Kapitalisme Perang dan Teror
(Sumber Ilustrasi: naufal-reverbnation.blogspot.com)
Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin angkatan 2013)
14 Januari 2016,
Jakarta dikejutkan oleh serangan teroris di perempatan MH Thamrin dan Starbucks
Coffe. Seketika itu juga publik geger dan terkejut, namun seolah-olah serangan
itu tidak berarti bagi mental bangsa Indonesia. Teror yang seharusnya
menciptakan ketakutan, kegelisahan dan kecurigaan satu sama lain justeru tidak
memberi bekas terhadap perasaan dan kondisi kejiwaan bangsa ini secara komunal.
Buktinya, banyak foto-foto yang beredar didunia maya menunjukan aktivitas
berjualan dan lain sebagainya di tempat kejadian teror.
Diluar yang terjadi
dinegeri ini –entah apakah benar mental kita kuat atau nurani kita yang telah
beku sehingga tidak mempan diteror seperti itu, jelas teror merupakan suatu
trik yang digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk mendapat keuntungan dari
ketakutan orang-orang entah itu bersifat politis, idealis ataupun ekonomi.
Sebagaimana yang kita
ketahui saat ini, teror-teror yang terjadi belakangan seperti yang terjadi di
Paris telah diklaim oleh pihak Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS- padananan
Istilah ISIS) sebagai caranya memerangi Barat guna menegakan khalifah.
Serangan-serangan itu mereka akui sebagai cara berjihad untuk membela agama. Jika
hanya memandang dari sudut itu, kita akan percaya bahwa perang dan teror adalah
persoalan idealisme dan ideologi. Jika kerangka berfikirnya sudah demikian,
maka ujung dari masalah teror dan perang ini akan sampai kepada ajaran dasar
baik agama ataupun ideologi tertentu. Maka yang diperjuangkan adalah masalah
kebenaran, keadilan, harga diri dan idealisme. Bagi penulis hal ini akan
berakibat satu hal, yakni agama akan dipandang sebagai sumber teror dan perang.
Padahal, semua itu tidak lain dari kegagalan penganutnya memahami ajaran
agamanya, dan melahirkan salibis nasrani saat menyerang Jerusallem, Ekstrimis
Hindu yang menyemai permusahan dengan muslim di India, Zionis Yahudi yang
membombardir palestina dan sekarang ini Ekstrimis Fundamentalis yang menamakan
diri mereka ISIS dengan mengutipi ayat Al-Qur’an untuk melegalkan perang dan
teror.
Oleh karenanya, menurut
penulis bahwa perang dan teror bukan semata persoalan idealism, ideologi atau
masalah ajaran yang dipaksakan untuk diperjuangkan secara komunal oleh
kelompok-kelompok tertentu. Tetapi, perang dan teror bisa saja merupakan
masalah ekonomi, politik, kepentingan atau bahkan memang sengaja diciptakan
membangun bisnis.
ISIS dan Bisnis Gelap
Keberadaan ISIS oleh
seluruh dunia secara resmi dianggap sebagai ancaman, tetapi semua itu
berbanding terbalik saat dihadapakan dengan fakta bahwa ISIS hidup dari menjual
minyak mentah yang dicuri dari Irak. Kemana aliran minyak tersebut? Terlalu
banyak spekulasi yang kita hasilkan jika menduga-duga negara mana yang menjadi
pembeli. Namun hal tersebut menjadi sedikit jelas saat terjadi konfrontasi
antara Turki dan Rusia beberapa waktu lalu. Saat itu pemimpin kedua negara
saling tuding bahwa mereka membeli minyak mentah ilegal dari ISIS. Tudingan
kedua negara itu tentunya sudah cukup membuktikan bahwa Barat kemungkinan
terlibat dalam bisnis dengan ISIS yang dilain sisi merupakan musuh ideologis.
Eksportir Senjata Terbesar
Lain dengan ISIS yang
berdagang minyak secara gelap untuk menyokong nafsu ideologisnya, Arab Saudi
pada tahun 2014 telah menjadi importir senjata terbesar didunia. Tak kurang
dana 6, 4 miliar USD telah digelontorkan untuk mendatangkan peralatan alutsista
dari negara-negara Barat. Ketegangan suhu politik di timur tengah semacam
menjadi berkah bagi produsen-produsen senjata di Amerika dan Rusia. Hingga
akhir 2014 Amerika dan Rusia masing-masing telah menjadi eksportir senjata
terbesar didunia dengan penghasilan tak kurang dari 23, 7 miliar USD dan 10
miliar USD.
Ekonomi Perang dan Teror
Gambaran-gambaran fakta
diatas memang terlalu sedikit untuk menyimpulkan bahwa ada kepentingan lain
dibalik perang dan teror, tetapi walaupun sedikit kemungkinan itu pasti ada.
Nilai uang yang dihasilkan dari kekacauan politis dan kecurigaan terhadap ancaman
perang dari negara lain telah menghasilkan bisnis yang menjanjikan bagi
negara-negara Barat. Sampai disini, perang dan teror bukan lagi masalah
ideologi, iman ataupun agama melainkan masalah bagaimana perang itu bisa
menjadi sumber pemasukan minyak dengan harga yang murah dan melariskan jualan
senjata si produsen.
Agama hanyalah korban
dari nafsu keserakahan manusia untuk menguasai manusia lainnya dengan
teknologi, seperti yang diungkapkan oleh Kathleen Bliss bahwa krisis agama yang
sering diperbincangkan disebabkan oleh berbagai perubahan yang secara kasar
digambarkan dalam ungkapan revolusi industri, perkembangan ilmu teknologi, dan
sebagainya.
Selain itu, tentu
perang dan teror akan menghasilkan suatu label tertentu terhadap merk senjata,
senjata yang sudah pernah dibawa kemedan pertempuran akan mendapat label Battle Proven (teruji dimedan laga). Hal
ini menjadi sangat ironis saat kita sadar medan laga untuk mendapatkan label,
uang, dan minyak itu adalah Suriah, Palestina, Libya, Afganistan, dan Irak.
Ironisnya, pertama, islam as religion telah dijadikan
semacam kambing hitam kekacauan dunia. Kedua, islam as society telah menjadi korban pertempuran, perang dan
teror.
Siapa yang menanggung
untung dari minyak, uang dan bisnis dalam perang dan teror ini? Semoga pembaca
yang budiman tidak salah dalam menilai.
Wallahu ‘Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar