Kamis, 04 Agustus 2016

Inikah Awal Jurnalisme Baru Kita?

Inikah Awal Jurnalisme Baru Kita?
 
 
Oleh: Taufik Rahman
 
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga IAIN Antasari Banjarmasin;
Pegiat Pers Mahasiswa di LPM SUKMA)
 
 
 
Seperti rotasi roda, apa yang dahulunya ada diatas bisa saja hari ini, esok atau bulan depan menjadi dibawah bahkan hilang sama sekali dari peredaran. Karena sejatinya tidak ada yang abadi di dunia ini, bahkan kata keabadiaan itu sendiri.
 
 
Semenjak 59 SM di Romawi kuno, manusia telah mencoba menghadirkan berita sosial dan politik ketengah publik, saat itu dikenal dengan sebutan Acta Diurna. Acta Diurna dianggap sebagai koran dengan tulis tangan pertama di dunia.
 
 
Perkembangan dunia cetak semakin pesat saat diabad ke-15 Gutenberg menemukan mesin cetak, sebuah ledakan penyebaran informasi dan pengetahuan terjadi sangat cepat ke seantero Eropa hingga dunia. Semenjak itu pula hingga hari ini, media cetak menjadi komoditas dan bisnis bagi para pelakunya, tidak hanya menjadi media penyebaran berita dan informasi, media cetak juga menjadi semacam alat bagi yang berkepentingan.
 
 
Hingga kini koran tak lagi menjadi media yang mendominasi masyarakat, pergeseran dimulai dengan munculnya media elektronik dan internet. Media cetak sebagai penyedia berita mulai ditinggalkan oleh para pembacanya. Bahkan Philip Meyer, penulis buku The Vanishinh Newspaper meramalkan koran terakhir akan terbit pada tahun 2040. Bahkan ditahun 2007 Asto Subroto menyebutkan, koran sebagai sebuah produk akan berakhir dalam 25 tahun lagi.
 
 
Hal ini berbanding lurus dengan fakta bahwa kini banyak media cetak yang gulung tikar karena alasan telah ditinggalkan pembacanya. Orang lebih banyak membaca melawati gawai yang mereka miliki dibandingkan membaca versi cetak. 
 
 
 
Kualitas Jurnalisme yang Buruk atau Memang Zaman Berubah
 
Perubahan media ini ditanggapi berbagai pihak dengan pro dan kontra, bahkan Bre Redana dalam tulisannya di Kompas dengan judul “Inikah Senja Kala Kami?” Mengungkapakan kekhawatirannya terhadap ancaman dunia virtual dan wartawan multitask yang dituntut menyajikan berita secara cepat terhadap perkembangan dunia surat kabar dan wartawan konvensional yang selalu mewawancara si narasumber, yang dalam proses wawancaranya dengan menggunakan notes, bolpoint dsb, yang dalam hal ini menurutnya bukan semata penampungan omongan orang melainkan sebuah konfrontasi kesadaran berupa nilai moral, etik dan kemanusiaan. Bre juga menampilkan sisi wartawan digital yang ingin menyampaikan berita dengan cepat, pertama dan tergopoh-gopoh tetapi dianggapnya lupa bahwa yang pertama belum tentu yang terbaik.
 
 
Bre juga dengan halus menyindir kebiasaan wartawan multitask itu sebagai orang yang hanya menyajikan press release tanpa menanyakan.
 
 
Selain Bre, Muhidin M. Dahlan juga menyiratkan kekhawatirannya kepada jurnalisme didunia digital yang ditulisannya dengan judul “Jurnalisme Sepeda”sebagai berikut:
 
 
Di dunia jurnalisme sekarang yang berbasis daring dan moda transportasi yang memberhalakan percepatan, jurnalisme sepeda datang sebagai interupsi. Percepatan dengan sikap tergesa-gesa boleh saja, tetapi mesti diiringi perlambatan (ralaksasi, reflektif, dan interaktif). Kita tidak ingin didorong paksa melaju dengan percepatan informasi didunia digital, yang entah sampai dimana batasannya ini, dengan terus menerus mengonsumsi kedangkalan dengan segala perniknya.
 
 
Kekhawatiran yang mereka tuliskan justeru menurut penulis adalah kurang tepat, karena disatu sisi mereka khawatir akan matinya media cetak dan digantikan dunia digital ala internet dengan mengalasankan internet penuh kedangkalan kerena terburu-buru dan ingin serba cepat.
 
 
Pergeseran Media adalah Keniscayaan, Jurnalisme akan Bertahan Selamanya
 
Dalam tulisan ini saya tidak ingin berhemat ataupun berteori bahwa koran akan mati atau menuju liang lahat dua sampai tiga dekade lagi seperti Philip Mayer ataupun mengatakan bahwa jurnalisme digital lebih dangkal daripada jurnalisme media konvensional yang diusung media cetak.
 
 
Sejatinya, pergeseran dunia cetak ke daring memang sebuah keniscayaan, bukan karena orang-orang hanya menginginkan kecepatan informasi belaka, melainkan karena tersedia berbagai informasi dari berbagai sumber dalam satu waktu disatu tempat bernama gawai. Pergeseran itu juga berawal dari faktor turunnya harga akses internet yang kian hari kian murah karena perang dari penyedia akses.
 
 
Hal diatas juga bukan karena orang lebih menyukai informasi sampah yang bertebaran di daring, juga bukan karena orang sudah meninggalkan kedalaman yang disuguhkan oleh media konvensional disetiap pagi yang terkesan basi.
 
 
Oleh karena itulah, seharusnya media konvensional sudah semestinya bermetamorfosa mengantarkan pembacanya di daring, hadirnya media konvensional yang berubah ke daring ini juga akan menjadi lawan dari jurnalisme abal-abal yang hanya ingin menghebohkan suasana atau semata-mata mendapatkan rating tetapi mengabaikan kaidah-kaidah jurnalistik yang benar-benar ingin menyuguhkan informasi ketengah publik secara berimbang.
 
 
Untuk masalah bisnis, daring juga dari hari kehari semakin tinggi persentasi perputaran iklan didalamnya. Untuk itulah, sebaiknya media konvensional secepatnya harus bergegas mendorong diri mengikuti perubahan media. Mereka harus hadir ke daring. Pertimbangan ini belum lagi disandarkan tentang perlunya kita tidak lagi menghabiskan kertas-kertas dari penebangan pohon.
 
 
Jurnalisme Selamanya
 
Meramu hasil penglihatan, pendengaran, liputan dan wawancara secara mendalam lalu menyuguhkannya kepublik. Itulah yang selama ini dilakukan media konvensional keesokan harinya. Fakta dengan berhamburnya berita yang simpang siur di daring dengan kecepatannya serta memungkinkan semua orang menulis tanpa perlu mempertanggung jawabkannya merupakan sebuah masalah.
 
 
 
Masalah jurnalisme abal-abal macam ini harus dihadapi dengan jurnalsme yang sebenarnya, mekanisme liputan secara mendalam dan ulasan yang rinci dan runtun harus hadir di daring untuk mengalahkan berbagai sumber yang penuh dengan kedangkalan dan bahkan kebohongan itu.
 
 
Karena sejatinya, bukan medianya tetapi orang-orangnya lah yang menjadi penentu dari sebuah jurnalisme yang berkualitas. Dalam konteks ini menurut penulis sangatlah tidak cocok menggambarkan peralihan media yang sudah terlihat ini lalu kita ramai-ramai berargumen mempertahankan media konvensional dengan mendalihkan kedangkalan dari media daring.
 
 
 
Kita seharusnya, sebagai media konvensional saat ini sudah mulai merambah masuk secara masif kedalam daring karena perubahan itu adalah keniscayaan. Tetapi walaupun begitu, jurnalisme tidak akan pernah mati.
 
 
 
Akhirnya, perubahan harus dilihat sebagai tantangan yang harus kita taklukan, bukan menghujat tantangan itu lalu terkungkung dalam kejumudan. Akhirnya, media boleh berubah, tapi manusia dan jurnalisme akan selamanya menulis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar