima seseorang haruslah sesuai dengan prestasinya dalam masyarakat.


Maka oleh karena itulah modernisasi bukanlah westernisasi. Untuk menjadi modern kita tidak mesti harus menjadi Barat yang tidak seutuhnya modern. Saat ini kita memang tidak maju dalam beberapa hal, tetapi pada hal toleransi, keberagamaan, budaya dan adat istiadat kita jauh lebih modern dari orang barat. Kearifan lokal kita sebagai bangsa inilah yang semestinya kita jaga dan syukuri dengan tentunya membuang pikiran kolot ala feodalisme. Serta terus berusaha menggapai kemajuan dan kemodernan dibidang-bidang lain dengan terus berusaha ditahun akan datang. Selamat tahun baru 2016.
Taufik Rahman, Dimalam Penuh Nyamuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar