Rabu, 03 Agustus 2016

Menakar Kepahlawanan Soeharto

Menakar Kepahlawanan Soeharto
Oleh: Taufik Rahman
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga 2013, IAIN Antasari Banjarmasin)
 
 
 
 (Sumber Foto: gethashtags.com)
Seringkali penilaian kita terhadap seseorang masa kini dipengaruhi oleh penilaian orang lain yang membencinya, sehingga kita ikut membenci tanpa tahu hal yang sebenarnya terjadi. Kita ikut beropini, menghakimi bahkan mencaci dan memaki. Karena manusia takut terhadap hal yang tidak dikenalnya. Tapi itulah dinamika dari sebuah negara demokrasi yang mengusung kebebasan bicara.
 
 
Sama dengan berbagai tanggapan yang menghinggapi wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Pro dan Kontra sontak mencuat kepublik, berbagai tanggapan dikemukakan baik dengan alasan yang cukup berdasar atau hanya sekedar ikut-ikutan mengomentari wacana.
 
 
Pihak yang kontra terhadap wacana ini beralasan bahwa Sang Presiden telah banyak melakukan kesalahan –kalau tidak ingin menyebutnya kejahatan kepada bangsa ini, dimulai dari membungkam kebebasan bersuara, bertanggung jawab terhadap aksi massa pasca G30S/PKI, korupsi, memenangi pemilu dengan rekayasa bahkan abuse of power.
 
 
 
 
Sementara disisi lain, Soeharto dianggap sebagai salah satu orang yang paling berjasa kepada Republik ini, tak kurang jasa-jasanya seperti menstabilkan ekonomi negara pasca pemberontakan, melakukan pembangunan bertahap, mengundang investasi asing ke Indonesia, keberhasilan swasembada, keluarga berencana, transmigrasi dan sederet prestasi cemerlang lainnya dalam kurun waktu 32 tahun.
 
 
Mempertanggung Jawabkan Objektivitas
 
Dalam catatan sejarah, Soeharto dianggap sebagai pemimpin otoriter oleh mahasiswa yang menurunkannya pada tahun 1998. Ditengah ketidak stabilan ekonomi dan politik saat itu, Soeharto menyatakan mundur dari jabatan sebagai orang nomor satu di Indonesia, lalu digantikan oleh B.J Habibie. 18 tahun setelah itu, stigma itu masih tetap lekat dan hidup dalam masing-masing diri mahasiswa yang ikut berdemonstrasi ketika itu. Pun juga dengan tahanan politik pasca pemberontakan yang sempat dipenjarakan oleh pemerintah, tentulah beliau dianggap sebagai pemimpin bertangan besi. Anggapan dan kesan subjektif itu tidak akan pernah hilang sebelum orang-orang yang terlibat dalam peristiwa sejarah itu meninggal.
 
 
 
Juga dengan orang-orang yang sempat menjadi bawahan atau pernah bekerja kepada Soeharto, tentu penilaian positif tentang Soeharto akan tetap hidup sampai orang itu meninggal.
 
 
 
Terlepas dari kesan itu, anggapan objektif tidak akan pernah bisa muncul ketengah publik selama orang-orang yang terlibat dengan tokoh secara emosional ataupun kepentingan masih hidup.
 
 
 
Jika penulis boleh analogikan, anggapan baik buruknya Ken Arok tidak akan bisa didapat secara objektif saat ia mengkudeta Tunggul Ametung yang disertai dengan pembunuhan berdarah sesudahnya selama beberapa generasi, namun penilaian objektif itu akhirnya muncul setelah semua tokoh yang terlibat dengan Kebo Ijo, Tunggul Ametung, Dedes dan Arok beserta keturunannya sudah tidak memiliki kepentingan lagi dengan kekuasaan ataupun kepentingan terselubung terhadap kerajaan.
 
 
Melihatnya sebagai suatu wacana politis
 
Melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam pro-kontra ini, penulis teringat kembali kepada novel yang ditulis oleh Robert Harris Imperium, dalam novel fiksi sejarah ini terjadi perebutan pemberian gelar Triumphus (Pria Kemenangan)/ pahlawan perang antara Pompeius yang Agung, Lucullus atau Crassus. Para kroni ketiga pimpinan militer Republik Romawi itu pun saling melakukan lobi terhadap tokoh-tokoh disenat Roma, termasuk tokoh utama Novel, Cicero agar memberikan gelar itu kepada atasannya. Ternyata jauh dari itu semua bahwa yang menginginkan gelar Triumphus itu adalah para pihak yang berkepentingan terhadap pemilu untuk pemilihan konsul ataupun ada mosi di senat yag akan di sahkan, sehingga nantinya orang yang diberi gelar Triumphus ini bisa mempengaruhi suara senat.
 
 
Menurut hemat penulis, sama dengan wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bahwa isu yang terangkat adalah untuk kepentingan politis. Kenapa? Saat ini bukan rahasia lagi bahwa ada segelintir pihak yang mendengung-dengungkan rindu terhadap kemajuan zaman soeharto, banyak jargon yang bermunculan sebagai tanda ketidak puasan terhadap pemerintahan yang ada.
 
 
 
Implikasi dari isu yang diangkat ini tentulah kepentingan untuk mendongkrak popularitas ditengah kerinduan segelintir orang itu, toh siapapun yang berperan aktif dalam diberikannya gelar pahlawan kepada Soeharto tentu akan dinilai memiliki visi kemajuan seperti Soeharto.
 
 
Belum Saatnya…
 
Wacana ini akan berakhir perdebatannya ditangan presiden, karena sejatinya gelar pahlawan adalah pemberian penghargaan kepada seseorang yang dianggap berjasa kepada Republik ini. Namun, menimbang wacana ini adalah isu politis dan kepentingan serta tidak memungkinkannya menilai sosok Soeharto dengan benar-benar objektif saat ini, maka penulis berhemat bahwa belum saatnya pemberian gelar pahlawan ini diberikan kepada mantan orang nomor satu di Republik ini.
 
 
Walaupun begitu, sebagai warga negara yang baik kita tidak boleh melupakan jasa-jasa dan pengorbanannya untuk bangsa ini terlepas dari semua apa yang dilakukannya sebagai pemimpin yang dianggap otoriter. Saaat kita bisa menerima kebaikan dan keburukan Soeharto secara holistik dan lepas dari pengaruh apapun, maka saat itu kita akan bisa memberikan penilaian apakah Soeharto layak dinobatkan sebagai pahlawan atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar