sumber ilustrasi: https://lamrisurabaya.files.wordpress.com/2015/04/kritis.jpg
Pelajaran Ronny: Untuk Mahasiswa dan Rektorat
Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga 2013- IAIN
Antasari Banjarmasin)
Lebih baik terasingkan daripada menyerah terhadap
kemunafikan
-Soe Hok Gie
Pemberhentian yang
dilakukan oleh Rektor Universitas Jakarta terhadap Ronny Setiawan telah menuai
kecaman keras dari publik. Setidaknya dukungan terhadap Ronny Setiawan telah
mendapat puluhan ribu dukungan di jejaring sosial dengan tagar #SaveRonny.
Sebetulnya karena sudah
kalah heboh daripada Teror Thamrin kemarin saya agak malas untuk menulis
tentang kejadian yang sudah sedikit kadaluarsa ini, tetapi karena tuntutan
nurani dan perjuangan mahasiswa itu sendiri saya fokuskan untuk menulisnya hari
ini (15/01/2015), saat ini juga 16.00 WITA.
Bahwa selamanya
mahasiswa adalah sumber kekacauan dinegeri ini, begitulah gurauan dari salah
satu teman diskusi saya saat berada di asrama IAIN Antasari Banjarmasin. Kalau
kita pikir hal itu ada benarnya juga –walaupun saya tidak mengetahui maksud
sebenarnya yang dikatakan teman saya itu. merekalah yang jauh-jauh hari
bersumpah dengan nama Indonesia, Merekalah yang mengacaukan hegemoni 32 tahun
kekuasaan orde baru, memupus orde lama dan terakhir yang menggetarkan adalah
menyemai virus-virus reformasi disegala bidang sejak 1998.
Dan ternyata tidak
seperti apa yang disangkakan banyak pihak yang menduga bahwa saat ini gerakan mahasiswa
telah mati dan terkubur. Asa itu kembali dihidupkan lagi oleh mahasiswa asal
Universitas Negeri Jakarta sekaligus ketua BEM, Ronny Setiawan. Walaupun hal
itu tidak iya lakukan secara komunal atau membawa masa yang banyak. Oleh pihak
kampus, dalam SK Rektor UNJ Nomor 1/SP/2016, Ronny dinilai oleh rektorat telah
melakukan tindakan yang tergolong sebagai perbuatan kejahatan berbasis
teknologi, penghasutan dan pencemaran nama baik sehingga iya diberhentikan
sebagai mahasiswa dan ketua BEM.
Namun akhirnya, setelah
didesak publik melalui jejaring sosial dan media lain, Rektor mencabut surat
pemberhentian tersebut pada 6 januari lalu.
Adakah urgensinya
peristiwa Ronny ini dengan apa yang terjadi di Kalimantan Selatan khususnya
kondisi mahasiswa di IAIN Antasari Banjarmasin? Bisa iya bisa tidak.
Untuk membuat tulisan
ini tidak berakhir disini, katakan saja ada urgensinya.
Senjata itu Bernama Jejaring Sosial
Jika dari sudut pandang
objektif, penulis menilai peristiwa Ronny ini adalah sinyal hati-hati yang
dikirimkan oleh mahasiswa kepada pihak rektorat di perguruan tinggi manapun. Peristiwa
ini memberikan semacam pelajaran kepada kita semua bahwa saat ini tidak adalagi
dasar bagi rektorat untuk bersikap sepihak terhadap kekritisan mahasiswa. Hanya
pengadilanlah yang berhak memvonis apakah seseorang berbuat jahat atau
melakukan tindak pidana lain.
Seandainya tindakan
represi terus dilakukan oleh pihak kampus –jika memang ada, maka hal itu
sedikit banyak akan menuai kecaman publik baik dari media sosial maupun nyata.
Yang paling membuat
penulis kagum pada peristiwa Ronny adalah gerakan tagar yang begitu cepat
menyebar dan membuat publik bersimpati terhadap Ronny dan ingin
menyelamatkannya dari pemberhentian oleh rektorat. Walaupun hanya gerakan di
dunia maya, tetapi efeknya sungguh luar biasa yakni dengan dicabutnya SK
pemberhentian.
Memang, saat ini kita
tidak bisa lagi menafikan bahwa internet dan jejaring sosial telah menjadi
salah satu faktor perubahan sosial, internet tidak hanya menjadi sarana
penghubung yang jauh tetapi lebih maju lagi, internet kita bisa dijadikan semacam
senjata.
Mengingat peristiwa
pengaruh internet terhadap gejala sosial yang paling mencengangkan menurut
penulis adalah Wikileaks, bagaimana tidak? Pada Juli
2010, situs ini mengundang kontroversi karena pembocoran dokumen Perang
Afganistan. Selanjutnya, pada Oktober 2010, hampir 400.000 dokumen Perang Irak
dibocorkan oleh situs ini.Pada November 2010, WikiLeaks mulai merilis
pembocoran kawat diplomatik Amerika Serikat. Dan lebih dari 247 data, fakta dan
dokumen dari Kedutaan Besar AS disejumlah negara. wikileaks membongkar habis
keburukan AS, kejahatan perangnya di Afganistan dan Irak. Menurut beberapa
analis peristiwa ini merupakan kebocoran data intelejen paling besar yang
pernah terjadi. Keburukan AS ditelanjangi habis-habisan dari laporan-laporan
yang seharusnya menurut kepentingan Amerika tidak boleh diketahui oleh publik.
Tidak hanya AS, seluruh dunia dikejutkan dengan laporan-laporan dan data yang
dipublikasikan.
Hanya dengan sekali unggah, informasi bisa menyebar
keseluruh dunia saat itu juga dan selamanya. Dengan begitu, bagaimanapun
bentuknya baik penting maupun tidak, informasi yang diunggah ke internet (baca:jejaring
sosial) pasti akan menuai banyak tanggapan, baik itu positif ataupun negatif, tanggapan-tanggapan
inilah yang akan membentuk sebuah gejala sosial. Artinya, jika informasi itu
dianggap bertentangan dengan keadilan, kepantasan dan norma kesusilaan maka
tunggulah publik yang akan menjadi hakim dengan beragam penilaiannya, tentunya
sebuah penilaian yang sesuai dengan hati nurani serta tidak didompleng oleh
kepentingan apapun.
Bungkam dan Tidak Berani Menyampaikan Pendapat
itulah Masalahnya
Lain daripada itu, saya menilai bahwa peristiwa
Ronny ini adalah semacam babak baru dalam sejarah perjuangan mahasiswa. Ronny yang
dengan vokal mengkritik berbagai hal dikampus oleh pihak rektorat dianggap
sebagai hal “aneh” dan tidak wajar. Artinya Ronny seolah-olah melawan arus
kewajaran seorang mahasiswa , kritiknya dinilai sebagai sesuatu yang tidak
wajar. Ini mengindikasikan satu hal yang selalu penulis khawatirkan, meminjam
istilah Ahmad Saufi inilah yang dinamakan kematian mahasiswa. Kematian mahasiswa
ini adalah saat mahasiswa hanya diam dan bungkam saat ketidak adilan menimpa
mereka.Padahal seharusnya setiap kampus bangga memiliki mahasiswa yang kritis, pasalnya hal itu membuktikan bahwa nurani dan pikiran mahasiswanya masih hidup, dan sebaliknya.
Padahal menurut Alex Inkeles seperti dikutip oleh Faisal Ismail dua
daru 9 ciri manusia modern itu adalah memiliki sikap hidup untuk menerima
hal-hal yang baru dan terbuka untuk perubahan serta memiliki keberanian untuk
menyatakan pendapat dan demokratis
Diamnya mahasiswa seolah dinilai adalah hal biasa
oleh pihak rektorat dan berkoarnya mereka seperti semacam ancaman akan status
quo. Padahal, sekarang ini era kampus sebagai menara gading sudah berakhir. Sikap
tidak mau dikritik seperti raja-raja feodal dahulu harus dihilangkan, apalagi
dilain pihak mereka (dosen/pihak kampus) adalah kaum intelektual itu sendiri.
Seperti yang saya sebut diawal sebagai era baru
perjuangan mahasiswa, maka periode ini mahasiswa-mahasiswa yang masih memiliki
tingkat pengamatan yang tinggi kepada lingkungan sudah semestinya membangunkan
hibernasi mahasiswa lainnya untuk pergerakan itu sendiri, terutama dalam
membangun budaya akademis yang tinggi. Kenapa harus budaya akademis yang kita
bangun? Karena mustahil orang yang bodoh akan membuat perubahan. Kenapa harus
budaya akademis yang kita bangun, karena budaya akademis kita jauh tertinggal
dibandingkan dengan pulau-pulau lain. Walaupun juga tidak menutup kemungkinan
dalam memperjuangkan hal lain.
Selain itu, mahasiswa juga harus vokal menyuarakan
pendapat dalam menanggapi isu-isu maupun
wacana yang terjadi dikampus sebagai kontrol sosial. Bagaimana caranya? Dalam The 7 Habits of Highly Effective People Stepan
R. Covey mengungkapkan bahwa yang pertama kali harus diubah adalah paradigma
untuk bisa lebih efektif dalam kehidupan.
Saat ini sebagaimana kita ketahui, zaman telah
berbeda. untuk mencapai kedinamisan dalam alam berfikir mahasiswa sudah sangat
tertinggal sekali jikalau masih menggunakan indoktrinasi dalam pengkaderan. Kenapa?
Karena menurut Rene Descartes dalam Methode
on Discurrse bahwa akal budi adalah satu-satunya hal yang bisa dikendalikan
oleh manusia secara sempurna sesuai keinginannya.
Maka dari itu untuk mencapai sebuah bangunan pikiran
yang kritis, mahasiswa bisa membangunnya secara otodidak asalkan mau peduli
dengan keadaan sekitar dan budaya akademis yang baik.
Alhasil, semoga kita bisa memanfaatkan jaringan
internet dan kemauan kita untuk membangun perguruan tinggi tempat kita belajar.
Mustahil kemajuan bisa dicapai jika tidak ada niatan untuk maju dari segenap
orang yang berada disuatu institusi.
Wallahu ‘alam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar