Jumat, 05 Agustus 2016

Antara Hukum, Aparat dan Kejahatan

Antara Hukum, Aparat dan Kejahatan
 
 
Oleh: Taufik Rahman
 
(Mahasiswa Hukum Keluarga IAIN Antasari Banjarmasin
Kadiv. Organisasi Kerukunan Mahasiswa Kabupaten Barito Kuala)


Sumber Foto: makassarkini.net


Etika profesi adalah bagian dari etika sosial, yaitu filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagia anggota umat manusia. Untuk melaksanakan profesi yang luhur itu secara baik, dituntut moralitas yang tinggi dari pelakunya (Magnis Suseno et.al., 1991 : 75). Tiga ciri moralitas yang tinggi itu adalah : Pertama, berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi. Kedua, Sadar akan kewajibannya, dan ketiga, memiliki idealisme yang tinggi.
 
 
 
Kemudian, Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara (C.S.T. Kansil, 2003 : 8). Sebagai negara hukum (Rechtstaat) maka mutlak secara normatif bagi negara Indonesia untuk menegakan hukum itu sebagai mana mestinya, bahkan setiap mengatur tindak-tanduk dan perilaku warganya.
 
 
 
Bagi negara hukum, hukum merupakan panglima. Hukum adalah sesuatu yang bebas dari perihal kekuasaan dan kekuatan apapun. Dan tegak atau tidaknya hukum itu oleh M. Lawrance Friedman salah satunya dipengaruhi oleh aparatur penegak hukum itu sendiri.
 
 
 
Itulah yang selama ini penulis pelajari secara normatif dibangku perkuliahan. Namun, yang seharusnya belum tentu terjadi pada apa yang nyatanya. Bahkan terkadang, hal-hal normatif itu sendiri dianggap sulit untuk dikerjakan atau tidak diterapkan sama sekali dalam kehidupan.
 
 
 
Aparat penegak hukum baik itu hakim, jaksa, polisi, pengacara maupun sipir penjara yang diharapkan untuk menegakan hukum dan memberantas berbagai kejahatan kini sedang dalam sorotan tajam dari masyarakat. Mereka menjadi perhatian lantaran ada oknum-oknum yang sedang tersandung kasus kejahatan. Baik itu penyuapan, korupsi, pecandu hingga menjadi sindikat pengedar narkoba.
 
 
 
Belakangan, penjara yang semestinya menjadi tempat untuk membina masyarakat yang menjalani hukuman digunakan sebagai tempat pengedaran sampai memproduksi narkoba. Penjara disalahgunakan, dari tempat untuk menghukum menjadi tempat paling aman dalam menjalankan bisnis haram. Tak kurang Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Denpasar, di Ke­robokan, Kabupaten Badung, Bali dalam penggeledahan yang dilakukan oleh Polda Bali, Polres Badung, BNN Bali, TNI, dan petugas dari LP Kerobokan berhasil menyita 20 paket sabu. Ditemukan pula 346 butir ekstasi warna merah muda, 9,56 gram ekstasi warna ku­ning, timbangan, empat bundel plastik klip, bong, dan kotak kayu. Selain itu banyak lagi lapas yang menjadi tempat peredaran narkoba.
 
 
 
 
Dibongkarnya pengedaran narkoba dalam lapas oleh aparat hukum diatas juga menunjukan bahwa ada aparat hukum yang justeru terjerumus untuk melindungi para pengedar, baik itu kepala lapas ataupun sipir dipenjara.
 
 
 
 
Sungguh memprihatinkan memang, namun inilah kenyataan yang terjadi dan harus kita hadapi. Sipir yang semestinya bertanggung jawab terhadap pengawasan, keamanan, dan keselamatan serta mengendalikan narapidana di penjara justeru berkongsi untuk melakukan kejahatan.
 
 
Rekrutmen Penegak Hukum yang Harus dibenahi
 
Kembali pada pelajaran yang penulis dapat dibangku perkuliahan bahwa untuk menjadi penegak hukum yang baik maka aparat itu harus Pertama, berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi. Kedua, Sadar akan kewajibannya, dan ketiga, memiliki idealisme yang tinggi.
 
 
Demi tegaknya hukum yang baik ketiga hal itu mutlak dimiliki seorang aparatur hukum disuatu negara, baik itu hakim, jaksa, polisi dan advokat. Jika ketiga hal itu tidak dimiliki oleh aparat dalam menjalankan profesinya maka sulit bagi kita melihat terwujudnya penegakan hukum yang baik.
 
 
 
Akar permasalahannya sederhana, jika aparat penegak hukum tersebut direkrut melalui proses yang fair serta tidak ada sogok menyogok didalamnya maka kita akan mendapati aparat penegak hukum yang baik –hal ini juga berlaku sebaliknya. Bahwa pola perekrutan yang salah tidak akan pernah menghasilkan orang baik. Ketika orang yang menegakan hukum itu sendiri tidak baik maka jangan berharap korupsi, kolusi, nepotisme, narkoba dan tindak kejahatan lainnya akan diberantas dari negeri ini.
 
 
 
Mentalitas untuk duduk dikursi penegak hukum dengan menyogok atau karena memiliki kerabat yang bisa membantu haruslah diubah. Posisi sebagai aparatur penegak hukum bukanlah profesi biasa, ia adalah officium nobile (jabatan terhormat) yang tentunya dalam praktiknya baik itu rekrutmen maupun menjalankan tugasnya harus bersih daripada cara-cara kotor.
 
 
 
Esensi Pendidikan Itu Bukan Hanya Pembelajaran
 
Untuk menjadi aparatur hukum yang baik, seseorang haruslah mengerti teori-teori hukum, peraturan perundang-undangan, hukum acara serta pemahaman sosiologis yang mempuni. Namun, hal itu bukanlah hal sentral dalam hal penegakan hukum, kenapa?. Selamanya hukum merupakan abstraksi yang sulit untuk diterjemahkan bahkan hingga kini belum ditemukan rumusan yang tepat tentang definisinya oleh ahli hukum. Penerjemahan keadilan hukum yang abstrak kehal-hal konkrit inilah yang menjadi poros utama dalam penegakan hukum, dan hal ini dilakukan oleh manusia.
 
 
 
Moralitas dan etika, itulah kunci utamanya. Pendidikan hukum idealnya tidak hanya mengajarkan tentang pengetahuan-pengetahuan hukum, namun lebih jauh pendidikan hukum haruslah membuka dan menggugah kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kesamaan.
 
 
 
Pendidikan harus dilakukan sebagai pendidikan itu sendiri, pendidikan tidak boleh hanya dianggap sebagai pembelajaran belaka. Karena pembelajaran semata hanya akan membuat manusia menjadi hewan yang berpengetahuan, sementara pendidikan dengan dilandasi nilai-nilai etika dan moral akan membuat manusia menjadi manusia yang benar-benar.
 
 
 
Akhirnya, semua tentang hukum yang ideal, pemberantasan narkoba, korupsi dan berbagai macam tindak kejahatan hanya akan menjadi harapan dan angan-angan belaka jika aparat penegak hukumnya sendiri belum bisa memperbaiki diri.
 
 
 
Sementara itu, tidak ada yang bisa memperbaiki etika dan moral seorang penegak hukum itu melainkan kesadaran dari mereka sendiri dalam memandang hukum, keadilan dan kejujuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar