Jumat, 22 Januari 2016

Kapitalisme Perang dan Teror



Kapitalisme Perang dan Teror


(Sumber Ilustrasi: naufal-reverbnation.blogspot.com)

Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin angkatan 2013)

14 Januari 2016, Jakarta dikejutkan oleh serangan teroris di perempatan MH Thamrin dan Starbucks Coffe. Seketika itu juga publik geger dan terkejut, namun seolah-olah serangan itu tidak berarti bagi mental bangsa Indonesia. Teror yang seharusnya menciptakan ketakutan, kegelisahan dan kecurigaan satu sama lain justeru tidak memberi bekas terhadap perasaan dan kondisi kejiwaan bangsa ini secara komunal. Buktinya, banyak foto-foto yang beredar didunia maya menunjukan aktivitas berjualan dan lain sebagainya di tempat kejadian teror.



Diluar yang terjadi dinegeri ini –entah apakah benar mental kita kuat atau nurani kita yang telah beku sehingga tidak mempan diteror seperti itu, jelas teror merupakan suatu trik yang digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk mendapat keuntungan dari ketakutan orang-orang entah itu bersifat politis, idealis ataupun ekonomi.



Sebagaimana yang kita ketahui saat ini, teror-teror yang terjadi belakangan seperti yang terjadi di Paris telah diklaim oleh pihak Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS- padananan Istilah ISIS) sebagai caranya memerangi Barat guna menegakan khalifah. Serangan-serangan itu mereka akui sebagai cara berjihad untuk membela agama. Jika hanya memandang dari sudut itu, kita akan percaya bahwa perang dan teror adalah persoalan idealisme dan ideologi. Jika kerangka berfikirnya sudah demikian, maka ujung dari masalah teror dan perang ini akan sampai kepada ajaran dasar baik agama ataupun ideologi tertentu. Maka yang diperjuangkan adalah masalah kebenaran, keadilan, harga diri dan idealisme. Bagi penulis hal ini akan berakibat satu hal, yakni agama akan dipandang sebagai sumber teror dan perang. Padahal, semua itu tidak lain dari kegagalan penganutnya memahami ajaran agamanya, dan melahirkan salibis nasrani saat menyerang Jerusallem, Ekstrimis Hindu yang menyemai permusahan dengan muslim di India, Zionis Yahudi yang membombardir palestina dan sekarang ini Ekstrimis Fundamentalis yang menamakan diri mereka ISIS dengan mengutipi ayat Al-Qur’an untuk melegalkan perang dan teror.



Oleh karenanya, menurut penulis bahwa perang dan teror bukan semata persoalan idealism, ideologi atau masalah ajaran yang dipaksakan untuk diperjuangkan secara komunal oleh kelompok-kelompok tertentu. Tetapi, perang dan teror bisa saja merupakan masalah ekonomi, politik, kepentingan atau bahkan memang sengaja diciptakan membangun bisnis.



ISIS dan Bisnis Gelap
Keberadaan ISIS oleh seluruh dunia secara resmi dianggap sebagai ancaman, tetapi semua itu berbanding terbalik saat dihadapakan dengan fakta bahwa ISIS hidup dari menjual minyak mentah yang dicuri dari Irak. Kemana aliran minyak tersebut? Terlalu banyak spekulasi yang kita hasilkan jika menduga-duga negara mana yang menjadi pembeli. Namun hal tersebut menjadi sedikit jelas saat terjadi konfrontasi antara Turki dan Rusia beberapa waktu lalu. Saat itu pemimpin kedua negara saling tuding bahwa mereka membeli minyak mentah ilegal dari ISIS. Tudingan kedua negara itu tentunya sudah cukup membuktikan bahwa Barat kemungkinan terlibat dalam bisnis dengan ISIS yang dilain sisi merupakan musuh ideologis.



Eksportir Senjata Terbesar
Lain dengan ISIS yang berdagang minyak secara gelap untuk menyokong nafsu ideologisnya, Arab Saudi pada tahun 2014 telah menjadi importir senjata terbesar didunia. Tak kurang dana 6, 4 miliar USD telah digelontorkan untuk mendatangkan peralatan alutsista dari negara-negara Barat. Ketegangan suhu politik di timur tengah semacam menjadi berkah bagi produsen-produsen senjata di Amerika dan Rusia. Hingga akhir 2014 Amerika dan Rusia masing-masing telah menjadi eksportir senjata terbesar didunia dengan penghasilan tak kurang dari 23, 7 miliar USD dan 10 miliar USD.



Ekonomi Perang dan Teror
Gambaran-gambaran fakta diatas memang terlalu sedikit untuk menyimpulkan bahwa ada kepentingan lain dibalik perang dan teror, tetapi walaupun sedikit kemungkinan itu pasti ada. Nilai uang yang dihasilkan dari kekacauan politis dan kecurigaan terhadap ancaman perang dari negara lain telah menghasilkan bisnis yang menjanjikan bagi negara-negara Barat. Sampai disini, perang dan teror bukan lagi masalah ideologi, iman ataupun agama melainkan masalah bagaimana perang itu bisa menjadi sumber pemasukan minyak dengan harga yang murah dan melariskan jualan senjata si produsen.


Agama hanyalah korban dari nafsu keserakahan manusia untuk menguasai manusia lainnya dengan teknologi, seperti yang diungkapkan oleh Kathleen Bliss bahwa krisis agama yang sering diperbincangkan disebabkan oleh berbagai perubahan yang secara kasar digambarkan dalam ungkapan revolusi industri, perkembangan ilmu teknologi, dan sebagainya.



Selain itu, tentu perang dan teror akan menghasilkan suatu label tertentu terhadap merk senjata, senjata yang sudah pernah dibawa kemedan pertempuran akan mendapat label Battle Proven (teruji dimedan laga). Hal ini menjadi sangat ironis saat kita sadar medan laga untuk mendapatkan label, uang, dan minyak itu adalah Suriah, Palestina, Libya, Afganistan, dan Irak.


Ironisnya, pertama, islam as religion telah dijadikan semacam kambing hitam kekacauan dunia. Kedua, islam as society telah menjadi korban pertempuran, perang dan teror.
Siapa yang menanggung untung dari minyak, uang dan bisnis dalam perang dan teror ini? Semoga pembaca yang budiman tidak salah dalam menilai.


Wallahu ‘Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar